Beri Aku Cerita yang Tak Biasa: Membingkai Budaya dan Kearifan Lokal Dalam Cerita Menarik

No comments

Kalau selama ini buku-buku budaya dianggap "buku berat", hanya mereka berminat ekstra saja yang akan membaca, Kirana Kejora bersama komunitas Elang Nuswantara, memberi sentuhan berbeda. Budaya dan kearifan lokal dikemas dalam bingkai cerita yang tak biasa, sehingga pembaca dapat lebih mudah mengenal warisan negeri ini dalam sebuah bacaan ringan dan menghibur.


Menerbangkan Adikarya Nuswantara

Dulu saat sekolah, saya mempelajari budaya Minang dalam mata pelajaran yang dinamakan Bahasa Alam Minangkabau (BAM). Mungkin teman-teman yang kebetulan bersekolah di Sumatera Barat dan seumuran dengan saya, juga mengikuti mata pelajaran ini sekitar 20 tahun lalu. Bagi saya yang tidak terlalu suka menghafal, selalu kesusahan dalam mengingat segala macam istilah dan pengertian.


"Andai dijadikan buku cerita, mungkin lebih mudah masuk ke otak." Itulah yang selalu saya dambakan pada setiap mata pelajaran yang berbau hafalan.


Padahal, bukannya saya tidak ingin mengenal kayanya budaya kita, tetapi saya benar-benar tidak "klik" dengan buku yang hanya memaparkan teori berbab-bab. Sudah takut duluan sebelum membacanya.


Satu hal yang saya petik, media penyampai pesan atau ilmu adalah sesuatu yang sangat penting.


Inilah yang dibahas dalam webinar "Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa". Diselenggarakan oleh Pasukan Elang Biru yang merupakan penulis buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa dari komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), dengan menghadirkan dua pembicara perempuan inspiratif, yaitu Buk e Kirana Kejora, pengampu Elang Nuswantara dan Mbak Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN.



Merekam Budaya dan Kearifan Lokal dalam Cerita, Kekinian!

Kirana Kejora
Buk e Kirana Kejora

Semangat, insight yang selalu berhasil disalurkan saat mendengar Buk e Kirana Kejora berbicara. Begitulah sapaan kami, para anggota Elang Nuswantara pada beliau. Ya, saya merupakan salah satu Pasukan Elang Biru dan tergabung dalam komunitas yang didirikan oleh Buk e. Jadi, saya sudah hafal betul bahwa Buk e adalah sosok yang tangguh, tegas dan tak pernah lelah membagi ilmu serta cambukan. "Jangan jadi penulis manja!", itu pesan beliau yang selalu saya ingat.


Membingkai budaya dan kearifan lokal dalam sebuah karya cerita atau bertutur, entah fiksi atau nonfiksi, akan menjadikannya lebih ringan untuk dibaca. Sehingga buku-buku budaya yang dulu dianggap serius atau tidak seksi, tidak lagi menjadi halangan untuk menerbangkannya lebih tinggi lagi.


Sebuah cerita yang mengangkat budaya sebagai latar belakangnya, akan membuat pembaca lebih santai menambah wawasan sembari menikmati alur. Fiksi dan nonfiksi, yang membedakan hanya nyata dan tidak nyata. Tinggal mengemasnya saja dalam cerita.


Di tengah webinar, beberapa karya dan perjuangan seorang Kirana Kejora ditampilkan sebagai bukti bahwa novel yang notabenenya adalah cerita, merupakan kemasan bacaan yang sangat diminati. Terpampang dari karya best seller beliau yang telah diangkat ke film layar lebar, yaitu Ayah Menyayangi Tanpa Akhir dan Air Mata Terakhir Bunda. Diperankan oleh artis-artis papan atas Indonesia. Saya yang hanya menonton cuplikan dari kedua film tersebut, dibuat merinding karena begitu menggugah emosi.

Air Mata Terakhir Bunda
Air Mata Terakhir Bunda karya Kirana Kejora

Disinggung pula karya terbaru Buk e berjudul Bumi Saujana, berisi kumpulan travel note hasil kunjungan ke berbagai spot indah Indonesia. Travel note ini tulisan nonfiksi, tetapi bila disampaikan dengan bertutur dan meraciknya dari kumpulan diksi-diksi indah, tetap akan menjadi bacaan yang bikin betah.


Bukti lainnya juga terjadi pada buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa, antologi bersama roman budaya karya Pasukan Elang Biru. Buku ini pun best seller!  Ratusan buku sudah sampai ke tangan pembaca. Berkali-kali open pre-order, dan masih ramai peminat. Kenapa? Karena pengemasannya tadi. Membungkus budaya dalam antologi cerpen roman budaya. Sehingga pembaca pun menikmati, bukan terkesan sedang belajar. Padahal, banyak wawasan budaya yang telah terekam dalam memorinya.


Penulis itu cerdas. Penulis itu periset. -Kirana Kejora


Buk e membocorkan beberapa hal penting dalam menulis sebuah cerita menarik. Jelas bagi para penulis dan pegiat literasi, ini menjadi ilmu yang sangat mahal dan dibutuhkan. Analoginya, penulis itu punya laboratorium sendiri untuk meracik ramuan tulisannya. 

  1. Sebuah cerita filmis wajib mengandung tiga unsur, yaitu masuk akal, menggetarkan dan kejutan.
  2. Dalam sebuah cerita yang bagus, genre apa pun, mesti dibumbui roman (kisah percintaan), drama keluarga, religi/spiritual dan komedi
  3. Pertama, buat premis, yaitu satu kalimat yang menggambarkan isi cerita.
  4. Kemudian logline, yaitu satu paragraf yang menggambarkan keseluruhan cerita.
  5. Setelah itu sinopsis, yaitu dari logline yang dilebarkan.
  6. Agar terarah dalam menulis, buat juga outline, yaitu rencana tulisan atau garis-garis besar cerita yang akan ditulis.
  7. Lalu, lakukan riset. Riset ini dilakukan bukan hanya untuk naskah, namun juga nanti sampai ke tahap promosi, seperti membaca selera pasar. Bahkan untuk jenis font saja perlu diriset.
  8. Judulnya tidak perlu buru-buru ditentukam di awal. 
  9. Pembuka cerita sebaiknya berupa narasi yang meninggalkan kesan, bukan pesan. Bagaimana sebuah narasi dapat menggiring pembaca untuk lanjut ke paragraf selanjutnya. Hindari memulai dengan percakapan.
  10. Untuk memperkenalkan karya, buat juga tampilan visual berupa book teaser dan book trailer. Perbedaan keduanya terletak pada dari durasi. Teaser kurang dari 1 menit, sedangkan trailer lebih panjang dari itu, sekitar 2-3 menit. Disarankan juga dalam satu video tidak memakai lebih dari 3 font, agar tetap terlalu ramai.


Jadi, untuk membuat sebuah buku budaya yang menarik, maka kemasannya dulu yang harus dibuat menarik. Seperti mengangkatnya dalam cerita, pembaca akan dibawa dalam sebuah kisah, sehingga mempelajari budaya pun mwnjadi lebih enjoy. Inilah pengemasan yang tak biasa tersebut. Apalagi disertai dengan video-video yang memanjakan mata, pembaca pun seolah dibawa lebih dalam dan tidak ada lagi kesan kaku dalam karya literasi budaya. Kekinian!



Menulis Fiksi Bukan Berkhayal

Widyanti Yuliandari
Mbak Widyanti Yuliandari

Selanjutnya, Mbak Widyanti Yuliandari memberikan paparan yang lebih detail mengenai fiksi. Sesuai dengan buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa yang mengangkat sepenuhnya fiksi roman berlatar belakang budaya. Saya sebagai penulis fiksi pemula, mencatat banyak sekali penjelasan dari Mbak Wid, begitu saapan kami pada beliau. 


Sebenarnya, terdapat mitos-mitos yang selama ini lekat dengan karya fiksi. Ini yang harus diluruskan dulu agar tidak ada salah kaprah di awal. 

Pertama, mitos bahwa penulis fiksi harus pintar berkhayal. Sebenarnya tidak juga. Senada dengan apa yang disampaikan Buk e, karya fiksi bukan sepenuhnya khayalan. Ada unsur masuk akal di dalamnya. Menulis fiksi harus kuat risetnya. 

Kedua, hanya dapat ditulis oleh orang yang berbakat. Ini juga keliru, karena menulis adalah proses belajar. Bagi penulis nonfiksi sekali pun, bisa juga menulis fiksi bila berani mencobanya.

Ketiga, fiksi adalah jenis tulisan yang sangat gampang dibuat. Nyatanya, ini juga tidak benar. Menulis fiksi juga memiliki tingkat kesulitannya sendiri. Tidak semudah mengkhayal sambil menatap langit-langit kamar, lalu cerita selesai.


Mbak Wid sedikit berbagi cerita. Orang yang dibesarkan dalam pola pikir engineer seperti beliau, ternyata bisa menulis fiksi. Misal cerpen "Dari Taneyan Lanjang Menuju Wageningen" mengangkat budaya Madura yang ditulisnya. Itu mengandalkan memori dan riset, serta tokohnya mengandung sepersekian dirinya. 

Tips menulis fiksi
Tips menulis fiksi dari Mbak Widyanti Yuliandari

Mbak Wid juga membagikan tips menulis fiksi bagi pemula yang disimpulkan dari pengalamannya menulis fiksi.

  • Perbanyak membaca karya fiksi. Agar dapat menulis fiksi, setidaknya bekali dulu diri dengan membaca karya fiksi yang ditulis dengan baik. Ini akan membantu untuk memperkaya diksi, mempelajari alur cerita atau menangkap unsur-unsur lain yang nanti juga bisa diterapkan dalam karya sendiri.
  • Lepaskan ekspektasi. Memaksa menghasilkan karya sempurna, hanya akan membuat diri sendiri terbebani dan akhirnya takut mencoba. Yang penting mulai dan berjuang dengan kemampua  terbaik. 
  • Gunakan setting yang mudah dibayangkan. Ambil dari sesuatu yang sudah kita tahu dan alami. Sehingga lebih mudah untuk menuangkannya.
  • Gunakan bantuan video, foto, rekaman suara dan sebagainya. Agar tulisan ini semakin menyatu, karena dijelaskan lebih detail melalui berbagai media ini.
  • Meminta bantuan Sang Maha Pencipta. Sangat penting untuk memperlancar setiap prosesnya. Bagaimanapun, saat tantangan datang, menengadahkan tangan kepada yang Maha Pemilik Segala akan menenangkan dan pastinya membantu untuk menghasilkan yang terbaik.


Karya yang selesai, jauh lebih baik dari karya yang sempurna (tapi tak kunjung selesai). -Widyanti Yuliandari


Selagi kita mau mencoba melakukan hal baru dan membuka diri terhadap kemungkinan baru, menerbangkan adikarya yang merekam kekayaan nuswantara dalam sebuah bingkai cerita yang tak biasa, akan menjadi langkah berarti untuk menjaga kelestarian budaya kita.


Baca juga: Peluncuran 3 Buku Prosa Budaya Elang Nuswantara, Dikemas Elegan Di Perpustakaan Nasional RI



Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

Sharing bersama penulis Elang Biru
Sharing bersama Mbak Rahmi Aziz, salah satu penulis Elang Biru

Mbak Rahmi Aziz, dengan nama pena Rahmi C. Mangi, salah satu penulis buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa, turut membagi pengalamannya selama menulis dan mempromosikan buku. Mengangkat budaya Bugis dalam cerpennya, menarik banyak sekali peminat. Hingga temannya yang di Dubai pun turut memesan. Berkah dari menjaga silaturahmi, membuahkan apresiasi yang begitu besar dalam karyanya.


Kebudayaan yang terkikis modernisasi bukanlah isapan jempol belaka. Tenggelam oleh tren-tren yang dinilai lebih bergaya masa kini. Itulah pelajaran yang ternyata bukan hanya saya yang merasakan, Mbak Rahmi pun menyaksikan sendiri realita ini selama melakukan riset dan menulis. Makanya, kalau bukan kita, siapa lagi?


Mbak Rahmi yang kesehariannya sibuk mengemban profesi sebagai dokter gigi, mengatakan bahwa antologi bersama Beri Aku Cerita yang Tak Biasa telah memberi pengalaman berharga baginya. Ilmu menulis serta prosesnya, semakin membuka mata bahwa kita semua, masyarakat Indonesia, sudah sepatutnya berkontribusi melesetasikan budaya. Merekam jejaknya, membungkusnya dalam bingkai yang tak biasa, agar tetap ada dan terus diwarisi hingga nanti.


Budaya ini jati diri bangsa yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Akankah kita rela menyaksikannya hilang perlahan? 

Mari ambil bagian dalam melestarikan budaya.

Salam Literasi!

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)