Buku Tradisi Makan Siang Indonesia yang Penuh Makna, Pesan, dan Pelajaran

No comments
Pas paket buku ini sampai, saya bingung karena ukuran bungkusannya besar. Soalnya, buku-buku antologi bersama, bahkan buku solo yang saya tulis, ukurannya tidak jauh dari A5. Ternyata, setelah dibuka, buku Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya memang dikemas istimewa dengan hard cover dan ketebalan melebihi 500 halaman. Seketika saya bangga menjadi salah satu penulisnya! 

40 Cerita Tradisi Makan Siang Indonesia yang Penuh Makna, Pesan, dan Pelajaran

Alhamdulillah sekali lagi diberi kesempatan untuk menulis budaya Nusantara. Kali ini tentang kuliner. Tapi, saya bukan fokus membahas tentang menu makanannya, melainkan tradisi menikmatinya, yaitu Balanjuang


Tulisan saya ini disatukan dengan 39 cerita tradisi makan siang lainnya. Mulai dari barat, hingga timur Indonesia. Ketika melihat isi buku sekilas saja, sudah tergambar betapa menarik dan indahnya kekayaan negeri kita. Apalagi ada foto-foto berwarna yang disertakan di dalamnya, bikin mupeng pengin mencicipi satu-satu. Menggugah selera! 

Nah, seperti buku-buku saya yang lain, selalu ada cerita di balik proses penulisan naskahnya. Termasuk ketika saya memilih dan menulis tentang Balanjuang di buku Tradisi Makan Siang Indonesia

Ajakan Lomba yang Membuka Kesempatan

Ajakan Lomba yang Membuka Kesempatan

Mbak Katerina, saya memanggilnya Mbak Rien, teman sesama bloger, mengajak saya untuk ikut berpartisipasi dalam lomba menulis artikel tentang tradisi kuliner. Lomba ini digagas oleh Ibu Amanda Katili yang sudah terkenal akan perjalanan hebatnya sebagai pegiat harmoni bumi, dan tentunya bekerja sama dengan komunitas Food Blogger Indonesia yang dibangun Mbak Rien. 

Saya langsung memikirkan mau menulis apa. Jujur, agak bingung karena saya tidak terlalu banyak tahu tentang tradisi prosesi makan siang. Tapi, karena ini soal pelestarian budaya, yang mana melalui tulisan saya bisa sedikit berkontribusi, tanpa ragu saya iyakan saja. Mumpung kesempatannya ada. Nanti lanjut dipikirkan lagi mau menulis tentang apa. 

Setelah membaca semua persyaratannya, hadiahnya pun menarik (kalau ikut lomba, hadiah jelas menjadi salah satu penyemangat), saya memulai proses riset. Riset sederhana dari pengalaman atau hal-hal yang pernah saya lihat di kampung halaman soal acara makan-makan. Karena sesingkat pemahaman saya, bicara soal tradisi, pasti lekat dengan cara pelaksanaan atau kebiasaan yang sudah dilakukan sejak lama dalam satu daerah. 

Pastinya saya mengangkat tradisi Minang. Itu misi saya setiap kali menulis soal budaya, tradisi, atau kearifan lokal. Dibantu sedikit searching dari internet, akhirnya saya mantap memutuskan untuk menulis tentang balanjuang. Tradisi makan siang yang menjadi kenangan sendiri karena kebersamaannya yang kental masih terasa hangat ketika saya mengingatnya. 

Balanjuang, Kenangan Masa Muda yang Kini Terasa Jauh

Dulu, saat masih SMA dan kuliah, beberapa kali saya dan teman-teman balanjuang di momen yang berbeda. Ada yang saat hiking ke bukit, jalan-jalan kelas, atau sekadar mengisi waktu sepulang kuliah. Kebersamaan inilah yang menggerakkan saya untuk menuliskannya. 

Balanjuang merupakan tradisi makan bersama di Minang. Bukan hanya makannya saja, tapi dimulai dari memasaknya. Namun, bila memasak tidak memungkinkan, cukup makan bareng di atas daun pisang juga tidak apa. 

Sebenarnya, balanjuang mirip dengan liwetan. Duduk mengitari nasi serta lauk pauk yang diletakkan di atas daun pisang utuh. Bahkan terkadang satu lembar daun pisang saja tidak cukup, kalau ramai yang ikutan balanjuang.

Tradisi menikmati makan siang bersama-sama ini (bukan makan siang saja sih, makan malam juga bisa), menyimpan banyak pesan dan pelajaran. Seperti musyawarah, gotong royong, tanggung jawab, hingga toleransi. 

Tidak ada batasan usia, siapa saja boleh ikut. Apalagi pekerjaan, latar belakang, status, pekerjaan, dan lainnya, tak berlaku. Saat balanjuang, semua setara. Bergembira bersama. 

Ada satu kejadian yang tidak saya lupa saat balanjuang bersama teman. Lucu dan agak berisik, tapi bikin kangen. Pas kami makan bersama di atas batu besar tepi sungai, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Memindahkan daun pisang selebar itu, apalagi nasi di atasnya masih banyak, pasti sangat sulit. Tahu solusi apa yang kami pikirkan? Kami merapatkan kepala, benar-benar berdempetan, agar dapat memayungi nasi. 

Tapi, tetap saja ada air yang menetes. Nasi yang awalnya kering, jadi berkuah air hujan. Apakah kami berhenti makan? Oh, tidak. Tetap kami lanjutkan dengan menambah kecepatan, dengan kepala yang masih menempel satu sama lain. Malah berebutan meraup nasi yang berkuah air hujan itu. Padahal perut sudah kenyang. Wah, pokoknya heboh. Karena pas berebutan inilah letak keseruannya.

Sungguh keseruan yang bikin rindu. Rasanya sangat jauh, tidak bisa saya ulang kembali karena teman-teman sudah memiliki kehidupan sendiri di kota masing-masing. Sekarang, saya pun sudah merantau ke Jakarta. Tidak pernah lagi saya temukan balanjuang di sini. 

Makanya, saya tuangkan rindu itu dalam salah satu tulisan berjudul Ikatan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Balanjuang di Minang. Semoga menjadi cerita hangat yang mempertahankan keberadaannya sebagai salah satu tradisi Indonesia. 

Susah Mendapatkan Dokumentasi yang Bagus

Susah Mendapatkan Dokumentasi yang Bagus

Menuliskan pengalaman yang sudah berlalu cukup lama, mendapatkan dokumentasi yang berkualitas tidak segampang yang dikira. Foto-fotonya sudah hilang, tidak tahu disimpan di mana. Laptop saya saat kuliah dulu juga sudah rusak, sehingga tidak bisa mencari di sana. 

Akhirnya, saya mencoba mencari unggahan lampau di media sosial. Untungnya ketemu beberapa. Hanya saja kualitasnya tidak terlalu bagus. Apalagi untuk kebutuhan cetak, tentu foto harus menarik. Karena tulisan para peserta yang ikut lomba menulis tradisi makan siang ini akan dibukukan, seperti yang dikatakan oleh Ibu Amanda. 

Sempat bingung mau mencari foto di mana lagi. Bila sepenuhnya mengandalkan dokumentasi yang ada di internet, kurang otentik rasanya. Hingga di satu titik saya teringat bahwa pemuda di sekitar rumah orang tua di Padang, cukup sering mengadakan acara balanjuang

Saya minta tolong Mama di Padang, untuk minta tolong juga pada pemilik warung di sebelah rumah, untuk mengambil foto-foto bila ada acara balanjuang lagi. Sungguh saya berharap para pemuda di sana berinisiatif melangsungkan tradisi makan ini. Saya sangat butuh foto-fotonya. 

Bak gayung bersambut. Seingat saya, bertepatan dengan Iduladha, pemuda merayakannya dengan balanjuang! Walau menunya bukan daging (wajar karena memasaknya butuh waktu lama, tapi kebersamaan itu tetap hangat dilaksanakan dan didokumentasikan dengan baik. Alhamdulillah, akhirnya dapat juga foto-foto yang dicari. Langsung saya kirimkan ke. Mbak Rien. 

Pelajarannya, saya tidak boleh menyepelekan penyimpanan foto atau dokumentasi apa pun. Suatu saat, mana tau dibutuhkan. Dan kalau bisa, abadikan setiap momen yang kita rasa berharga. Karena tidak semua momen bisa terulang. 

Bangga Menjadi Bagian dari Buku Tradisi Makan Siang Indonesia

Bangga Menjadi Bagian dari Buku Tradisi Makan Siang Indonesia

Hal yang sangat membahagiakan bagi seorang penulis adalah ketika karyanya dikemas dengan begitu istimewa. Ibu Amanda bersama Omar Niode Foundation, Nusa Indonesian Gastronomy Foundation, Komunitas Food Blogger Indonesia, dan Penerbit Diomedia, sukses mengantarkan buku ini launching perdana di Ubud Food Festival pada Mei 2025 lalu. Kemudian diperkenalkan kembali dengan lebih akrab di Atelier Rasa, Barnyard, Kemang, Jakarta pada Kamis, 16 Oktober lalu. Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati pada tanggal yang sama.

Tidak tanggung-tanggung, buku dengan 40 cerita tradisi makan siang di Indonesia ini dikemas full color dan hard cover seperti yang telah disebutkan sebelumnya, juga diterbitkan bilingual, alias dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahas Inggris. 

Bangga saya berlipat karena ini menjadi buku antologi pertama sama yang juga ditulis dalam Bahasa Inggris. Ditambah tulisan saya berhasil masuk menjadi salah satu pemenang lomba.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Rien yang sudah mengajak untuk berpartisipsi untuk menulis bersama, semua pihak yang terlibat dalam proses lahirnya buku Tradisi Makan Siang Indonesia, serta semua teman-teman penulis kontributor yang rasanya tidak sabar saya baca satu per satu ceritanya. 


Bersyukur sekali masih diberi kesempatan untuk menuliskan tentang budaya atau tradisi Nusantara. Warisan yang menyimpan sandi-sandi pesan sarat pelajaran, yang semakin membuat saya jatuh cinta dan tergerak untuk terus ambil andil dalam upaya pelestarian.


Semoga tradisi kita tetap terjaga dan akan terus menyambung mata rantainya.

Budaya, tradisi, adat istiadat adalah warisan leluhur. Suatu saat, kita pun akan menjadi leluhur.

Apa yang kita upayakan saat ini, menentukan warisan itu akan lanjut atau berhenti.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)