Guru Literasi Anak-Anak Papua Barat

2 comments

"Pernah ada salah satu murid, dia awalnya buta huruf, bahkan menulis namanya pun tidak bisa. Seiring berjalannya waktu, adik ini akhirnya sudah mulai bisa sedikit-sedikit. Yang paling mengharukan, kata pertama yang dia tulis adalah nama aku. Dia juga sempat cerita, dia sampai bertanya pada teman-temannya kalau menulis "Jordy" itu bagaimana caranya. Di sini aku bersyukur banget, ketika melihat perlahan anak-anak mulai bisa mengingat huruf dan menulis. Apalagi menjadikan nama aku untuk belajar menulis. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari proses hidup anak-anak dalam meraih mimpi-mimpi mereka."

- Bhrisco Jordy Dudi Padatu, Penggagas Papua Future Project -


Bhrisco Jordy Dudi Padatu, Penggagas Papua Future Project
Bhrisco Jordy Dudi Padatu, Penggagas Papua Future Project

Setiap Minggu, anak-anak menunggu antusias di bibir pantai Pulau Mansinam, Papua Barat. Kedatangan kakak-kakak dari Papua Future Project menjadi sumber kebahagiaan tersendiri karena akan mendekatkan mereka langkah demi langkah dengan cita-cita. Menjadi salah satu pulau terluar yang bersentuhan langsung dengan samudera lepas, pendidikan menjadi akses mahal yang membuat sebagian besar anak-anak di sini masih buta huruf meski hampir lulus SD. Bersama kawan-kawan relawan Papua Future Project, Jordy membawa akses literasi yang solutif dan sesuai, demi memupuk masa depan generasi bangsa dari timur Indonesia.


Every child metters. Hak pendidikan anak seharusnya diimplementasikan dengan inklusif di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali.



Realita Kesenjangan Pendidikan

Di balik keindahan Pulau Mansinam, ada kesenjangan pendidikan
Di balik keindahan Pulau Mansinam, ada kesenjangan pendidikan
Masih dalam satu provinsi, yaitu Papua Barat, dan hanya berjarak sekitar 15-30 menit perjalanan dengan kapal, kesenjangan pendidikan di Kota Manokwari dan Pulau Mansinam bak langit dan bumi. Di balik eksotisme alam yang memancing ketertarikan wisatawan, serta menjadi tonggak sejarah peradaban Papua, ternyata terdapat anak-anak yang kesulitan mendapat akses pendidikan.


Data pun berbicara. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2022, Pulau Papua masih menyandang Angka Buta Huruf (ABH) tertinggi dari wilayah lainnya di Indonesia. Untuk range usia 15 tahun ke atas saja, yang merupakan usia pemegang tongkat estafet kemajuan bangsa dalam waktu dekat, mencapai 21,17 persen. 

Bahkan dari kenyataan yang tidak terekam data, di Pulau Mansinam, salah satu Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), anak-anak usia sekolah dasar yang seharusnya sudah fokus mengasah kemampuan membaca, ternyata masih banyak yang belum mampu mengeja suku kata meski sudah duduk di bangku kelas 5 dan 6 SD


Jordy mengatakan bahwa masalah buta huruf disebabkan oleh penyebab yang kompleks. Mulai dari minimnya tenaga profesional, jam belajar yang tidak maksimal, orang tua yang buta huruf, serta banyak anak-anak yang harus membantu orang tuanya mencari nafkah sehingga sering tidak masuk sekolah. Sarana dan prasarana pun masih jauh dari standar kelayakan. 


Bayangkan, Mansinam hanya memiliki satu SD dan satu SMP. Itu pun sudah menjadi sekolah tujuan pulau lain di sekitarnya, seperti Pulau Lemon. Anak-anak Pulau Lemon mengandalkan kapal sekolah bantuan pemerintah yang mesti berbagi fungsi dengan aktivitas masyarakat mencari nafkah. Tak jarang anak-anak terpaksa menunggu sore untuk kembali ke rumah.  


Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk anak-anak Pulau Mansinam
Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk anak-anak Pulau Mansinam

Bukan hanya siswa, guru yang mengajar juga terkendala transportasi. Guru-guru ini berdomisili di Kota Manokwari. Terbatasnya ketersediaan kapal untuk menyeberang, membuat kelas sering kosong tidak ada pengajar, atau terpaksa hanya berlangsung beberapa jam saja, yaitu dari jam 9 pagi hingga jam 11 atau 12 siang karena guru harus berkejaran dengan jadwal keberangkatan kapal. Mau atau tidak, Proses Belajar Mengajar (PBM) terpaksa menyesuaikan jam tersebut. 


Guru-guru pun membutuhkan lebih banyak sosialisasi terkait kurikulum berlaku yang terkadang tak terjamah program pemerintah. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Jumeri, semakin memperjelas fakta dengan menyatakan bahwa kebanyakan daerah yang angka buta hurufnya tinggi berada di Daerah (3T), kerap terkendala akses atau sumber daya manusia ketika melakukan pelatihan keaksaraan (dilansir dari cnnindonesia.com).


Besar di Papua Barat dan menjadi warga aslinya, kenyataan inilah yang menggerakkan Jordy untuk mengantarkan akses pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anak Pulau Mansinam, sebagai wilayah dimana Papua Future Project pertama kali digagas. Demi tujuan meningkatkan literasi sebagai modal dasar kehidupan yang sebenarnya anak-anak berhak akan itu. 



Kurikulum Kontekstual dari Papua Future Project

Bersama anak-anak di Pulau Mansinam
Bersama anak-anak di Pulau Mansinam

Berdiri sejak akhir tahun 2020, Papua Future Project sudah menggurat banyak upaya dan cerita. Dimulai dari kesenangan Jordy akan dunia mengajar sejak SMA, berujung tekad memperkuat literasi anak-anak dengan capaian pendidikan yang masih di bawah standar nasional. "Aku bekerja sambil kuliah selama 2 bulan sebagai barista dan weiters untuk mengumpulkan modal membentuk komunitas Papua Future Project," kenangnya. Itu pun mulanya hanya mengajak tiga teman dekat yang memang benar-benar berkomitmen untuk mengajar.


Papua Future Project secara khusus mengangkat isu literasi pendidikan bagi anak-anak di Daerah 3T Papua Barat dan sekitarnya. Membuka kesempatan anak-anak Papua untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang inklusif.


Menyaksikan di depan mata masalah yang terjadi dilapangan, Jordy sadar bahwa menerapkan kurikulum nasional bukanlah solusi terbaik untuk saat ini. Anak-anak tentu akan kesulitan karena masih banyak yang belum bisa membaca. Starting point-nya saja sudah berbeda, bagaimana bisa mengikuti? Bila anak-anak di kota dengan kelancaran akses pendidikan sudah mampu membaca bahkan sebelum masuk SD, apakah bisa disamakan dengan anak-anak yang belum mencapainya bahkan di usia mereka yang lebih tua? Kesenjangan membuat titik awal perjalanan belajar tidak dapat disamaratakan. Itu fakta yang tidak bisa diabaikan. 


Kurikulum Kontekstual dari Papua Future Project
Kurikulum Kontekstual dari Papua Future Project

Maka dirancanglah Kurikulum Kontekstual yang menjadi kunci pengajaran Papua Future Project, relevan dengan apa yang terjadi di Mansinam dan Daerah 3T lain dengan masalah serupa. Mengintegrasikan teknologi, permainan tradisional, serta nilai-nilai adat masyarakat agar pendidikan tidak menjadi beban. Skenario pembelajaran mulai dari silabus, alokasi waktu, hingga metode dan media belajar dipersiapkan dengan matang.


Anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti Kelas kecil yang khususkan bagi anak-anak kelas 1-3 SD dan mereka yang belum lancar baca-tulis, serta Kelas besar yang terdiri dari siswa kelas 4-6 Sekolah Dasar dan SMP. Selain itu juga ada Kelas Menengah dan Kelas Pre-School. Dengan pembagian kelompok ini, baik pengajar, media yang disiapkan, hingga proses mengajarnya bisa tepat sasaran sesuai usia dan kebutuhan. 


Pembelajaran dibagi menjadi beberapa kelompok
Pembelajaran dibagi menjadi beberapa kelompok

Setelah sesi pembelajaran, anak-anak tak luput diberikan waktu untuk membaca buku. Melalui pengenalan bacaan yang menarik, dan ketika anak-anak bertemu dengan buku yang sesuai dengan ketertarikannya, minat baca akan terus bertumbuh sehingga membaca perlahan menjadi budaya. Tiang utama literasi.


Literasi tentu bukan hanya soal mahir baca-tulis, tetapi bagaimana mengolah keseluruhan ilmu dan informasi yang didapat untuk kecakapan hidup. Untuk itu, anak-anak juga dibekali pengetahuan tentang kebersihan, kesehatan, gizi, dan pengembangan diri. Akademiknya jalan, non akademik juga dikembangkan, seperti crafting, main bola, serta bermain musik. Isu lingkungan yang belakangan ini sering diangkat pun turut menjadi materi yang diajarkan. Di mana permasalahan sampah masih menjadi momok akibat wisatawan nakal yang membuangnya sembarangan, maka diberi solusi dengan manajemen sampah dan daur ulang sampah. Karena kalau sudah bersinggungan dengan problem lingkungan yang pasti berkaitan dengan perubahan iklim, masyarakat adat seperti di Mansinam inilah yang akan merasakan langsung dampaknya. Bagi mereka, tanah adalah ibu yang memberi kehidupan dan laut adalah ayah yang memberi makanan. 


Membuat kerajinan dari bahan alami
Membuat kerajinan dari bahan alami

"Ada anak yang pernah bilang, aku mengajar tidak pernah membentak, memukul, atau bernada tinggi. Jadi mereka merasa nyaman. Dari situ aku belajar bahwa tegas tidak harus bernada tinggi atau memegang rotan. Aku lebih memilih metode pendidikan yang lebih membangkitkan kepercayaan diri anak-anak. Misal dengan tidak bilang itu salah kamu, jangan gini atau jangan gitu. Tapi lebih ke 'Wah, sudah mulai bisa menulis, ya. Coba kita ulang lagi biar tambah lincah,' atau pada saat bermain aku sering iseng-iseng bicara, 'Laut' itu hurufnya apa saja, ya?'"

Cerita berkesan Jordy menggambarkan kebahagiaan anak-anak Mansinam selama belajar dengan kakak-kakak Papua Future Project. Bahkan kedatangannya selalu dinantikan. Berkat metode pengajaran yang tepat.


Sa senang sekali kaka-kaka datang dari kota bawa buku dan alat tulis buat tong belajar.” 


Anak Pulau Mansinam belajar membaca
Anak Pulau Mansinam belajar menulis dan membaca

Sangat besar harap Jordy akan sebuah sistem pendidikan yang inklusif. Semoga segera ada kurikulum khusus untuk anak-anak seperti di Mansinam karena setiap daerah punya masalah pendidikan berbeda. Solusi yang fokus pada akar rumput permasalahan, yang kebijakannya dibuat dengan melibatkan masyarakat sampai lingkup terkecil dan anak-anak muda.



Menyiasati Tantangan dengan Kolaborasi

Berkolaborasi membangun bangsa
Berkolaborasi membangun bangsa

"Kalau aksesnya mudah dan murah, mungkin kami akan sering mengunjungi Mansinam." 

Tantangan tentu ada dalam upaya membangun Daerah 3T. Transportasi tetap menjadi yang utama karena biaya sewa kapal tergolong mahal bagi anak muda. Sekali sewa bisa 250 - 300 ribu rupiah. Mungkin saja mengikuti tarif umum, tapi harus menunggu kapam penuh dulu dan itu butuh waktu. Sedangkan anak-anak sudah menunggu untuk belajar dalam waktu yang terbatas. Selain itu, juga dihadapi dengan sulitnya mencari pengajar yang bersedia meluangkan waktu setiap minggu, hingga donasi yang masih pasang surut. 


Di sinilah pendekatan terus menerus pada stakeholder seperti ketua kampung, kepala sekolah, guru-guru, dan pihak lainnya, serta memberi pengetahuan akan pentingnya pendidikan sebagai pembawa cahaya masa depan, membuat Papua Future Project diterima oleh masyarakat Mansinam sejak pertama berjalan, dan dukungan terus mengalir dari warga lokal. Salah satunya bangunan panggung berpapan yang sebenarnya merupakan gereja, diizinkan dipakai untuk tempat belajar sampai saat ini. 


Dukungan keluarga besar SD INPRES 10 Mansinam
Dukungan keluarga besar SD INPRES 10 Mansinam

Begitulah semesta bekerja. Ketika ada kebaikan, maka jalan yang dibukakan jauh melebihi bayangan. Seiring berjalannya waktu, dengan segenap daya dan upaya yang diperjuangkan oleh Papua Future Project, kolaborasi dengan segala pihak semakin membuka arus dukungan. Donasi berupa dana, mulai cukup untuk menarik paid volunteer, membeli makan siang, membiayai transportasi, hingga memberi sedikit tunjangan bagi anggota. Donasi ini disiarkan dan dapat diterima secara luring dan daring. Khusus untuk online, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dapat langsung menghubungi melalui Instagram resmi @papuafutureproject, serta LinkedIn dan Facebook dengan nama yang sama. Donasi yang sangat dinanti adalah buku-buku karena harga buku di sini sangat mahal dan ketersediaanya terbatas. 


Bagi Jordy, kekuatan komunitas bersumber dari kolaborasi. 


Penyerahan buku-buku donasi
Penyerahan buku-buku donasi

Sejak Jordy dengan Papua Future Project yang digagasnya menerima penghargaan 13th SATU Indonesia Awards 2022 tingkat Nasional untuk bidang Pendidikan, makin memperpanjang daftar kolaborasi yang dijalankan. "Mata mulai tertuju kepada kami dan kami mulai disorot". Seperti beberapa waktu lalu, UNICEF Indonesia, khususnya di lingkup Papua Barat, melibatkan Papua Future Project dalam program-program yang mereka jalankan, serta diberi juga pelatihan oleh World Research International (WRI). Banyak kepercayaan yang diberikan, mulai dari pemerintah, Non-Governmental Organization (NGO) besar, dan juga dari komunitas-komunitas lokal. 


Bhrisco Jordy Dudi Padatu mendapat 13th SATU Indonesisa Awards 2022
Bhrisco Jordy Dudi Padatu mendapat 13th SATU Indonesia Awards 2022

Dalam 2 tahun, Papua Future Project telah menjangkau 14 Kampung, dan sebanyak 700 lebih anak-anak asli Papua telah merasakan dampak dari program-program berjalan. 


Kini Papua Future Project yang dasarnya adalah komunitas, sudah mulai berproses menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan menggenggam harapan untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi anak-anak dan membuka peluang kolaborasi yang lebih luas. 


Ke depannya, Papua Futiure Project akan memperlebar programnya dengan menyasar perempuan adat Papua. Ini dikarenakan perempuan masuk dalam kelompok yang  rentan dalam banyak aspek, serta di Papua, perempuan juga yang mengatur makanan sehari-hari, berkebun, memenuhi kebutuhan anak dan masih kentalnya budaya patriarki. Program ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dengan mengolah produk yang bersumber dari hasil alam dan hasil daur ulang barang bekas.


"Meskipun kita hidup dalam keterbatasan, tidak akan pernah memusnahkan mimpi."

Inilah kobaran semangat dari barat Papua.



Referensi

Wawancara by WhatsApp dengan Bhrisco Jordy Dudi Padatu

Instagram official Papua Future Project dengan akun @papuafutureproject. Tautan: https://www.instagram.com/papuafutureproject/

Video YouTube channel Tribunnews Kisah Inspiratif Anak Negeri Mengajarkan Pendidikan di Daerah Papua Lewat Papua Future Project. Tautan: https://www.youtube.com/watch?v=sVbL9R38n-4 (diakses tanggal 5 November 2023)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Persentase Penduduk Buta Huruf tahun 2020-2022

Kemendikbud: 21,9 Persen Penduduk Papua Buta Aksara. Tautan: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200904205645-20-543021/kemendikbud-219-persen-penduduk-papua-buta-aksara (diakses tanggal 5 November 2023)


2 comments

  1. Informatif, menarik, dan enak banget dibacanya. Sangat layak menjadi pemenang, Mbak Novarty. Selamat ya walau di awal baca merasa sanagt sedih dan miris, tapi jadi tahu karena baca artikel ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih sudah mampir baca-baca, Mbak Mia.
      Emang sejomplang itu pendidikan di sana dengan yang kita rasakan di sini. Semoga pendidikan ke depan bisa lebih merata aamiiin

      Delete

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)