Hierarki dalam Teknologi AI

No comments

Banyak unggahan di media sosial yang menyentuh hati beberapa waktu belakangan. Untuk ke sekian kalinya, AI atau singkatan dari Artificial intelligence, kembali menyuguhkan fitur inovatif yang kali ini bukan sebatas menjadikan sebuah foto dapat bergerak layaknya rekaman video, tapi menghidupkan dua foto yang disandingkan untuk berinteraksi satu sama lain. Sesuai dengan instruksi apa yang diketikkan. 


Hierarki dalam Teknologi AI

Ramai yang mencoba. Ada yang bersama orang tua, anak, teman, bahkan artis idola. Tetap, yang paling menyentuh, ketika foto orang tersayang yang telah "pergi", dibuat seolah nyata memeluk raga yang ditinggalnya. Pengobat rindu, sekaligus pembangkit kenangan. Saya yakin, ungkapan-ungkapan terima kasih mengudara, berkat rasa hangat yang dihadirkan dari sebuah video hasil teknologi AI.


Idealnya, begitulah kedudukan AI dalam kehidupan manusia. AI dibuat untuk membantu, mempermudah, dan memfasilitasi aktivitas manusia agar dapat berjalan lebih efektif dan efisien, serta menghasilakan sesuatu yang jauh lebih baik. AI adalah hasil tangan manusia, dicipta untuk manusia. 


Lalu, kenapa kini muncul anggapan bahwa AI berbahaya? Ditakutkan akan mengambil alih segalanya. Seakan manusia tak punya kekuatan dan kewenangan. Padahal, secara hierarki, manusia tetap lebih tinggi. AI tak akan ada kalau manusia tak pernah membuatnya.



Keniscayaan Perubahan yang Bukan Pertama Kali

Keniscayaan Perubahan yang Bukan Pertama Kali

Kebetulan, saya kuliah di jurusan Teknik Komputer. Sekitar tahun 2007-2008, saya sudah diperkenalkan dengan kecerdasan buatan, atau AI istilah familiernya saat ini. Saya masih ingat contoh yang dijelaskan waktu itu, mengangkat bidang kedokteran. Dengan berbagai kondisi yang diprogramkan dalam sebuah sistem, penyakit bisa segera didiagnosa meski tak ada dokter di sana. Memberikan beberapa pertanyaan, lalu sistem akan menyimpulkan berdasarkan jawaban yang diberikan. 


Lah, dokternya ngapain dong? Berarti tidak perlu dokter lagi? Kondisi-kondisi yang diinputkan dalam sistem tersebut adalah berdasarkan ilmu para dokter, bukan yang tiba-tiba ada. Relevansi dengan kemajuan dunia kedokteran, kasus-kasus yang ditangani, serta segala perubahan yang terjadi, menjadi kunci keberhasilannya. Sampai kapan pun, dokter tetap menjadi "nyawa" dan sumber datanya.


Itulah konsep dasar AI. Bekerja berdasarkan kumpulan data. Datanya dari mana kalau bukan dari manusia. Cara mengolah datanya pun juga diprogramkan sedemikian rupa oleh manusia. Hingga akhirnya dapat mengeluarkan output yang diharapkan dapat membantu manusia. 


Wah, canggih sekali. Itu yang saya pikirkan. Dan ternyata, AI sudah diperkenalkan jauh sebelum itu. Mengutip dari djkn.kemenkeu.go.id, McCarthy mengadakan konferensi pertama tentang AI pada tahun 1956. Dikenal sebagai Dartmouth Conference, yang menjadi awal perkembangan AI sebagai bidang ilmu mandiri. Para ilmuwan sepakat untuk memusatkan perhatian mereka pada pembangunan program-program komputer yang mampu "mempelajari" dan "berpikir" seperti manusia.


"Seperti manusia:, bukan menggantikan manusia. Ini dua hal yang sangat berbeda dan harus dijadikan pegangan dalam menilai pesatnya gebrakan AI. 


Bidang apa yang tak tersentuh AI? Untuk searching saja, Google akan memberikan koreksi bila kita salah mengetik. GPS bisa mengarahkan kita ke jalan yang lebih lancar untuk dilalui, serta yang paling fenomenal ChatGPT, soal informasi dan tulis menulis, bisa diberikan dalam sekejap hanya modal ketik instruksi.


Apakah itu ancaman? Tergantung siapa yang menilai. Bagi saya, AI adalah satu titik perubahan di antara titik-titik lainnya dalam pergeseran kehidupan manusia. Perubahan itu keniscayaan. Coba layangkan bayangan kita kembali ke tahun 80-an. Di mana belum ada gadget mewarnai dunia anak-anak. Lalu, apakah kehadiran gadget saat ini sebuah kesalahan karena anak-anak mestinya berlarian dan bermain di luar bersama teman-temannya? Mengingat dampak negatifnya yang terus dibahas tanpa putus. Terlepas dari gaya pengasuhan masing-masing orang tua dalam menghadapinya, bagaimanapun, dunia anak-anak sekarang, berbeda dengan dunia anak-anak yang dulu. Gadget pasti menjadi bagian hidupnya, entah ketika memasuki usia berapa.


Itulah perubahan. AI pun perubahan. Dunia dan kehidupan manusia pasti berubah dari masa ke masa. Menilainya selalu menjadi ancaman tanpa melihat sisi baiknya, rasanya sangat disayangkan. Mungkin saja puluhan tahun lagi, perubahan yang terjadi dan menyusupi keseharian kita, akan jauh lebih dahsyat.



Menyikapi AI: Manusia Di Atas Teknologi

Menyikapi AI Manusia Di Atas Teknologi

Jangan dibalik. Manusia pencipta teknologi, manusia pula yang akan mengendalikannya. Bertebaran artikel yang membahas bagaimana baiknya menghadapi perkembangan AI agar tak menjadi ancaman. Berbagai tip pun diberikan. Semuanya tentu bermanfaat dan layak dicoba. Tapi, kalau saya, sederhana saja caranya. Tetap memosisikan diri lebih tinggi dari teknologi.


Bukan dalam konteks menyombongkan diri atau merasa lebih pintar, lebih hebat, dan sejenisnya. Memosisikan diri di sini maksudnya adalah selalu menjadi "otak" dari segala aktivitas. Keputusan tetap saya yang menentukan. Ingin melakukan apa dan menjadi apa, tidak ada yang berhak memutuskan kecuali saya. Nah, AI berperan untuk membantu setiap keputusan tersebut. 


Tapi, sekarang sudah ada kok perusahaan yang menjadikan AI sebagai pimpinannya? Ya, betul. Cuma, yang memutuskan untuk menjadikan AI sebagai pemimpin itu tetap manusia, kan? Bukan berarti menyepelekan kemampuan manusia, tapi dengan berbagai pertimbangan, ternyata AI dapat menghasilkan keputusan yang lebih cepat dan akurat berdasarkan kondisi-kondisi yang diprogramkan. Malah jadi lebih efektif jadinya. Lagi pula, bila hasilnya tidak seperti ekspektasi, pemimpin AI ini bisa saja dihentikan. Kembali lagi, tetap manusia yang memutuskan.


Sama seperti ketika dunia blogging mulai terintimidasi oleh artikel-artikel AI yang ternyata lebih berpotensi dari sisi SEO dari pada artikel organik hasil tulisan bloger itu sendiri. Yakin kalau Google akan menggunakan algoritma yang sama sepanjang masa? Mereka juga punya AI untuk memilah mana artikel berkualitas, unik, dan bermanfaat. alih-alih sebatas hasil AI. Mungkin saja plagiasi akan terjadi ketika mengetikkan instruksi yang serupa. Belum tentu pula tatanan bahasanya lebih baik. Dan yang paling penting, apa masih pantas disebut blogger bila yang menulis artikelnya itu AI? Saya rasa tidak.


Kalau AI dimanfaatkan untuk mencari ide, mengembangkan ide, atau membantu memperbaiki tulisan agar lebih baik tata penulisannya, itulah yang seharusnya dilakukan. Jadi memungkinkan juga untuk menulis dalam bahasa asing agar blog lebih eksis di dunia maya lintas negara. Menulis artikel, memutuskan ide mana yang ditulis, informasi mana yang disertakan, hingga gambar seperti apa yang dirasa paling baik untuk melengkapi, jelas, itu tugas bloger. 


Bukan menyerahkan tugas utama sepenuhnya pada AI. Memang lebih praktis dan gampang, tapi itu sama saja menyalahi hierarki. Tak seharusnya teknologi dijadikan "otak".


Kesimpulannya, AI tak dihadirkan untuk mengancam, melainkan mempermudah manusia. Bila masih menganggap AI ancaman, ibarat menganggap diri tak mampu melakukan tugas-tugas yang ada. Atau tugasnya selesai, tapi bukan dihasilkan dari kemampuan sendiri. Berarti masih perlu mengasah skill agar punya pegangan dan lebih bijak menghadapi gelombang perkembangan teknologi.


Semoga bermanfaat.


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.


Referensi

Artificial Intelligence. Tautan: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bandaaceh/baca-artikel/16443/Artificial-Intelligence.html

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)