Hari itu saya bersemangat sekali. Setelah tiga tahun tidak pulang kampung karena pandemi, akhirnya kesempatan untuk mengajak suami melihat Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis segera terwujud. Cerita rakyat yang meleganda ini tentu memacing rasa penasaran bagi siapa saja yang belum pernah melihat secara langsung.
Setiba di lokasi, rencana ini malah gagal. Bukan karena cuaca yang kurang bersahabat, tetapi karena air pasang yang begitu jauh menyentuh daratan. Jangankan untuk ke lokasi Batu Malin Kundang, untuk memasuki kawasan pantai saja susah. Tempat yang biasanya berpasir kering, kini dipenuhi air laut. Terpaksa hanya duduk saja menunggu surut. Butuh lebih dari satu jam sejak kami datang, sampai bisa berkeliling di pasir becek dengan motor ATV.
Apa kabar Batu Malin Kundangnya?
Sulit sekali ke sana. Area sekelilingnya sebagian masih dipenuhi air laut dan sebagian lagi sangat becek dan lengket.
Sayang sekali, bukan?
Kenaikan Muka Air Laut Di Pantai Padang
Sebenarnya saya sudah merasa ada yang berbeda dengan laut di sepanjang pesisir Pantai Padang beberapa tahun belakangan. Rasanya dulu air laut tidak sedekat ini. Terutama di Pantai Purus. Saat masih kecil, begitu luas bentangan pasir yang membebaskan saya berlarian ke sana ke mari. Maklum, pantai ini sudah menjadi spot favorit saya bermain. Apalagi lokasinya yang tak jauh dari rumah Nenek.
Namun kini, jarak ombak dan jalan raya begitu dekat. Bahkan ombak bisa sampai ke jalan bila angin sedang kencang. Tidak mungkin kan jalannya yang mendekat ke laut?
Penasaran, saya membaca beberapa artikel terkait ini. Ternyata benar, data dan situs berita menjadi bukti bahwa muka air laut Pantai Padang semakin naik setiap tahunnya dan diperparah pula oleh abrasi.
Kembali ke Batu Malin Kundang, warga sekitar memang sudah biasa dengan air pasang yang menenggelamkan sampai ke pemukiman. Jangankan Batu Malin Kundang, rumah mereka pun juga kebanjiran. Barulah setelah air laut kembali surut, warga bergotong royong membersihkan sisa timbunan pasir.
Logikanya, pemukiman yang ada saat ini, tentu dulunya dibangun dengan memperkirakan air pasang tertinggi. Siapa sangka, air pasang yang dulunya tak sampai ke situ, kini malah menjadi masalah baru.
Kalau abrasi, beda lagi ceritanya. Air laut yang semakin dekat dengan jalan seperti yang saya ceritakan sebelumnya, ternyata menjadi titik abrasi terparah yang kini mendapat perhatian khusus pemerintah daerah. Abrasi tersebut pernah menyebabkan kerusakan area pejalan kaki di depan bekas kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang di tahun 2019 lalu. Bahkan Monumen Merpati Perdamaian yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo serta Masjid Al Hakim yang berada di Pantai Padang terancam ambruk karena pondasinya yang terus tergerus. Dan saya tahu persis di mana saja lokasi-lokasi tersebut.
Sumber: kompas.id |
Data pun menyatakan hal yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah pesisir Kota Padang pada tahun 2020 diprediksi terjadi genangan seluas 0,382 km2, pada tahun 2060 seluas 0,571 km2 dan pada tahun 2100 seluas 0,831 km2. Kenaikan muka air laut yang terjadi di Kota Padang adalah 1,1786 cm/tahun. Berdasarkan hasil penelitian diprediksikan sampai tahun 2100, daerah yang berada di pesisir Kota Padang rentan terhadap genangan akibat potensi kenaikan muka air laut.
- Jurnal ANALISA SPASIAL DAERAH BANJIR GENANGAN (ROB) AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KOTA PADANG oleh M. Hanif Rasyda, Sugeng Widada, Baskoro Rochaddi
Semakin saya gali, semakin dekat penyebabnya dengan efek perubahan iklim.
Hal yang masif diisukan ini pasti sudah akrab di telinga kita, bukan? Saking akrabnya, kita sering kali menganggapnya biasa atau lebih tepatnya terbiasa.
Saya tidak akan membicarakan detail tentang efek rumah kaca yang menjadi dalang perubahan iklim. Karena tinggal searching saja, teman-teman bisa baca informasi lengkapnya. Intinya jelas, ulah manusia menjebak panas matahari di atmosfer sehingga tidak bisa dipantulkan ke luar kembali.
Efek Rumah Kaca | Gambar: freepik.com |
Namun yang akan saya pesankan melalui tulisan ini adalah betapa pentingnya peran kita dalam mencegah perubahan iklim dan bagaimana memancing rasa peduli agar dapat melakukan aksi dengan keinginan sendiri.
Sadar enggak sih, terkadang ketidaktahuan menghilangkan ketertarikan.
Tapi, sekalinya sudah tahu, cenderung tergerak sendiri untuk melakukan sesuatu.
Karena rasa peduli kita yang telah tumbuh.
Pengalaman Di Pulau Tidung yang Beri Banyak Pelajaran
Saya bukanlah orang terisolasi yang tidak pernah mendengar kabar kenaikan suhu bumi. Mulai dari televisi, media sosial, tulisan sesama blogger, komunitas blogger atau orang-orang di sekitar saya, tidak jarang yang mengangkat topik perubahan iklim. Bahkan saya hampir hafal segala penyebab, dampak dan seberbahaya apa efeknya bagi kelangsungan hidup penghuni bumi.
Ayo kurangi penggunaan plastik!
Mari gunakan bahan bakar ramah lingkungan!
Yuk, diet sampah!
Kalimat ajakan yang juga sudah tertanam dalam benak saya.
Apakah dengan mendengar ini saya langsung sadar diri untuk ikut mengurangi sampah? Tidak. Bahkan setelah tahu kejadian naiknya muka air laut dan abrasi di Pantai Padang sekalipun. Saya masih tak masalah menggunakan sedotan plastik. Saya masih enjoy saat membeli bubur ayam dengan kotak styrofoam dan plastik pembukusnya yang berlapis.
Bisa dibilang saya bebal. Seolah menggampangkan dan meremehkan. Padahal bukan. Inti masalahnya adalah saya belum merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi pihak yang terdampak langsung oleh efek perubahan iklim. Saya tidak akan pernah tahu rasanya. Makanya santai-santai saja.
Sampai akhirnya pengalaman di Pulau Tidung menyadarkan saya.
"Bapak sering melaut?"
"Sering, Mbak. Tapi sekarang cuaca susah diprediksi. Nelayan kesulitan karena ini."
Tentu saya tahu sekali dengan ketidakstabilan cuaca. Jangankan nelayan, saya yang hanya ibu rumah tangga saja sering kesulitan menjemur pakaian. Sekarang cerah, satu jam kemudian bisa saja hujan lebat.
"Di sini pernah banjir rob, Pak? Saya lihat bangunan baru dibuat lebih tinggi."
"Sering, Mbak. Hampir setiap tahun, selalu ada banjir. Kalau sudah banjir, tempat kita berdiri sekarang sudah tenggelam. Air hampir sampai ke jalan sana," tangan Bapak Pemilik Penginapan di mana saya menginap menunjuk ke perbatasan perumahan dan jalan utama di Pulau Tidung Besar.
Saya langsung teringat dengan Pantai Air Manis dan Pantai Padang di kampung halaman saya. Kejadiannya sama. Dampak perubahan iklim juga terjadi di sini.
Ini pertama kalinya saya ikut kegiatan offline bersama salah satu komunitas blogger. Temanya pun menarik, yaitu menanam 1000 mangrove di Pulau Tidung Besar. Untuk pertama kalinya pula saya terlibat dalam aksi peduli lingkungan.
Ketika kapal kami mendekati dermaga, air laut hijau toska dan bening menyambut. Terbayang kesegaran bila di siang yang terik itu saya bisa langaung loncat dan berenang. Namun sayangnya, semakin merapat, hamparan air yang jernih itu mulai ramai dengan sampah-sampah yang mengapung. Miris? Jelas. Kesegaran yang sesaat lalu saya pikirkan, buyar seketika. Mana ada yang ingin berenang bersama sampah?
Siapa yang saya salahkan saat itu? Penduduk pulau.
Sampah mengapung di dermaga Pulau Tidung |
Lanjut lagi perjalanan kami ke lokasi penanaman mangrove. Tetap sama, sampah kembali merusak pemandangan. Tidak pernah sebelumnya saya melihat sampah sebanyak ini di pesisir pantai. Hampir seluruh dasar pasirnya tertutup sampah. Sedotan, plastik kemasan, bahkan masker bekas pakai pun ada. Tampaknya, semua yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mengurai, ada di sana.
Dalam beberapa menit saja, dua atau tiga orang dari kami berhasil mengumpulkan seonggok sampah. Bukan jijik, rasa sedih lebih menguasai hati saya. Pulau dengan pantai sebagus ini, pasirnya putih dan suasananya nyaman, malah berselimut sampah.
Siapa lagi yang saya salahkan? Ya penduduk pulau.
Sampah di lokasi penanaman mangrove, Pulau Tidung Besar |
Sampai pada akhirnya, tuduhan itu menjadi tombak yang berbalik menancap. Salah satu anggota dari komunitas mangrove yang mendampingi, mengatakan bahwa sampah ini bukanlah ulah penduduk pulau. Tapi ulah warga luar pulau. Sampah itu hanyut terbawa ombak dan akhirnya mendarat di sini. Lihatlah bentuknya, sudah berlumut tebal, menandakan bahwa sampah ini sudah menempuh perjalanan jauh dan lama di laut.
Tap! Tombak tepat mendarat di dada saya. Saya adalah warga Jakarta, secara geografis tidak jauh dari Pulau Tidung. Bisa saja salah satu atau ratusan dari sedotan itu adalah bekas pakai saya. Bisa saja bungkus sabun cuci itu berasal dari rumah saya. Sampah yang menumpuk itu bisa saja sampah yang datang dari rumah tangga saya.
Seketika saya merasa bersalah pada alam, pada bumi. Menganggap tidak membuang sampah sembarang sudah cukup untuk menjaga kelestarian, sungguh membuat malu. Mungkin saja sedotan yang saya minta saat makan di sebuah restoran, tercecer dalam perjalanan menuji TPA, hanyut terbawa aliran drainase, lalu berujung di Pulau Tidung. Mungkin saja, 'kan?
Lalu, Apa Hubungan Sampah dengan Banjir Rob, Abrasi, Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim?
Cerita saya tentang kondisi pantai dan sampah, sekilas terlihat tidak ada benang penghubung. Kenapa sampah bisa bikin abrasi dan banjir rob? Kalau sampah diduga sebagai penyebab banjir karena luapan air kali, pasti langsung ngeh kalau sampah-sampah ini menyumbat aliran air atau membuat permukaan kali lebih dangkal. Tapi kalau banjir rob dan abrasi?
Selama ini yang kita tahu penyebab sampah plastik sebagai salah satu dalang perubahan iklim adalah proses produksi, pengolahan dan pembuangannya yang menyumbang gas emisi di udara. Tapi ternyata, yang hanyut ke laut pun juga bisa! Lebih tepatnya menggagalkan upaya untuk mengatasi perubahan iklim.
Kembali ke kegiatan penanaman 1000 bibit mangrove tadi, persentase hidupannya sangat dipengaruhi oleh kualitas media tanam dan lokasi tanamnya. Sampah yang dari tadi berulang kali saya sebutkan adalah musuh terbesar bibit mangrove. Bila lokasi penanaman mangrove banyak sampah, maka semakin terancam pula keberlanjutan kehidupan Si Bibit ini.
Pertama, sampah menyebabkan media tanam mangrove yang berupa pasir atau lumpur menjadi miskin nutrisi sehingga pertumbuhan pohon mangrove tidak akan maksimal, atau bahkan mati.
Kedua, sampah sering kali menyangkut di bibit mangrove. Bila ditambah dengan terjangan ombak, sampah ini akan memperlemah pertahanan bibit sehingga akhirnya tumbang. Terutama di media tanam pasir yang cengkramannya tidak sekuat lumpur. Sebelum bisa menancapkan akar lebih dalam, bibit mangrove sudah kalah duluan akibat tarikan ombak yang diperberat oleh sampah yang menyangkut.
Ketiga, sampah mengganggu pernafasan mangrove. Akar mangrove yang menjulang bukan hanya berfungsi sebagai penegak yang kokoh, namun juga untuk bernafas. Kondisi akar mangrove yang rimbun, bisa menjadi perangkap sampah terbaik. Tapi ini sangat mematikan bagi mangrove, karena akan menghambat proses respirasi atau pernafasannya.
Padahal, menurut penelitian, satu pohon mangrove mampu menyerap gas CO2 4-5 kali lebih banyak dari pohon biasa. CO2, gas emisi rumah kaca yang menjadi kontribusi terbesar kedua dalam pemanasan global, setelah uap air.
Hal penting ini yang saya dengar dari penjelasan co-founder komunitas mangrove. Ternyata pengetahuan saya tentang perubahan iklim masih kulit luarnya saja. Sok-sok sudah paham betul, padahal masih sebatas sampul.
Intinya, betapa ruginya kita bila mangrove yang sangat potensial untuk mengatasi perubahan iklim ini malah mati karena sampah. Padahal upaya penanaman mangrove terus digalakkan, tapi nyatanya tetap saja terancam oleh sampah. Sampah yang dibuang oleh manusia, oleh kita.
Belum cukup sampai di situ. Akibat sampah yang terus mengancam mangrove, peluang untuk menurunkan suhu bumi melalui konservasi mangrove, tentu tak terwujud dengan maksimal. Akhirnya air laut terus naik karena lapisan es mencair semakin banyak dan terus mengurangi luas daratan sedikit demi sedikit. Makanya saat terjadi pasang, air laut yang dulunya tak menyentuh pemukiman, kini sudah menjadi banjir langganan. Semakin besar dan tinggi air laut, semakin banyak pula kikisan yang terjadi. Apalagi kalau ombaknya besar akibat cuaca ekstrim, makin parah lagi abrasinya.
Satu lagi, mangrove juga sudah terbukti dapat mencegah abrasi. Akar kokohnya mampu memecah ombak sehingga daratan tak tergerus. Bila mangrove terus mati karena sampah, apa lagi yang bisa melindungi? Air lautnya makin tinggi, ombaknya besar, tak ada pelindung pula.
Nah, sudah tahu kan hubungannya? Sampah yang hanyut ke laut pun juga tetap ada imbasnya pada kasus perubahan iklim.
Setelah Melihat Sendiri, Baru Tumbuh Rasa Peduli
Tidak pernah menyangka di kegiatan lingkungan pertama, saya langsung mendapat pesan dari semesta. Saya punya peran untuk bumi. Melihat mangrove yang saya tanam, keinginan untuk memastikannya dapat tumbuh dengan akar setinggi tubuh, muncul begitu kuat. Sejak saat itu, saya teguh sekali untuk tidak lagi menggunakan sedotan plastik meski makan di luar, membawa botol minum ke mana-mana, beli makanan dengan menyodorkan tempat makan sendiri serta mulai ketat menghindari kemasan sekali pakai.
Himbauan yang sudah saya dengar sejak bertahun-tahun lalu, baru sekarang bisa dengan ikhlas saya laksanakan. Langsung terbayang bibit mangrove yang saya tanam setiap kali membuang sampah plastik. Kalau tersangkut di sana dan membuat satu bibit mati, saya sudah menghilangkan fungsi penyerapan CO2 di empat pohon biasa. Saya sudah menebang empat pohon rimbun!
Rasanya tidak berlebihan bila saya menyimpulkan bahwa kepedulian adalah titik utama yang harus ada bila ingin melaksanakan aksi peduli bumi. Terutama bagi orang-orang seperti saya, yang tidak mempan dengan sosialisai berupa teori, harus ditunjukkan dulu di depan mata, baru bisa dicerna.
Kalau ditanya kepada saya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi perubahan iklim, jawabannya sudah pasti dengan memancing dan menumbuhkan rasa peduli. Menurut saya, tidak ada cara yang lebih baik dan tepat selain "harus tahu dulu, baru bisa peduli". Ini yang pertama dan yang paling utama. Bagaimana caranya?
1. Ikuti Kegiatan Lingkungan
Fix, ini pembuka "pandangan" yang paling ampuh. Teman-teman bisa mencoba ikut kegiatan lingkungan, apa pun itu. Yang paling dekat saja, misal gotong royong komplek atau kegiatan dari kantor. Terkadang kita tidak pernah benar-benar menyaksikan masalah lingkungan. Oh, sampah bikin saluran air mampet atau sampah mencemari laut. Tapi belum pernah melihat di titik mampetnya itu seberapa banyak sampah yang menyangkut, atau di laut itu seberapa banyak sampah yang telah berlumut. Yang paling akan menyadarkan adalah kenyataan bahwa sampah penyebab masalah itu familiar sekali bagi kita karena digunakan sehari-hari.
2. Bergabung dengan Komunitas Lingkungan
Lebih baik lagi bila bergabung dengan komunitas lingkungan yang semakin banyak dan berkembang di sekitar kita. Tema lingkungan tentu sangat luas, maka komunitas ini juga punya fokus masing-masing. Seperti daur ulang sampah, konservasi mangrove, gaya hidup zero waste dan sebagainya. Silakan pilih mana yang dirasa paling menarik. Biasanya komunitas ini memiliki program untuk "langsung praktik". Semakin sering terjun ke lapangan, tentu semakin banyak pula keadaan nyata yang kita tahu, sehingga makin besar pula rasa peduli yang tumbuh.
3. Follow Media Sosial dengan Konten Lingkungan
Media sosial sudah menjadi wadah promosi yang sangat potensial. Mungkin hampir semua generasi milenial memiliki akun media sosial dan aktif di dalamnya. Ini tentu dimanfaatkan oleh instanai, lembaga, komunitas atau semua pihak yang aktif dalam pencegahan perubahan iklim. Follow saja akun-akun sosial medianya. Paling tidak, saat kita scroll, ada beberapa informasi terkait lingkungan yang terlihat. Sehingga banyak hal yang masih asing, menjadi pengetahuan baru yang menarik.
4. Bagikan Pengalaman
Kita tidak tahu seberapa besar dampak dari informasi yang kita bagikan. Misal ketika rasa peduli saya akan lingkungan sudah mulai ada berkat kegiatan penanaman mangrove kemarin, ada salah seorang teman yang membagikan tips melindungi bumi dengan memperbanyak makan sayuran, buah, gandum atau kacang-kacangan dapat menjadi salah satu cara untuk melestarikan lingkungan. Ini dikarenakan makanan nabati menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca. Wah, kebetulan sekali saya sedang diet dan bisa mempraktikkan ini dengan mudah.
Jadi teman-teman jangan ragu atau malu untuk membagikan informasi terkait lingkungan atau upaya yang dilakukan untuk melestarikannya. Pasti akan ada manfaatnya. Bisa melalui tulisan di blog bagi blogget seperti saya, sosial media dengan gambar atau infografis, atau sekalimat singakt di Twitter. Tak ada komentar atau sedikit "tanda cinta", belum tentu tidak terbaca.
Sekadar tambahan untuk teman-teman sesama blogger, boleh juga mengikuti event bertema lingkungan dari komunitas blogger. Karena belakangan ini lumayan banyak acara seperti ini.
Beberapa kali saya mengikuti kompetensi blog terkait sampah, lingkungan, keanekaragaman pangan atau perubahan iklim dan pemanasan global. Ada pula webinar atau YouTube streaming dengan tema serupa. Proses riset untuk mendapatkan tulisan berdasar fakta dan data, memberi saya banyak sekali ilmu baru. Misalnya ketika saya mencari ide untuk tema tulisan dan ingin menghubungkan isu lingkungan dengan parenting, saya menemukan apa yang dinamankan eco parenting atau sustainable parenting. Ternyata saya bisa loh jadi orang tua yang peduli lingkungan. Dengan aksi kecil seperti mengganti tisu untuk menyeka sisa makanan anak dengan kain lap.
Menurut saya, blogger perlu sekali menyambut baik kesempatan belajar melalui event yang diadakan komunitas blogger yang bekerja sama dengan komunitas lingkungan.
Mungkin ini juga bisa dilakukan oleh semua orang yang kebetulan memiliki bidang spesifik yang ditekuni, lalu ada kegiatan bertema terkait isu lingkungan dari komunitas yang diikuti. Ramaikan dan dapatkan ilmunya.
***
Saya tidak pernah menganggap bahwa saya adalah seorang penggiat lingkungan. Karena aksi saya untuk menjaganya masih jauh di bawah rata-rata dan masih terus meningkatkan pengetahuan serta kepedulian. Tapi satu yang pasti, saya sudah tahu bahwa setiap aksi kecil yang dilakukan, pasti memberi dampak positif untuk lingkungan.
Terkadang kita suka overthinking duluan saat diminta mengurangi sampah plastik atau menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Padahal tidak perlu sampai sejauh apa yang dilakukan oleh aktivis lingkungan. Bila kita tahu posisi kita, kemampuan kita, selalu ada peran untuk mencegah semakin parahnya perubahan iklim.
Yuk, teman-teman, kita up rasa ingin tahu tentang masalah yang tengah terjadi di lingkungan kita. Tidak perlu buru-buru langsung mengubah gaya hidup secara ekstrim. Namun bertahap. Dunia digital tentu sangat memudahkan kita mencari sumber informasi. Sesekali, sempatkan juga mengikuti kegiatan lingkungan agar informasi yang selama ini hanya kita baca atau dengar, bisa langsung disaksikan live di depan mata. Sehingga feel-nya lebih dapat.
Saya berharap, akan tumbuh kepedulian-kepedulian lain berkat pengetahuan yang meningkat. Mungkin saja diawali oleh satu orang, lalu berlanjut menjadi dua, lima, sepuluh, seratus, seribu dan seterusnya. #TeamUpforImpact, satu memang tak terasa pengaruhnya, tapi kalau bersama, tidak mustahil perubahan iklim nantinya akan menjadi sebuah sejarah, bukan lagi masalah.
Ingat, kalau sudah peduli, aksi menjaga bumi akan muncul sendiri. Saya percaya dan saya buktinya.
Tanpa dipaksa, kita tak masalah membawa sedotan stainless steel ke mana-mana.
Tanpa diminta, salah satu bawaan wajib adalah tas belanja.
Dengan sukarela, selalu bawa tumbler saat nge-mall bareng temen. Berat sedikit tak jadi soal.
Serta dengan iklas membawa kotak Tuppe***re saat membeli batagor di gang depan. "Kuah kacangnya campur aja, Bang. Enggak usah dibungkus plastik."
#UntukmuBumiku, akan terus kutumbuhkan kepedulian agar tak kusia-siakan lagi peranku untuk menjagamu. Sekecil apa pun itu.
Referensi:
Pantai Padang Terjadi Abrasi di Tiga Titik. Tautan: https://republika.co.id/berita/qnw1nl330/pantai-padang-terjadi-abrasi-di-tiga-titik
Abrasi Pantai Terus Terjadi, Walhi Sumbar Minta Wilayah Pesisir Kota Padang Ditata Ulang. Tautan: https://www.mentawaikita.com/baca/4591/abrasi-pantai-terus-terjadi-walhi-sumbar-minta-wilayah-pesisir-kota-padang-ditata-ulang
Patung Malin Kundang Tenggelam. Tautan: https://news.okezone.com/read/2010/10/10/340/380893/patung-malin-kundang-tenggelam
Journal ANALISA SPASIAL DAERAH BANJIR GENANGAN (ROB) AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KOTA PADANG oleh M. Hanif Rasyda, Sugeng Widada , Baskoro Rochaddi. Tautan: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/joce/article/view/8382#:~:text=0%2C831%20km2.-,Kenaikan%20muka%20air%20laut%20yang%20terjadi%20di%20Kota%20Padang%20adalah,potensi%20kenaikan%20muka%20air%20laut.
Kenaikan Air Laut Picu Banjir dan Abrasi di Kota Padang. Tautan: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/20/kenaikan-air-laut-picu-banjir-dan-abrasi-di-kota-padang
Sedih ya penduduk pulau tidung kena imbasnya, dapat sampah impor..
ReplyDeleteIya, Mbak. Sedih banget lihat sampah segitu banyak. Padahal pulaunya bagus banget dan ramai wisatawan juga. Jadi pengingat buat diri sendiri, lebih ngerem lagi pakai plastik dan segala yang sekali pakai.
Delete