Mental Load: Terjerat Beban Tak Terlihat

No comments

Tampak baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak. Jangankan orang lain, diri sendiri pun tidak menyadari kalau beban sedang bersarang. Menumpuk dan terus menumpuk. Itulah bom waktu yang pernah ada dalam diri saya. 


mental load

Saya yang sekarang, sudah jauh lebih baik. Mengingat beberapa tahun silam, masa di mana saya kerap menjambak rambut, pernah membenturkan kepala, mencakar diri sendiri dan membatin, "Bagaimana bila saya dan anak-anak ini meninggalkan dunia saja?" Ya, itulah saya ketika "bom" meledak. Sedikit saja tersentuh pemicu, seperti anak yang tidak kunjung mau makan, PMS yang membuat emosi semakin berantakan atau suami yang dirasa kurang peka, langsung terpikir untuk menyakiti diri. 


Baru belakangan saya ketahui istilahnya. Beban tak terlihat yang menjadi awal mula cerita ini bernama mental load.



Otak dan Hati yang Tak Henti Bekerja

pikiran yang terus bekerja

Isu kesehatan mental semakin terangkat sejak Pandemi Covid-19 lalu. Bukan hanya di media sosial, saya pun kerap membaca informasinya di berbagai artikel. Sampai akhirnya saya bertemu dengan mental load


Sebenarnya, mental load ini identik dengan tanggung jawab atau hubungan. Banyak yang membahasnya dari sudut pandang seorang ibu dengan peran besarnya. Mulai dari memikirkan, menyiapkan, hingga memastikan semua kebutuhan anggota keluarga terpenuhi. Bahkan menerima penilaian dari orang sekitar yang sering kali menghakimi tanpa tahu apa yang terjadi, juga kerap dilakoni. 


Walau sebenarnya mental load bukan hanya terjadi pada ibu, tapi mari kita mulai dari apa yang saya alami dulu.


Endless task, begitu saya menamainya. Pekerjaan saya sejak menjadi ibu, memang tidak ada habisnya. Sudah tidur malam pun, saya masih harus terjaga untuk memenuhi kebutuhan ASI anak-anak di masa menyusui. Itu yang tampaknya. Tapi yang tak tampak, daftaranya jauh lebih panjang. Pagi masak apa, cucian yang sudah menumpuk kapan dicuci, baju yang kemarin belum disetrika, buah di kulkas sudah habis, beres-beres rumah belum sempat, kamar mandi belum disikat, bla bla bla. Untuk memasak saja, saya juga mesti memikirkan waktu belanjanya, proses masaknya, nanti kalau anak-anak rewel saat memasak saya mesti apa, dan sebagainya. Akan berkali lipat lebih padat bila anak sakit atau tiba-tiba datang masalah tak terduga. 


Puncaknya, ketika anak pertama saya sulit sekali makan

tidak ada masalah yang sepele

Saya tidak pernah menyangka bahwa sesuatu yang umum dihadapi ibu-ibu sejagat raya ini menjadi awal, di mana logika saya tidak lagi berperan sebagaimana mestinya. Singkat cerita, anak pertama saya sulit sekali makan. Nyaris muntah di setiap kali ia berusaha menelan makanan. Ibu mana yang tidak stres dengan keadaan ini? Di tengah gempuran stigma bahwa anak yang sehat adalah anak yang banyak makan dan berbadan gempal, tak ada satu pun yang melirik barang sedikit, betapa luar biasanya perjuangan saya demi masuknya sesendok makan ke lambung mungil itu.


Apa lagi yang harus saya masak? Apa yang salah dengan pencernaan anak saya? Dia sakit apa? Bagaimana kalau ia sampai kekurangan gizi? Belum cukup pantaskah saya menjadi seorang ibu, sampai-sampai menyuapi anak saja tidak becus? Kenapa ini terjadi dengan saya? Pasti nanti orang-orang akan mengatai saya ibu yang tidak telaten, atau mengomentari tubuh anak saya yang tak lagi sesemok saat masih bayi.


Bayangkan, dari sulit makan saja, sebanyak itu yang berputar di kepala. Tidak sehari, dua hari. Tapi bertahun. Ya! Anak saya bertahun-tahun mengalami kesulitan makan. 


Otak ini terus berpikir tanpa jeda. Tidur tidak lagi mampu mengalihkan. Saat terjaga, rasanya malas sekali untuk beranjak dari ranjang. Sekarang baru saya merasa ngeri dengan apa yang saya bayangkan hampir di setiap bangun, "Andai saya bisa koma dan tertidur di ranjang rumah sakit, saya tidak perlu menjalani hidup seperti ini." Amit-amit, jangan sampai diaminkan malaikat dan dikabulkan Tuhan. Sungguh, saat ini saya tidak menginginkannya sama sekali. Mental load kala itu membuat pikiran dan tubuh saya sakit. Sakit yang terus berusaha saya alihkan agar tampak sebagai sosok ibu yang tangguh.


Tidak ada yang tahu. Saya pun berusaha tidak mau tahu.


Mental load lebih kepada pekerjaan kognitif, bukan fisik. Mengelola semua tugas yang tak terlihat dan tak berwujud. Kumpulan dari segala detail yang dilakukan, seperti menghubungkan, menilai, mempertimbangkan dan memutuskan. 


Semua orang berpeluang mengalami mental load

Siapa saja bisa mengalami mental load

Itu baru mental load yang saya alami sebagai ibu dengan masalah pengasuhannya. Nyatanya, semua orang bisa mengalami apa yang saya alami, hanya saja konteksnya berbeda. Dalam pekerjaan, hubungan, keluarga, pendidikan dan sebagainya. Contoh simpelnya saja saat saya menulis artikel ini, dapat dikategorikan sebagai aktivitas para pemilik profesi yang identik dengan kepenulisan atau blogger yang lebih tepatnya. Pekerjaan fisik yang tampak adalah saya menulis di blog, curhat-curhat, lalu dipublikasikan. Mungkin bagi yang melihat, ini hanya sebuah aktivitas yang bisa dilakukan dengan santai, duduk sambil bersandar dan menyeruput segelas es kopi kekinian, di cafe pula. Padahal, apa yang saya pikirkan tidaklah sesederhana itu.


Mulai dari cerita apa yang pantas dibagi, apa manfaat yang bisa diambil oleh pembaca, apa pembuka dan penutup yang pas, bagaimana saya membaginya dalam sub judul yang terorganisir, data atau pendapat apa yang akan saya masukkan sebagai penguat opini, gambar seperti apa yang pas untuk melengkapi, hingga judul apa yang tepat agar dapat muncul di mesin pencari ketika pengguna mengetik kata kunci. Belum lagi membagi waktu menulisnya dengan tugas rumah tangga. Panjang sekali bukan? Dan yang ditulis bukan hanya satu, tapi sangat banyak artikel.


Bila tidak bisa mengelola semua pemikiran itu sesuai kapasitas diri, aktivitas menulis mungkin saja menjadi pintu menuju dampak negatif mental load. Nyatanya itu ada dan banyak di antara kita yang akhirnya menyerah dengan pekerjaan yang mereka lakoni. 


Kalau dalam sebuah hubungan, bagaimana bentuknya? Yang paling mudah dijadikan contoh adalah sebuah hubungan toxic. Ketika kita merasa tertekan, marah, kesal, curiga, sedih, atau terancam dalam menjalani hubungan dengan orang lain. Apakah segala yang dipikirkan tentang itu akan terlihat? Tidak sama sekali, selama belum diungkapkan atau ada kejadian yang mengungkapkan. Bahkan seremah suami yang tidak kunjung meletakkan handuk di jemuran, rekan kerja yang inginnya menang sendiri, atau dalam sebuah kerja kelompok dengan beberapa anggota yang lepas tangan tak peduli. 


Kita pernah mengalaminya, bukan? 



Bahaya Mengintai Di Balik Mental Load 

dampak negatif mental load

"Kerja memang begitu. Kalau enggak mau capek, tiduran saja di rumah."

"Namanya juga hidup, pasti berat lah."

Spesial untuk ibu-ibu seperti saya, "Jangan manja. Jadi ibu itu harus kuat. Enggak boleh sakit, enggak boleh ngeluh."


Segala macam pengalihan sering membuat banyak dari kita mengenyampingkan kondisi diri yang sebenarnya sudah rentan menampung segala beban emosional yang tak kunjung mendapat perhatian. Seperti sebuah jeratan, dianggap biasa dan disepelekan. Padahal kelelahan atau emosi yang tidak lagi bersahabat, tubuh akan memberi "peringatan". Apalagi kalau sudah ke tahap melukai diri seperti yang pernah saya lalui, segera, sadarilah bahwa mental load sudah melebihi kapasitasnya.


Pada tahap normal, mental load yang overload pasti membuat stres. Tapi jangan buru-buru cemas. Siobhan Murray, seorang psikoterapis menyatakan bahwa stres ternyata sangat penting, dan kecemasan akan memotivasi kita untuk melakukan segala sesuatunya dengan baik (sumber: bbc. com). Jadi, stres akan memancing pertahanan diri untuk segera keluar dari masalah tersebut. Mental load yang masih di tahap berdampak stres, tergolong masih aman.


Nah, dampak yang ditakutkan itu adalah ketika stres tersebut menjadi berkepanjangan. Bila harusnya stres ini bersifat sementara, tapi kita malah merasakannya terus menerus tanpa henti dikarenakan mental load yang berkecamuk semakin berat, sebaiknya segera waspada dengan dampak yang lebih buruk.


Ditulis oleh Dr. Erin Eatough, occupational health psychologist dalam sebuah artikel yang tayang di betterup.com, mental load yang tidak dikelola akan berdampak negatif bagi penderitanya. Berikut beberapa di antaranya.


  • Kelelahan Emosional

Tiada henti memikirkan tanggung jawab dan segudang tugas dalam pekerjaan, hubungan atau seperti saya, mengatur segala urusan rumah tangga, pasti menguras emosi. Seperti tubuh kita, emosi yang terus dipaksa bekerja secara berlebihan, tanpa istirahat, akan berujung pada kelelahan emosional. Gejalanya dapat berupa kurang motivasi menjalani hari, selalu merasa cemas, sulit untuk tidur padahal fisik sudah lelah, atau sebaliknya, sudah tidur, tapi tubuh tetap merasa lelah. 


  • Burn out

Burn out berkaitan dengan kelelahan akibat pekerjaan. WHO sendiri sudah mengklasifikasikan burn out sebagai penyakit internasional terbaru yang digambarkan sebagai stres kronis akibat pekerjaan yang belum berhasil dikelola. Ini dialami oleh orang yang memaksa diri untuk bekerja dan kurang mendapat apresiasi. Waktu untuk diri sendiri pun turut lenyap. Meski mencoba me time atau healing, tetap saja mengkhawatirkan tugas-tugas yang mesti diselesaikan setelahnya.


Imbasnya bukan lagi sebatas kelelahan emosional, fisik dan mental pun ikut menjadi sasaran. Akhirnya, kejenuhan dan rasa pesimis datang, hingga muncul perasaan tidak berarti dan tidak dianggap, terutama dari orang yang diharapkan bisa memberi apresisasi dan perhatian. Lalu, merasa sendiri dan terasingkan. 


  • Kecemasan dan Depresi

Tidak dapat menjauh dari segala beban yang tak berwujud ini dalam waktu yang lama, bisa juga berujung pada rasa cemas yang berlebihan dan depresi. Berbeda dengan stres, depresi ini sudah termasuk gangguan mental yang dapat memengaruhi perasaan, cara berpikir, bertindak atau gabungan ketiganya. Ketika mengalami depresi, suasana hati cenderung sedih dan kehilangan minat untuk beraktivitas. Dapat pula memicu untuk menyakiti diri sendiri dan timbul keinginan bunuh diri.


Selama ini saya menolak dikatakan mengalami depresi, walau nyatanya mental load sudah berdampak sebesar itu pada mental saya. Seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, saya kerap menyikiti diri ketika sudah tidak mampu lagi mengontrolnya. Suami sampai memeluk saya seerat-eratnya agar tidak punya ruang untuk bergerak, sampai keadaan lebih tenang. Menyedihkan dan agak menakutkan. Saya saja masih tak percaya pernah menjadi sosok yang berbeda dalam sekejap karena mental yang tak terjaga. 


  • Kurang Tidur

Tiga dampak yang telah dijelaskan tadi sama-sama berisiko menimbulkan kesulitan tidur. Jangankan ditambah dengan masalah mental dan berkepanjangan, semalam saja kita tidak memenuhi kebutuhan jam tidur seperti biasanya, pasti berpengaruh pada kondisi tubuh keesokan harinya. Bayangkan bila berlarut-larut, besar kemungkinan akan mengganggu sistem kekebalan tubuh, sakit kepala, rasa yang tidak nyaman, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung dan hubungan dengan orang di sekitar turut menjadi korban. Ih, pokoknya segala rasa tidak enak akan berkumpul akibat kurang tidur ini.


Jiwanya mati, kata yang saya dapatkan dari salah satu konten media sosial. Terlihat baik-baik saja tanpa ada yang menyadari bahwa di dalam dirinya sudah hancur berantakan. - dampak mental load yang tidak dikelola dengan baik


Sedih mengakui bahwa saya mengalami semua dampak negatif tersebut. Tapi itu belum lengkap. Dampak paling menakutkan bagi saya yang kebetulan seorang ibu adalah bagaimana mental load yang belum mampu saya atur dengan baik itu, terlampiaskan pada anak-anak dalam wujud pukulan, bentakan dan respon yang tidak sepantasnya. Saat menulis ini pun, hati saya terasa disobek-sobek kembali. Ekspresi dan tangisan mereka sangat membekas dan mungkin akan selalu ada sampai kapan pun. Kesalahan yang sulit saya maafkan, walau anak-anak tetap tampak baik setelahnya.


Bersyukur dosa yang saya lakukan pada anak-anak masih sebatas pukulan ringan, bentakan umum ibu-ibu anak dua yang kebablasan, serta tidak sampai menjejakkan luka fisik dan mental yang membuat mereka perlu mendapat penanganan khusus. Tapi apa kabar dengan ibu yang pertahanan mentalnya sudah hancur berantakan tanpa penanganan? Ingin rasanya saya memeluk dan mendengar keluhannya agar jangan sampai ada lagi berita ibu menganiaya anak, atau yang sampai tega membunuh darah dagingnya. 


Seburuk itu dampak gangguan mental yang menyerang para ibu. Bahkan menurut penelitian, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang mengalami stres sewaktu hamil, berisiko 10 kali terkena gangguan kepribadian setelah mereka lahir (British Journal of Psychiatry dikutip dari news.detik.com). Apalagi anaknya telah lahir, risiko tentu semakin besar. Indera anak sudah bekerja, memori anak sudah merekam.


Karena akal sehat dan naluri, akan semakin samar seiring bertambahnya kesakitan mental yang kita alami.


Ini hanya dampak mental load berlarut sebatas pengetahuan dan pengalaman saya. Mungkin saja jejeran dampak buruk itu jauh lebih panjang dan mengkhawatirkan. Bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga circle yang lebih besar. 


Akankah kita diam saja bila sudah merasakan salah satu atau beberapa dampak negatif di atas? Plis, jangan.

Mari atasi semaksimal yang kita bisa sebelum terlambat. Kalau bukan dimulai dari langkah sendiri, mau menunggu siapa lagi?



Begini Cara Mandiri Saya Mengatasi Mental Load 

cara mengatasi mental load

Saya selalu percaya bahwa setiap individu punya kemampuan dan wewenang penuh untuk mengatasi masalah yang terjadi pada dirinya. Tentunya tanpa maksud mengenyampingkan bantuan dari pihak luar bila diperlukan, ya. 


Bila teman-teman mengalami mental load yang tak kunjung mereda dan sudah sampai merasakan dampak buruknya, semoga beberapa cara yang saya lakukan berikut bisa meringankannya. 


🌸 Yuk, Aware dengan Kondisi Mental Kita

Mental terganggu berarti gila? Enggak, dong. Sangat disayangkan bila paham seperti ini masih dipercayai. Sehingga enggan menunjukkan atau mengakui ketika kondisi mental memburuk. Selalu dipungkiri, disembunyikan atau dialihkan. Seharusnya mendapatkan penanganan, malah dibiarkan. Beruntung bila pulih sendiri. Kalau tidak?


Ketidaktahuan akan pentingnya menjaga kesehatan mental, bagaimana mengenali gejalanya dan akses untuk menanganinya, membuat kita mudah menyepelekan. Termasuk saya yang dulu. Makanya penting sekali untuk meningkatkan literasi kita akan kesehatan mental. Tidak perlu menjadi ahli atau semacamnya, setidaknya kita bisa sadar lebih cepat ketika butuh penanganan segera.


Percuma mengagendakan healing sering-sering kalau kita tidak sadar bahwa yang sebenarnya harus diperbaiki ada di "dalam". Hanya pengetahuanlah yang bisa meningkatkan kesadaran itu. Tidak ada salahnya mempelajari sesuatu yang krusial dalam kebutuhan dasar hidup kita. Ketahui teorinya, lalu praktikkan. Belajar dari sumber apa saja, selagi dipercaya dan jelas kebenarannya. Manfaatkan kemudahan digitalisasi saat ini akan sangat memudahkan. Banyak website kesehatan mental yang menarik untuk memperkaya ilmu. Contohnya yang baru saya baca kemarin mengenai cara berdamai dengan diri sendiri. Saya jadi tertarik mencoba meditasi mindfulness bila ada waktu dan jadi tahu juga akan peran alam untuk membuat diri lebih "adem".


🌸 Tuangkan Apa yang Dipikirkan

Jadikan apa yang tak terlihat itu terlihat. Tulis dalam sebuah note atau agenda. Dengan menuangkannya, pasti akan jelas semua. Sama seperti memendam kesedihan atau perasaan lain di dada. Ketika dicurahkan atau diceritakan pada orang lain, pasti jauh lebih lega. Menjadikan setiap tugas, pertanyaan atau keluh kesah yang dipikirkan menjadi dapat dibaca, kita akan bisa mengotakkan dan mendapat gambaran untuk mulai dari mana menguraikannya. Setiap kali ingat atau terpikir sesuatu, catat saja dulu. 


🌸 Filter

Catatan yang dimiliki tadi, gunakan untuk menyaring. Mana yang sebenarnya perlu dipikirkan, dan mana yang tidak. Mana yang bisa dikerjakan terlebih dahulu, dan bagian mana yang bisa dituntaskan kemudian. Anutan yang saya pelajari dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring adalah yang paling berperan sampai saat ini. Berkat tulisan beliau, saya lebih mampu mengontrol pola pikir untuk memilah mana yang ada di dalam kendali dan mana yang tidak.


Tips menfilter mental load ala saya ini, tentu juga bisa dipraktikkan teman-teman. Pertama, coret semua hal yang pengendaliannya tidak berada ditangan kita. Misal, komentar dan penilaian orang lain, kondisi lingkungan, real keberlangsungan acara yang kita persiapkan, atau tingkah laku anak-anak yang kadang bikin darah naik ke ubun-ubun. Tidak perlu memikirkan hal ini, karena dipikirkan berlarut-larut pun, tetap tidak akan bisa memastikan semuanya sesuai dengan kehendak kita.


Baru yang diperhatikan selanjutnya adalah poin-poin yang ada dalam kendali kita. Seperti apa yang bisa dilakukan dan apa yang bisa dikontrol dalam diri sendiri. Ini bisa dikurangi lagi bila ada yang tidak bisa dilakukan sendiri. Misal tugas yang terlalu banyak, bisa dibagi dengan orang lain atau didiskusikan dengan orang yang punya kaitannya di sana untuk menemukan solusi. Dengan managemen seperti ini, tumpukan pikiran itu pasti terurai.


🌸 Ingat Fitrah Sebagai Makhluk Sosial

Berkaitan dengan pengurangan beban kerja tadi, jangan pernah sekali pun gengsi, takut, malu atau merasa tidak kompeten dan takut dianggap tidak dapat diandalkan ketika mengungkapkan bahwa tugas yang diemban terlalu memberatkan. Jangankan kita, super hero saja, berkolaborasi dalam tim Avenger agar bisa menghasilkan yang terbaik. Itu analogi saja, karena nyatanya manusia adalah makhluk sosial yang punya batas kemampuan dan tidak akan bisa hidup sendiri. Mungkin saja dipaksakan, dan hasil pekerjaannnya pun berjalan sesuai target, tapi apa sepadan bila ditukar dengan ancaman pada kesehatan mental kita?


Kalau dulu saya masih khawatir dianggap sebagai ibu yang tidak telaten memberi anak makan, atau istri yang malas karena membiarkan suami mencuci piring dan memandikan anak-anak, kini tidak lagi. Penilaian orang lain bukanlah dalam kendali saya, untuk apa dipikirkankan? Jauh lebih baik bila saya fokus dengan kehidupan sendiri. Selama tidak masalah bagi saya dan keluarga yang menjalani, kenapa harus memusingkan orang lain yang tidak tahu sama sekali?


🌸 Lakukan

Setelah memilah dan dikurangi sesuai dengan kemampuan diri, maka tidak ada solusi pamungkas selain segera melakukannya. Namanya saja pekerjaan, ya harus dikerjakan. Untuk mental load yang bukan berupa sebuah tugas, seperti hubungan yang kurang harmonis, bisa segera mengomunikasikannya dengan yang bersangkutan. Atau kesulitan mengendalikan emosi, maka bisa mengikuti terapi, membaca buku untuk menemukan solusi dan apa pun itu selama masih dalam lingkup kendali kita. Intinya, lakukan dan selesaikan.


Kalau saya pribadi, punya papan jadwal sendiri dan sticky note untuk memudahkan. Saking inginnya mental load ini terurai dan tidak lagi membuat depresi, saya menuliskan jadwal harian sedetail mungkin, lengkap dengan perkiraan waktunya. Dengan begini, saya jadi makin tahu batas kemampuan diri dan tugas mana yang harusnya saya mendapat bantuan orang lain. Semakin jelas apa yang mesti dilakukan tanpa harus memikirkannya terus. 


Kunci dari mental load ini adalah pengelolaannya. Seperti dampak negatif yang dipaparkan oleh Dr. Erin Eatough, itu akan terjadi kalau mental load tidak dikelola dengan baik. Karena bagaimanapun, mental load, alias beban tak terlihat yang memenuhi kepala ini, pasti akan ada di sepanjang rute kehidupan. Hidup siapa sih yang tidak ada masalah? 


Bukan mental load-nya, tapi baik-buruk pengelolaannya yang menentukan. 


Tidak ada yang kekal di dunia, termasuk mental load. Sekalipun pekerjaan rumah tangga yang monoton atau tugas input data di bentuk tabel yang sama, terus berulang setiap hari nyaris tanpa beda, pasti nanti akan sampai di titik pekerjaan itu tak lagi menjadi sebuah beban pikiran. Ya dengan itu tadi, mengelolanya sebaik mungkin sesuai kemampuan diri. 



Mental Illness Bukan Kurang Rasa Syukur

mental illness bukan kurang bersyukur

Entah kenapa, setiap kali membahas mental health, saya teringat statement yang mengaitkannya dengan rasa syukur seseorang. Seolah satu-satunya sumber penyebab gangguan mental adalah tidak bersyukur.


Harusnya kamu bersyukur. Cobaan orang lain jauh lebih berat. 

Kurang bersyukur apa lagi saya? Dianugerahi dua anak, suami bertanggung jawab dan masih diberi rezeki cukup untuk hidup layak. Sungguh saya ingin teriak marah ketika keluhan stres dan kelelahan emosional, disangkut pautkan dengan kurangnya rasa syukur. Sama seperti kasus burnout bagi karyawan. Apakah mereka semua tidak bersyukur dengan pekerjaannya? Bisa jadi itu adalah podium pencapaian yang diidam-idamkan sejak lama.


Kesehatan mental, sama saja dengan kesehatan fisik.

Coba deh, apa yang dipikirkan ketika kita terserang demam atau flu? Pasti kekebalan tubuh yang melemah dan tidak bisa menangkis virus-virus nakal sebagai penyebabnya. Nah, itu pula yang terjadi pada mental illness. Pertahanan mentalnya tidak mampu mengatasi masalah hidup yang sedang dihadapi. 


Serupa pula dengan sistem kekebalan yang berbeda pada setiap raga, kekebalan pada batin pun berbeda. Ada yang dengan santai dapat melewati cobaan A, tapi bukan berarti semua orang diwajibkan melalui cobaan A tersebut dengan kesantaian yang sama. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti karakter, pengalaman hingga lingkungan dan kondisi hidup. 


Saya tidak memungkiri bahwa bersyukur dan selalu mengingatkan diri atas karunia Ilahi yang diterima hingga detik ini adalah salah satu cara untuk membantu meredakan masalah mental. Namun, bukan berarti rasa syukur adalah penyebab gangguan mental. Tidak sesempit itu, Bestie


Dari pada bilang "Kamu itu harusnya bersyukur", lebih baik memberi solusi ketika mendengar curhatan orang terdekat yang tengah tertekan. Atau kalau sempat, bantu ringankan beban dan pekerjaannya bila itu yang menyebabkan.


_______


Saya memang bukan seorang psikolog dan ahli dalam bidang psikologi manusia. Saya menulis ini murni dari sudut pandang seseorang yang pernah depresi karena beban pikiran yang sudah menggerogoti secara perlahan. Meledak di saat tertentu, yang bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tapi juga orang dicintai.


Sungguh, saya bersyukur dimampukan melalui masa berat itu, meski beberapa goresannya masih perlu diperbaiki. Sangat besar harapan saya dari pengalaman yang tidak seberapa ini, bisa membantu lebih banyak orang untuk lebih peduli lagi dengan kesehatan mentalnya.


Terutama untuk sesama ibu dan yang akan menjadi ibu, ditangannya ada masa depan manusia titipan Tuhan. Jangan sampai dari tangan kita yang seharusnya membelai, malah membuat anak-anak terluka dan mewarisi dampak buruk dari mental load yang tidak dikelola dengan baik.


Camkan bahwa menjaga kesehatan mental, sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Seperti tubuh yang kadang terluka, mental kita pun juga bisa mengalami luka. Ketahuilah pertolongan pertama apa yang mesti diberikan sebelum semakin parah.


Mari rangkul diri sendiri dulu, sebelum merangkul yang lain.

Bukan egois, bila memang itu yang dibutuhkan.


_______


Tulisan ini diikutseratakan dalam #DearSenjaBlogCompetition dengan tema “Suara & Ceritaku: Kesehatan Mental Itu Penting!“

Referensi:

WHO jabarkan 'fenomena kelelahan bekerja', apa itu dan bagaimana mengatasinya? Tautan: https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-48604523

What is mental load? Recognize the burden of invisible labor. Tautan: https://www.betterup.com/blog/mental-load

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)