Apakah Masuk SD Harus Bisa Baca?

No comments
Setiap tahun, saya selalu mendengar pertanyaan ini. Tentunya dari orang tua yang anaknya akan masuk SD di tahun ajaran baru mendatang. Apakah masuk SD harus bisa baca? Nah, di artikel ini, saya membahas dari sudut pandang saya dan realita SD di lingkungan domisili saya, yaitu Jakarta Selatan. Dan anak saya bersekolah di sekolah swasta. 

Apakah Masuk SD Harus Bisa Baca

Sebagaimana yang kita tahu bersama, calistung alias baca tulis hitung sudah dihapus dari persyaratan masuk SD. Memang sudah diaplikasikan. Namun, tetap saja kemampuan itu, terutama membaca, sangat dibutuhkan oleh anak-anak kelas 1 SD. Saya melihat sendiri buku-buku cetak yang dipakai, semuanya sudah disertakan teks. Bahkan ada soal cerita juga. 


Lalu, bagaimana dengan anak yang belum bisa membaca? Setahu saya, anak-anak yang diketahui belum membaca, akan diberikan kelas khusus untuk membantu mereka agar dapat membaca lebih cepat. Di beberapa sekolah pun juga menerapkan hal yang sama.

Jadi, bila ditanya pendapat dan kesimpulan saya, sebaiknya anak-anak sudah bisa membaca saat masuk SD.

Dalam bayangan saya, anak akan kesulitan mengikuti pelajaran bila buku-bukunya saja menuntut kemampuan membaca. Tidak ada lagi pelajaran membaca dari dasar seperti di zaman saya SD dulu. Pengenalan huruf konsonan dan vokal, mengeja per suku kata, hingga akhirnya perlahan mampu membaca. Yang seumuran dengan saya, pasti masih ingat kan bagaimana kita dulu belajar membaca di kelas 1? Kelas 1 SD ya baru belajar membaca. I-NI I-BU BU-DI, begitulah kira-kira. Sekarang, ini malah lebih banyak diajarkan di TK.

Buku cetak kelas 1 SD di sekolah anak saya
Buku cetak kelas 1 SD di sekolah anak saya
Tidak heran bila BIMBA banyak menjadi pilihan. Di TK anak saya, tidak sedikit siswanya yang masuk BIMBA dulu setelah tamat TK, baru masuk SD setahun setelahnya. Guru di TK pun membuka les membaca dan banyak yang ikut. Demi apa? Demi bisa lancar membaca agar tak tertinggal dengan teman-temannya nanti. 

Kebetulan kemarin saya melakukan riset kecil-kecilan melalui Instagram Story untuk mengetahui pandangan ibu-ibu lain. Ternyata, jawabannya berbeda-beda. Ada yang bilang harus bisa membaca, ada juga yang bilang tidak harus. Ini berdasarkan apa yang mereka lihat atau dialami oleh anak dan keponakan mereka.

Berikut beberapa respon yang saya dapatkan.
Respon dari story Instagram tentang apakah masuk SD harus bisa baca 1

Respon dari story Instagram tentang apakah masuk SD harus bisa baca 2

Terlepas dari realita saat ini, saya pribadi sebenarnya telah mengajarkan anak-anak membaca sejak dini. Alhamdulillah mereka sudah bisa membaca di usia 5 tahun. Jadi, ketika masuk SD, membacanya sudah lancar. Meski saya tidak memaksa dan tidak ada target sama sekali mereka harus bisa membaca di usia berapa, setidaknya upaya yang saya lakukan bermanfaat bagi mereka. 

Mungkin bisa menjadi referensi teman-teman sesama ibu, ini yang saya lakukan untuk mengajarkan anak membaca. 

🌸 Kenali Tipe Kecerdasan yang Dimiliki Anak

Saya rasa, sebelum mempraktikkan berbagai cara mengajar anak membaca, hal inilah yang mesti dilakukan pertama kali. Setiap anak belum tentu memiliki tipe kecerdasan yang sama. Saya mengacu pada 9 Tipe Kecerdasan Manusia menurut Howard Gardner. Di mana ia mengatakan bahwa semua manusia itu cerdas sesuai dengan tipe kecerdasan masing-masing. Seperti kata Albert Einstein, “Everybody is a genius. But, if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid”.

Cara yang sesuai dengan kecerdasan ini jauh lebih efektif. Karena setiap anak itu unik.


Anak pertama saya lebih mengarah kepada kecerdasan logis-matematis dan kecerdasan verbal-linguistik. Dia lebih mudah menangkap pelajaran atau informasi yang berhubungan dengan angka dan bahasa. Sedangkan anak kedua, terlihat memiliki kecerdasan visual-spasial yang saya simpulkan dari aktivitas menggambarnya setiap hari. Dia bisa mengingat dan menuangkan apa yang dia lihat dalam gambar. Bahkan sangat detail, mulai dari jumlah, warna, hingga printilan yang terkadang saya saja tidak menyadarinya.


9 Tipe Kecerdasan Manusia menurut Howard Gardner

Saya menjadikan ini sebagai dasar untuk memilih media dan cara berinterksi saat mengajari anak membaca dan menulis. Si sulung tak masalah bila hanya menggunakan poster seadanya, tulisan tangan dengan spidol hitam, serta kalimat singkat dan padat. Ia bisa dengan cepat menangkap. Tapi, ini tidak berlaku pada adiknya. Saya mesti menggambarkan huruf C seperti pisang, huruf S seperti ular, atau P seperti bendera berkibar di tiang. Pemilihan medianya pun mesti full gambar dan warna.


🌸 Ada Saat Memperkenalkan, Ada Saat untuk Mengajarkan

Memperkenalkan berbeda dengan mengajarkan. Memperkenalkan hanya sebatas memberi tahu tanpa harus mendapat respon tertentu. Saya sudah mulai memperkenalkan huruf kepada anak ketika umurnya belum memasuki 1 tahun. Tidak mengharuskan anak langsung paham dan mengerti tentang huruf apa yang saya kenalkan. "Ini namanya huruf D. Perutnya besar banget. Kekenyangan habis makan siang kayak Adek." Seperti itulah kira-kira. Melalui percakapan ringan saja. Tidak perlu mendikte, mengulang terlalu sering dalam sehari, atau mengharapkan anak segera bisa meniru apa yang diucapkan.


Atau bisa juga memanfaatkan berbagai media yang sesuai usia, misal buku-buku empuk yang terbuat dari kain dan bergambar huruf warna-warni, buku yang dilengkapi dengan suara, tekstur, atau aktivitas tertentu, serta membelikan mainan berkonsep alfabet, dan sebagainya. Tak apa bila hanya dipukul-pukul, dilempar, atau sekadar dipegang. Di usia awal pertumbuhannya, anak akan menyerap informasi dengan caranya, bukan seperti cara orang dewasa.


Nah, tahap selanjutnya, baru mengajarkan. Kalau kata Halodoc, website kesehatan yang sering saya baca-baca, waktu tepat untuk mengajarkan anak membaca tergantung kepada kematangan sistem proprioseptif, yaitu kemampuan anak untuk mengetahui keberadaan dan posisinya, dapat duduk tenang serta memusatkan perhatian. Biasanya di usia 2 tahun anak sudah mulai tertarik dengan huruf dan angka, dan jika dilengkapi dengan rasa ingin tahunya yang tinggi, dapat dijadikan waktu emas bagi orang tua untuk mengajarkan banyak hal, termasuk literasi.


Jadi, orang tua harus bisa menilai terlebih dahulu kesiapan anak itu sendiri. Jika dirasa sudah bisa fokus dan terlihat rasa ingin tahunya akan susunan atau rupa huruf, maka disaat itulah tahap perkenalan yang sebelumnya dilakukan, bisa ditingkatkan kepada tahap pengajaran. Mengajarkan berarti sudah ada respon yang sebaiknya diberikan anak. Tidak harus dalam satu kali ajar, karena anak butuh waktu untuk menyerap, mencerna, dan mengingat. Biasanya saya mengajarkan huruf dan membaca hanya ketika anak mau fokus mendengarkan.


Seringnya, memaksa anak belajar di saat tidak fokus, hanya akan membuat kita capek sendiri. Apa yang diajarkan tidak terserap, efeknya juga akan meninggalkan trauma yang mungkin menyebabkan anak malas menerima ajaran yang berulang.


🌸 Gunakan Media yang Tepat

Media yang saya gunakan sangat beragam. Tapi, media ini tidak mesti sama di semua anak. Harus disesuaikan dengan kebutuhan, baik rupanya, jenisnya, warnanya, dan sebagainya. Saya menggunakan mainan tentunya, yaitu mainan yang berkonsep alfabet seperti yang sudah saya singggung sebelumnya. Ada puzzle warna-warni, papan magnet yang lengkap dengan huruf alfabet yang bisa ditempel, huruf-hurufan plastik, hingga playmate susun yang bergambar huruf.


Selain itu saya juga menggunakan poster huruf menarik yang sangat banyak dijual di pasaran. Jika ingin lebih hemat, cari saja gambarnya di internet dan print dalam ukuran besar. Jangan lupa selipkan gambar-gambar kecil dan beri warna cerah. Tempel di tempat yang bisa dijangkau anak, mudah terlihat, dan di area di mana anak sering bermain.


Kemudian buku. Membacakan buku untuk anak sangat disarankan bahkan semenjak masih di dalam kandungan. lo. Apalagi setelah anaknya lahir. Selain membeli buku untuk dibaca bersama anak, beli pula buku khusus anak yang terdapat huruf atau kata-kata singkat. Semakin sering anak melihat huruf, maka semakin cepat pula tersimpan dalam memorinya. Kuncinya, buku-buku ini mesti sesuai dengan usia anak. Buku untuk balita, tentu berbeda dengan buku untuk usia anak-anak, 'kan?


Beri buku mewarnai yang dilengkapi dengan huruf atau buku dengan pola huruf. Yang satu ini lebih kepada anak kedua saya yang "visual banget". Contohnya buku mewarnai alat-alat transportasi. Selain berisi pola kereta api, mobil, motor, pesawat atau kapal, di bagian bawahnya juga terdapat tulisan nama dari masing-masing alat transportasi tersebut. Jadi, selain mewarnai, visual anak juga tetap terisi dengan huruf-huruf yang tertera.


Jika usia anak lebih besar dan penggunaan gadget sudah menjadi bagian dari permainannya, maka pilihlah game dan media yang tepat agar manfaat positifnya bisa didapat. Saya bukan tipe orang tua yang anti gadget. Nyatanya, gadget sangat membantu anak dalam mempelajari banyak hal. Tentukan melalui aplikasi permainan dan video yang boleh dimainkan anak-anak. Terkait dengan mengajarkan kemampuan membaca, sebaiknya instal aplikasi permainan huruf khusus anak. Jika menonton video daring, pilihlah channel yang mengedukasi huruf dan disukai anak. Jangan lupa batasi juga waktu penggunaan gadgetnya, ya.


🌸 Beri Ruang Anak Belajar Sendiri

Kenyataan yang sering terjadi pada anak saya adalah menolak ketika diajarkan, namun mampu belajar sendiri di saat tidak ada yang memperhatikan. Misalnya malam ini saya ajarkan mengeja dengan menggunakan huruf vokal U, dia hanya melihat sekilas lalu kembali sibuk dengan mainan mobil-mobilannya. Besok siangnya, tanpa diminta, ia akan membaca sendiri tulisan yang tertempel di dinding dengan vokal U ketika saya sibuk memasak. Ini membuktikan bahwa anak butuh waktu untuk belajar sendiri dengan cara mereka. Sebaiknya orang tua tidak melulu memaksa anak mendengarkan, namun beri pula ruang untuk anak berusaha mengembangkan apa yang sudah dia dengar tersebut.


🌸 Contohkan!

Ini yang sering kita lupa sebagai orang tua. Ingin anak bisa cepat membaca, tapi tidak pernah mencontohkan aktivitas membaca. Mulai sekarang, cobalah sesekali membaca di depan anak. Buku apa saja. Anak itu peniru ulung, terutama terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka. Nanti, pasti akan timbul rasa tertarik, rasa ingin tahu, kenapa sih Bunda dan Ayah suka membaca? Akhirnya dengan senang hati melakukan hal serupa.


Baca juga: Seragamkan Penerapan Batas Usia Minimal Masuk SD


Menuliskan cara-cara yang pernah saya lakukan untuk mengajari anak membaca seperti ini, bukan berarti mewajibkan anak harus bisa membaca sebelum masuk SD. Ini lebih kepada persiapan yang mesti dimulai dari jauh-jauh hari. Beruntung bila kita berdomisili di daerah yang SD-nya tidak mewajibkan kemampuan membaca dan memasukkan pelajaran membaca dari dasar dalam kegiatan belajar mengajar di kelas 1. Tapi, bagaimana jika seperti sekolah anak saya? Yang jauh lebih baik dan lebih mudah mengikuti pelajaran bila telah mampu membaca.


Itulah sedikit pandangan saya dari apa yang saya amati terkait apakah masuk SD harus bisa membaca atau tidak. Tidak ada maksud apa-apa, hanya sekadar sharing karena sering menjadi pembahasan hangat di kalangan ibu-ibu mendekati tahun ajaran baru.

Semoga bermanfaat.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)