"Dari belanga ke mesin. Itulah proses perjalanan panjang usaha Gula Semut
Molomamua. Kami berkomitmen, berproses, dan terus berbenah supaya usaha ini
bisa memberikan dampak yang berkelanjutan."
- Jein Marlinda, Ketua UMKM Gula Semut Molomamua yang bekerja sama dengan
Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Lauje -
Bersama anak-anak KAT Suku Lauje | Foto: Dokumentasi Pribadi Jein Marlinda |
Jalan sempit itu hanya bisa dilalui motor ketika cuaca cerah. Bila hujan,
tanah berlumpur akan menjebak roda-roda yang nekat melintas. Tidak ada
pilihan, jalan kaki menjadi cara teraman menuju permukiman masyarakat
Suku Lauje di pegunungan Molomamua, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Suku Lauje hidup mengandalkan alam dan tinggal menyebar di tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Tinombo, Kecamatan Palasa, dan Kecamatan Tomini.
Untuk bisa menginjakkan kaki di sini, perlu melintasi beratus kilometer.
Bila mengukur rentangnya dalam angka pasti, jarak dari provinsi ke desa atau
kampung terdekat sekitar 280 km. Ditambah 7 km lagi dari sana hingga benar-benar tiba. Tidak heran bila masyarakat KAT Suku Lauje
jarang turun ke kampung, apalagi kota. Paling hanya beberapa laki-laki
dewasa untuk menjual hasil panen ke pasar atau ke tengkulak. Kondisi yang membuka rantai permasalahan, hingga meredupkan masa depan.
Tergeraklah Jein Marlinda untuk memperjuangkan kesejahteraan melalui pemanfaatan potensi lokal. Berpayung UMKM Gula Semut Molomamua, usaha sosial pengolahan nira aren yang memberdayakan masyarakat KAT Suku Lauje, berhasil membawa perubahan. Kini,
perekonomian mereka jauh lebih baik dan hak pendidikan anak-anak semakin teperhatikan.
Menuju masyarakat KAT yang setara dan sejahtera, itulah pandangan yang merajut
langkah Gula Semut Molomamua dalam kisah penuh perjuangan.
Di Balik Mahalnya Kesejahteraan
Perjuangan Jein ke daerah terpencil untuk lebih dekat dengan kehidupan masyarakatnya | Foto: Instagram @jeanemandey |
"Tahun 2018 lalu, saya bertemu dengan masyarakat Suku Lauje Molomamua. Saya
melihat sendiri begitu banyak permasalahan yang terjadi. Mulai dari tidak
masuknya jaringan listrik, perekonomian yang jauh dari kata cukup,
ketimpangan pendidikan, hingga sulitnya menjangkau layanan kesehatan dan
pemerintahan," cerita Jein.
Sebagaimana penjelasan dari Kementerian Sosial, Komunitas Adat Terpencil
(KAT) merupakan sekumpulan kecil anggota masyarakat yang hidup berkelompok
di pelosok daerah dan hidup berpindah-pindah (nomaden) atau menetap pada
kawasan pulau terpencil, pegunungan, atau daerah perbatasan, serta memiliki
keterbelakangan kondisi dari sisi transportasi, kesehatan dan pendidikan.
Suku Lauje memang hidup berpindah-pindah untuk berladang cabai, pisang, ubi,
cokelat, cengkih, dan lain sebagainya. Menerapkan pola perladangan dengan
cara pergiliran tanam demi mengelola kesuburan tanah. Hasil bertanam inilah
yang menjadi sumber penghidupan utama.
Sayangnya, bergantung pada penghasilan dengan berladang tersebut tidak mampu
membawa perekonomian kepada kesejahteraan. Rata-rata, setiap kepala keluarga
hanya berpenghasilan 500.000 sampai 700.000 rupiah per bulan. Yang
dibiayai bukan keluarga kecil, melainkan mencapai 10 hingga 18 anggota
keluarga. Secara logika, ini tentu jauh dari standar layak. Bahkan tidak
sampai setengah dari Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Tengah di tahun
yang sama, yaitu Rp 1.965.232,-.
Begitu pula soal pendidikan. Bekal terpenting yang seharusnya menjadi hak
generasi penerus negeri ini tanpa terkecuali, menjadi keistimewaan yang
sulit dijangkau bagi anak-anak Suku Lauje. Hanya ada satu SD dan untuk
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi harus berjalan jauh ke kampung. Tidak memungkinkannya untuk ditempuh pulang-pergi setiap hari, menuntut dana lebih untuk tinggal sementara di kampung tersebut.
Akhirnya, banyak anak-anak suku Lauje yang tidak bersekolah, tidak lulus SD,
atau menguburkan mimpinya melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya.
Berimbas pada praktik pernikahan dini sebagai alternatif masa depan yang dinormalisasi, serta anak-anak yang sudah diajak berkerja di usia yang
seharusnya fokus menimba ilmu. Bila tujuan sekolah untuk mencari uang, lebih baik
dari sekarang saja membantu menanam cengkih atau cokelat, itu pemahamannya.
Suku Lauje tinggal di pegunungan dan terpencil | Foto: Instagram @jeanemandey |
Tidak cukup sampai di situ, keterpencilan juga menyebabkan sulitnya
menjangkau layanan kesehatan dan pemerintahan. Untuk menuju puskesmas saja,
masyarakat Suku Lauje mesti menuju kampung terdekat yang jaraknya sama
sekali tidak dekat. Ketika sehat saja sulit, apalagi di saat sakit. Begitu
pula dengan legalitas sebagai warga negara, mereka tidak memiliki KTP, Kartu
Keluarga, dan Akte Kelahiran. Jelas ini akan semakin membatasi Suku Lauje
untuk berbagai proses administrasi.
Saujana pegunungan hijau memang menjadi suguhan luar biasa dari jalan
setapak yang menghubungkan Suku Lauje dengan kampung sekitar. Keasrian alam
yang berharga, ternyata menyimpan permasalahan hidup yang kompleks.
Miris ketika menyandingkannya dengan perkembangan dunia yang serba cepat dan diwarnai teknologi. Suku Lauje memperjuangkan kesejahteraannya dalam keterbatasan dan
ketertinggalan.
"Saya terpanggil membantu mereka. Di tahun 2020, saya memutuskan
hidup bersama dan turut pergi ke kebun untuk melihat lebih dekat bagaimana
budaya dan kehidupan mereka." Dari domisilinya di desa Kotaraya
Selatan, 40 km dari pegunungan di mana Suku Lauje tinggal, Jein kembali dan memulai asesmen awalnya sebagai landas berdirinya UMKM Gula Semut Molomamua.
Pohon Aren, Simbol Kehidupan Suku Lauje
Petani aren Suku Lauje sedang mengambil nira aren | Foto: Instagram @jeanemandey |
Menggandeng satu rekannya, Jein mengajak masyarakat Suku Lauje untuk bersama
meneropong permasalahan yang terjadi. Tentu sebagai
warga asli, merekalah yang paling tahu dan merasakan dampaknya. Sehingga kebenaran
informasi yang terkumpul bisa menjadi dasar kuat untuk mencari solusi tepat.
Setelah dilakukan pemetaan, pengembangan potensi lokal gula aren disepakati sebagai hasil diskusi. Pohon aren banyak tumbuh di pegunungan
Molomamua, di mana selama ini pengelolaannya menjadi salah satu mata pencarian.
Pohon aren juga merupakan simbol kehidupan bagi Suku Lauje, dilarang
keras menebangnya karena dipercaya dapat mendatangkan keburukan.
Ditambah dengan umur atau masa hidup yang mencapai 40-50 tahun, wajar bila pohon aren tumbuh subur dan melimpah di sini.
Pohon aren simbol kehidupan. Potensi kearifan lokal yang terjaga, akhirnya
benar-benar memberi kehidupan yang lebih baik bagi penjaganya.
Memang tidak mudah memulai hal baru dan keluar dari zona nyaman. Baik Jein dan masyarakat Suku Lauje, sama-sama berjuang keras agar dapat mewujudkan apa yang telah menjadi tujuan. Meski kondisi di gunung membuat langkah terasa sulit.
Sebenarnya, gula aren Suku Lauje memiliki kualitas baik dan memegang keunggulan.
Tradisi penggunaan akar bayur sebagai warisan turun menurun, terbukti memiliki kemampuan pengawetan alami. Ini dikarenakan adanya senyawa tanin
yang mengendapkan protein dan mengikat ion logam untuk menghambat
aktivitas enzim mikroorganisme. Apabila tidak ada pengawetan ini dari
pencampuran akar bayur, maka setelah nira mengalami pembentukan alkohol,
fermentasi akan berlangsung terus hingga menghasilkan asam asetat yang
memberi rasa asam. Makanya, gula aren hasil produksi Suku Lauje memiliki
rasa manis yang khas bila dibandingkan dengan gula aren biasa tanpa
penambahan akar bayur.
Menuangkan nira sebagai bahan utama pembuatan gula aren | Foto: Dokumentasi Pribadi Jein Marlinda |
Keunggulan inilah yang diinovasikan menjadi gula semut. Bila sebelumnya
hasil pengelolaan nira aren hanya berhenti di gula batok saja, proses itu
dilanjutkan hingga menghasilkan produk olahan yang lebih menjual. Seperti
publikasi Kementerian Pertanian Republik Indonesia, gula semut mempunyai
nilai indeks glikemik di angka 38 yang berada pada kategori rendah sehingga
lebih aman bagi kesehatan. Penggunaanya pun praktis, tinggal dicampurkan
saja pada minuman atau masakan. Makanya, gula semut semakin diminati di
pasaran dan menjadi peluang menjanjikan.
Namun, peluang itu tidak didapatkan Jein dan Suku Lauje semudah membalikkan
telapak tangan. "Awal mula perjalanan membuat usaha Gula Semut Molomamua,
saya dan teman mempelajari bagaimana cara membuat gula semut secara
otodidak. Kami belajar dari YouTube, artikel, dan banyak bertanya," kenang
Jein.
Teori itu kemudian diterapkan Jein dengan langsung mengajarkan masyarakat KAT,
terutama ibu-ibu, untuk membuat gula semut. Dibuka dengan edukasi
tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Misalnya harus mandi dulu
sebelum melakukan proses produksi, memperhatikan kebersihan kuku, dan memakai penutup kepala. Ini sangat penting karena faktor kebersihan juga
menjadi permasalahan Suku Lauje yang membuat mereka kurang diterima
oleh warga kampung sekitar.
Modal terbatas sama sekali tak menyurutkan niat. Jein masih ingat betul
modal awal hanya 200 ribu rupiah dan itu hanya cukup untuk
memproduksi 20 buah gula aren. Memanfaatkan alat-alat sederhana yang ada,
mulai dari belanga, ayakan, serta wajan yang guratannya menjadi saksi betapa tak
kenal lelah tangan-tangan warga Suku Lauje untuk terus mengaduk lelehan gula aren. Oven
kompor pun ikut menjadi pelengkap proses pembuatan gula semut yang
sepenuhnya masih dikerjakan secara manual.
Proses produksi yang dimulai dari alat sederhana | Foto: YouTube Channel Jein Marlinda |
Setelah jadi, ternyata memasarkan gula semut tak semulus ekspektasi. Tahun 2020 sampai 2021 adalah masa tersulitnya. Produk ditawarkan ke masyarakat, bahkan sampai rela menyusuri kampung demi kampung,
dari kota ke kota, dengan jarak ratusan kilometer. Tak ketinggalan pula
mencari mitra yang bisa membantu pemasaran. Tapi tak banyak yang laku, malah terkadang tak ada satu
orang pun yang membeli. Sedangkan produksi petani melimpah, sehingga banyak
gula aren tertumpuk menggunung.
Ini bukan tantangan kali pertama. Jein bersama masyarakat KAT Suku
Lauje terus belajar mencari strategi apa pun yang patut dicoba. Tidak ada
malu, apalagi menyerah. Kemitraan diluaskan ke sektor pemerintah dan swasta.
Aktif mengikuti pelatihan tentang pengembangan UMKM agar produk Gula Semut
Molomamua dikenal lebih luas lagi di masyarakat. Legalitas usaha pun dikukuhkan.
Hingga akhirnya Gula Semut Molomamua berhasil mendapat sertifikasi BPOM di
tahun 2023 untuk keterjaminan kualitas produk yang diakui.
Pelatihan internal semakin diintenskan dan
Standard Operating Procedure (SOP) dirancang sebagai panduan.
Standar BPOM yang sudah dikantongi, mesti mempertahankan kualitas gula aren yang
sama dari segi rasa, warna, dan kandungan airnya. Tidak hanya untuk bagian
produksi saja, termasuk juga petani aren di rimbunan pegunungan yang menjadi
penentu di garis pertama. Semua harus bisa bekerja dengan profesional
berdasarkan standar dan SOP yang ada. Sehingga komitmen UMKM Gula Semut
Molomamua untuk memberikan produk lokal yang berkualitas dapat
terealisasi.
Memberi pelatihan untuk para petani aren Suku Lauje | Foto: Instagram @jeanemandey |
Kekuatan kebersamaan yang menguatkan langkah. Semua masyarakat KAT Suku Lauje sangat diperbolehkan ikut serta dalam pengelolaan UMKM, dengan syarat mengikuti SOP yang sudah disepakati.
Bagi Jein, hidup dan tinggal dengan Suku Lauje menjadi pengalaman yang paling
berkesan. "Kami jadi tahu bagaimana kondisi mereka, kehidupan mereka, bahkan
kesulitan dan kebutuhan mereka. Kami saling terbuka dengan petani aren
masyarakat KAT Suku Lauje, sehingga melalui usaha Gula Aren Molomamua, kami
bisa membantu mencukupkan kebutuhan hidup mereka. Karena diskusi yang terus
dibangun, kami pun bisa menyaksikan perubahan baik yang terjadi."
Gula Semut Molomamua untuk Kesejahteraan dan Keberlanjutan
Produk unggulan Gula Semut Molomamua dari 100% gula aren murni | Foto: Instagram @gulaarenmolomamua |
Buah manis perjuangan tak pernah keliru membayar segala jerih upaya. Di
tahun keempat berdirinya, UMKM Gula Semut Molomamua rutin memproduksi gula
aren hingga 200 kg per bulan. Proses manual itu pun berganti dengan mesin-mesin modern yang mempercepat dan mempermudah produksi. Penjualan bukan hanya di Sulawesi Tengah, namun sudah memasuki Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa, Bali,
hingga Papua.
Pencapaian ini juga berkat sayap strategi pemasaran yang tak henti dilebarkan. Bekerja sama
dengan hotel, toko oleh-oleh, kios-kios, kafe, rumah makan, swalayan
lokal, dan mengikuti berbagai pameran. Tak pula melupakan kekuatan luar biasa teknologi
dengan menghadirkan produk Gula Semut Molomamua di
marketplace ternama. Sekarang masyarakat KAT Suku Lauje tidak perlu
lagi turun ke kampung dan berlari-lari menawarkan gula aren. Sudah
ada yang langsung menjemput ke rumah produksi karena penjualan yang menunjukkan peningkatan.
Inovasi yang mempertahankan kearifan lokal, itulah definisi UMKM Gula Semut
Molomamua. Keberadaan pohon aren sebagai simbol kehidupan, dilestarikan dan difungsikan dengan jauh lebih maksimal. Diakui Jein, proses produksi
pun jauh dari aksi pencemaran karena bisa dibilang tidak ada limbah yang
dihasilkan dan selalu mengutamakan kealamian. Bahkan ketika inovasi
menelurkan beragam produk baru, seperti gula semut jahe merah, pohon
jahenya tetap ditanam secara organik di tanah pegunungan tanpa penggunaan pestisida .
Inovasi tidak mesti mengorbankan Bumi. Memperjuangkan kesejahteraan sangat bisa diupayakan agar selaras dengan alam.
Dampak yang paling dirasakan petani aren Suku Lauje dari kehadiran UMKM Gula Semut Molomamua adalah membaiknya angka pendapatan. Keadaan yang serba pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup, sudah
berlalu berkat penghasilan yang kini berlipat mencapai 1.500.000 hingga
2.000.000 rupiah per bulan.
Pendidikan pun menjadi fokus yang turut merasakan perbaikan. Anak-anak yang awalnya tidak bersekolah, mulai mengenyam bangku sekolah. Didirikan Rumah Pintar sebagai ruang yang semakin mendekatkan anak-anak Suku Lauje pada indahnya pendidikan, dan diharapkan dapat meningkatkan motivasi untuk bersekolah. Di sini, mereka bisa belajar, bermain, menanam sayuran, dan melakukan berbagai kegiatan edukatif guna mengembangkan kreativitas.
Kegiatan di Rumah Pintar Palasa | Foto: Instagram @jeanemandey |
Dukungan beasiswa diberikan bagi yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang
SMP dan SMA. Biaya yang sebelumnya menjadi kendala, akan ditalangi. Anak-anak juga diajak tinggal di asrama yang sengaja disediakan agar menjadi rumah kedua yang mempersingkat perjalanan.
Jein menuturkan dengan bangga sekaligus bahagia, di mana dua tahun lalu,
dua gadis Suku Lauje bernama Ria dan Fira memulai langkahnya mengejar cita-cita. Setelah tamat SD, tidak pernah terbayang bagi mereka untuk
melanjutkan sekolah. Bahkan Fira sempat berhenti dan di rumah saja selama dua tahun. Sedangkan Ria harus
menerima pinangan laki-laki yang tidak dikenalinya karena harus mengikuti
kata orang tua.
Ternyata tidak mudah menggaungkan pentingnya meneruskan pendidikan di tengah pemahaman yang tertanam pada masyarakat KAT Suku Lauje. Selain memberi penjelasan kepada anak-anak, Jein juga harus
menyadarkan orang tua mereka untuk dapat sepenuhnya mendukung. Walau butuh waktu, akhirnya Ria datang sebulan
setelah sekolah memulai kegiatan belajar mengajar, dan Fira memilih melawan rasa mindernya disebabkan usia yang seharusnya sudah SMA. Tapi,
mereka membuktikan bahwa mereka bisa!
Generasi Suku Lauje yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA | Foto: Instagram @jeanemandey |
Bukti bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia. Tantangan dan kesulitan
dengan segala keterbatasan sebagai daerah terpencil, berhasil membawa
masyarakat KAT Suku Lauje lebih dekat dengan kesejahteraan melalui
Gula Semut Molomamua.
Kegigihan Jein Marlinda dalam memanfaatkan potensi lokal dan
membangun UMKM Gula Semut Molomamua bersama masyarakat KAT Suku Lauje ini, mendapat apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023 sebagai pemenang
tingkat provinsi untuk bidang UMKM/Kewirausahaan. Jiwa sosial yang merangkul Suku Lauje untuk bersama memperjuangkan kesejahteraan.
Jalan ke depan yang akan dilalui, tentu lebih panjang dari apa yang
sudah terlewati. Jein sangat berharap UMKM Gula Semut Molomamua dapat terus
meningkatkan jumlah produksi di setiap tahunnya agar semakin banyak dampak baik yang
tercipta demi mewujudkan masyarakat KAT Suku Lauje yang setara dan
sejahtera. Terbesar untuk anak-anak yang melanjutkan
sekolah ke jenjang lebih tinggi, pulanglah suatu saat nanti ke pegunungan
Molomamua agar dapat membangun daerah yang menjadi tanah kelahiran mereka.
Referensi
- Wawancara by WhatsApp dengan Jein Marlinda
- Instagram @jeanemandey dan @gulaarenmolomamua
- YouTube Channel Jein Marlinda
- ILM Komunitas Adat Terpencil. Tautan: https://kemensos.go.id/ilm-komunitas-adat-terpencil
- Gula Semut Pemanis Rendah Glikemik yang Menjanjikan. Tautan: https://epublikasi.pertanian.go.id/berkala/btip/article/download/3590/3561/5225
- Jurnal Chemica Vo/. 18 Nomor 2 Desember 2017 berjudul Peran Akar Kayu Bayur (Pterospermum sp.) terhadap Fermentasi Nira Aren (Arenga pinnata) oleh Siti Nurlina Mentari, Muhammad Jasri Djangi, dan Sudding
- Upah Minimum Regional/Propinsi (Rupiah), 2015-2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)