Mari hidup seperti pohon, hidup untuk menghidupi. Ketika kita menjadi alasan orang lain tersenyum, rasa senangnya begitu menyentuh ke hati.
Reza Riyady Pragita - Pejuang Program SAUS (Sumber Air untuk Sesama) untuk PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) di Desa Ban Karangasem - Bali
Dengan gerobak kayu yang tampak usang, namun masih kuat menanggung beban 4 jerigen biru ukuran sedang, seorang ibu di Desa Ban membawa air bersih yang akan digunakan oleh keluarganya. Memindahkan ember demi ember air, hingga seluruh jerigen penuh untuk siap diangkut. Mungkin bila sanggup membawa lebih banyak lagi air, akan beliau tanggung agar tidak terlalu sering bolak-balik menempuh jarak berkilo-kilo meter dengan akses jalan setapak yang masih seadanya demi mendapatkan air layak.
Wajah mengernyit dan helaian rambut bagian depan yang basah oleh keringat, walau kepala sudah ditutupi topi hitam, kentara sekali terik matahari Bali membuat sang ibu kepanasan, kelelahan. Selain mengurus anak-anak dan rumah tangga, ibu-ibu Desa Ban juga harus mengalokasikan energinya untuk memastikan ketersediaan air bersih di rumah mereka dengan mendorong gerobak kayu begitu jauh.
"Bagaimana bila ibu saya yang seperti itu?" bersit hati Reza Riyady ketika melihat realita ini. Yang pada akhirnya mulai menggerakkan jiwa sosial dan latar belakang profesi keperawatan yang diembannya, untuk memperjuangkan sumber air bersih yang lebih dekat bagi masyarakat Desa Ban Karangasem, Bali.
Keberadaan air bersih yang bagi banyak orang dianggap biasa, menjadi hal mahal yang tak mudah didapatkan oleh masyarakat Desa Ban.
Di Balik Majunya Pariwisata Bali
![]() |
| Seorang ibu Desa Ban harus berjalan jauh untuk mengambil air bersih | Foto: Instagram @rezariyadyid |
Tapi, di balik pesona itu, jauh menelusuri lebih dalam ke desa-desa kecil, terdapat kesenjangan yang membuat pilu. Bahkan untuk hal dasar kehidupan, air bersih, masih banyak yang kesulitan untuk mengaksesnya. Bayangkan, demi mendapatkan air konsumsi, harus berjibaku dengan jarak berkilo-kilo meter ke sumber air terdekat. Itu yang terdekat. Tidak ada pilihan. Kalau mau tetap hidup, harus dijalani. Dan itulah keseharian di Desa Ban. Salah satu desa yang kondisinya teralihkan oleh gemerlap kemajuan pariwisata Bali.
Lokasi Desa Ban memang sulit dijangkau. Dari Denpasar, butuh perjalanan 2 jam bila merujuk ke aplikasi Google Maps. Tapi, ketika benar-benar ditempuh, bisa berlipat lebih lama. Jangan mengira aksesnya selancar jalan beraspal yang tak asing dijumpai di perkotaan. Jalan menuju Desa Ban belum tersentuh aspal sama sekali, menanjak, dan kalau pakai motor, harus didorong akibat akses yang tak memungkinkan. Apalagi kalau hujan deras, jelas semakin menantang lagi.
![]() |
| Desa Ban berlokasi cukup jauh dari perkotaan dengan akses yang sulit | Foto: Instagram @rezariyadyid |
"Kalau normalnya kita mungkin saja mandi 3 kali sehari karena akses air gampang, masyarakat Desa Ban justru mandi 3 hari sekali. Itu pun belum tentu," ungkap Reza. Anak-anak yang masih rentan dan seharusnya lebih diperhatikan kebersihannya, juga terkena imbasnya. Banyak anak yang terlihat (maaf) kumal atau kotor. Begitu sulitnya membawa air bersih ke rumah, sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan air untuk hal yang lebih penting, misalnya untuk minum dan masak.
Masyarakat Desa Ban tahu bagaimana caranya mencuci tangan, bagaimana menggosok gigi yang benar, dan perilaku hidup sehat lainnya. Mereka bukannya tidak mau tahu, tapi mereka tidak punya akses untuk air bersih. Bayangkan, Bali yang semaju itu pariwisatanya, ada kisah sedih yang tersimpan. Kisah yang disaksikan Reza ketika mendatangi desa. "Sumber air su dekat, satu kalimat familiar yang membuat orang berpikir bahwa kekurangan air hanya terjadi Indonesia Timur, ternyata saya melihatnya di Bali."
Bagaimana masyarakat bisa memenuhi pola hidup bersih dan sehat kalau tidak terpenuhi kebutuhan air yang layak?
Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, mengamanatkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Diperinci pula dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber daya Air, Negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau. Tapi, amanat ini tak menjangkau Desa Ban.
Bukannya masyarakat tidak berupaya untuk mengatasi masalah mereka. Sumur serapan sudah dibuat, namun air yang didapatkan masih sangat kurang. Pemerintah daerah, Palang Merah Indonesia (PMI), dan pihak lainnya juga sudah beberapa kali datang memberi bantuan. Tapi, hanya membawa air bersih dari luar, bukan mendekatkan sumber airnya. Malah tak jarang masyarakat Desa Ban harus membeli air bersih tersebut dengan harga 100 ribu rupiah per jerigen-nya. Harga yang sangat mahal bagi mereka.
Lalu, ketika bantuan air bersih tidak ada, masyarakat kembali menghadapi kesulitan. Menunggu bantuan berikutnya pun lama. Bukankah solusi yang berkelanjutan akan lebih berdampak untuk memenuhi hak masyarakat Desa Ban atas air bersih dan layak?
Latar Belakang Profesi Keperawatan jadi Amunisi Reza Wujudkan Program SAUS
![]() |
| Foto: IDN Times |
Reza menjelaskan lebih jauh bahwa keperawatan itu mencakup 4 aspek, yaitu preventif, promotif, kuratif, dan kolaboratif. Tugas di rumah sakit, hanya memenuhi aspek kuratif. Seharusnya profesi keperawatan tidak berhenti di ruangan saja, tapi bisa diperluas menjadi upaya-upaya sosial sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat.
Awalnya, saat pertama menapaki Desa Ban pada 2019, Reza berencana untuk memberikan bantuan berupa "bedah rumah" alias memperbaiki atau membangun ulang rumah-rumah masyarakat yang terkena dampak letusan Gunung Agung. Karena memang desa ini menjadi desa yang paling terdampak atas kejadian letusan Gunung Agung beberapa waktu silam.
Alih-alih langsung mengambil langkah berdasarkan niat pribadi, Reza memilih mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat, yaitu melakukan pendekatan CAP (Community as Partner). Dalam ilmu keperawatan, masyarakat bukan menjadi objek asuhan keperawatan, namun masyarakatlah yang menyelesaikan masalahnya sendiri. Bantuan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan, tentu masyarakat yang paling tahu.
Dari pada tak tepat sasaran mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk bedah rumah, akan jauh lebih bijak bila dananya dialokasikan untuk sesuatu yang pasti bermanfaat. "Saat itu saya pun masih menjadi perawat honorer, gaji kecil, jadi tidak bisa memberi iming-iming surga," tekan Reza. Maka dari itu, masyarakat juga harus terlibat untuk mewujudkannya, bukan hanya menerima jadi begitu saja.
Benar, permasalahan terbesar mereka bukanlah tempat tinggal, melainkan air bersih.
"Kalau bedah rumah, pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, sudah sering memberi bantuan. Kami butuhnya air yang dekat ke tempat kami. Biar kami tidak jauh lagi mendorong-dorong air," kata perwakilan masyarakat. Lalu, solusinya apa? Masyarakat sepakat membuat bak besar untuk menampung air yang dialirkan dari sumber di tempat mereka biasa mengambil air bersih. Tidak perlu besar-besar, yang penting lebih dekat saja, Pak," harapnya. Kemudian bersama masyarakat, Reza melihat sumber air yang dimaksud tersebut.
Jalan setapak yang dilalui tidak mudah. Bahkan untuk laki-laki dewasa seperti Reza, rute ini sangat melelahkan. "Tidak bisa dilalui dengan motor, harus dilalui jalan kaki. Lumayan berat sampai saya jatuh dan luka-luka," Reza memberi gambaran. Di sini jugalah Reza tahu bahwa ternyata sumber air tersebut pernah diteliti oleh organinasi yang datang sebelumnya, yang bekerja sama dengan Dinas Lingkungan, untuk dicek dan dinyatakan bahwa airnya layak digunakan.
Setelah sepakat dan memastikan bahwa bak dan aliran air memungkinkan untuk dibangun, program SAUS langsung dimulai. Program yang digagas Reza sebagai pembawa harapan untuk kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat Desa Ban. Karena PHBS hanya bisa dilakukan ketika kebutuhan air terpenuhi. Dan saat itu, program ini menjadi asa yang dinantikan oleh masyarakat Desa Ban. Begitu pula Reza.
Keajaiban Datang ketika Hampir Menyerah
![]() |
| Upaya Reza mengumpulkan donasi di media sosial | Sumber: Instagram @rezariyadyid |
Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Reza mengalami titik terendah tak berapa lama setelahnya. Di hari terakhir campaign kitabisa.com, dana yang terkumpul hanya 2,8 juta rupiah saja. Nominal yang sangat jauh dari kebutuhan dana, yaitu sekitar 30 juta rupiah. Sebagai manusia biasa, Reza sangat down, padahal sudah berjanji akan membantu masyarakat Desa Ban. Ini menjadi beban tersendiri bagi Reza. Berjibaku dengan diri sendiri, memaksa hati untuk tetap setia pada komitmen.
"Menjaga komitmen diri sangat sulit." Reza merasa seperti anak muda kekinian yang belum matang, berani punya pemikiran, berani punya ide, tapi tidak mampu merealisasikan. Sudah merealisasikan, tapi ternyata tidak finish. Reza terus bertanya pada diri sendiri, kenapa melakukan ini? Toh, mereka bukan keluarga. Akhirnya berujung pada berbagai pemikiran negatif, apakah project SAUS ini adalah project yang tidak diharapkan? Atau menimbulkan masalah ke depannya? Apakah nanti akan ditipu oleh masyarakat? Tapi, kekuatan kebaikan tetap menjadi pemenangnya. Meski Reza sempat cemas, ia terus mengikuti panggilan hati untuk melanjutkan.
"Di momen saya benar-benar down, saya sampai menangis. Saya berdoa di ruang logistik rumah sakit. Salat dengan terus menangis. Ya Allah, bila program ini baik, lancarkanlah. Bila tidak baik, bantulah hamba untuk legowo. Terkesan ambisius, tapi ini sudah menjadi janji saya. Padahal ini hanya masalah yang terlihat biasa, hanya air."
Mirisnya, sudah lewat jalur politik pun tak juga berhasil. Bantuan yang diharapkan dari Bupati Karangasem, tidak kunjung datang. Bantuan itu malah datang dari uang pribadi Bupati Klungkung, kabupaten tetangga di mana Reza berdomisili. Juga dari teman-teman Klungkung dan luar kota seperti Jakarta. Bila digabungkan, tetap masih jauh dari yang dibutuhkan.
![]() |
| Bertemu Bupati Klungkung | Foto: Instagram rezariyadyid |
Di tengah keputusasaan, tiba-tiba masuk Direct Message (DM) ke akun Instagram pribadi Reza di malam hari. Bertanya tentang project SAUS dan mengatakan berasal dari Medan. Awalnya Reza tak berharap terlalu banyak. Ternyata yang terjadi di luar ekspektasi. Setelah mendengar penjelasan Reza, mereka yang memperkenalkan diri sebagai yayasan, langsung menyatakan ingin berdonasi. "Bilangnya 6 juta, tapi ditransfer 30 juta!" kata Reza antusias. Penasaran akan sosok yang berada dibalik keajaiban ini, Reza mencari informasi tentang yayasan tersebut di internet, tapi tak pernah bertemu. Sampai sekarang, Reza masih tidak tahu akan yayasan tersebut.
"Namun, dana itu ada, dana yang dikirimkan nyata. Seperti mukjizat. Tuhan memberi jalan untuk hal baik. Apa yang kita kerjakan dari hati, akan mengena ke hati lainnya. Keajaiban itu saya rasakan."
Setelah menerima uang tersebut, Reza langsung mengalokasikannya untuk mewujudkan rencana. Menghubungi kelian adat (kepala adat) agar segera membuatkan bak penampungan dan aliran air sesuai kebutuhan masyarakat. Karena sejak awal sudah didiskusikan bahwa masyarakat akan terlihat, maka masyarakat Desa Ban lah yang membuat sendiri bak air tersebut. Mulai dari alat pompa, pipa, dan bak itu sendiri.
Tantangan tetap saja ada dalam proses pembangunannya. Masyarakat harus membeli kebutuhan material dengan harga yang sedikit mahal, bila dibandingkan membelinya di kota. Keputusan ini harus diambil karena jarak dan akses dari kota ke Desa Ban cukup sulit, pasti membutuhkan dana dan upaya lebih untuk membawa bahan material ke desa. Bisa jadi total biayanya akan lebih besar. Dari pada mengambil risiko tersebut, harga yang sedikit lebih mahal terasa lebih baik.
Siapa sangka, dana 30 juta masih bersisa! Semua berkat kerja sama. Masyarakat Desa Ban yang bahu membahu membangun bak penampungan air, Reza dan teman-temannya, dan para donatur. Terutama keajaiban Tuhan yang seketika datang saat manusia tak tahu lagi harus berbuat apa.
Sampai akhirnya, bak penampungan air bersih untuk masyarakat Desa Ban diresmikan pada Januari 2020. Sisa uang dibelanjakan sembako dan dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk syukur dan perayaan. "Saya melihat dan merasakan air segar itu mengalir," kenang Reza. Ibu-ibu tangguh yang tak terbayangkan salah satu dari mereka adalah ibunya, kini tak perlu lagi bercucuran keringat mendorong gerobak kayu berisi jerigen-jerigen penuh air sejauh berkilo-kilo meter.
![]() |
| Aliran air bersih dari bak penampungan air | Foto: IDN Times |
Reza pun tak melupakan saat peresmian, hujan turun membawa keteduhan. Bukan hujan deras yang menyulitkan, tapi hujan ramah yang meredam panas dalam perjalanannya menuju Desa Ban. Justru saat acara peresmian dimulai, hujan berhenti. Menyisakan hawa teduh menyamankan. Entah kebetulan atau tidak, ini seperti filosofi yang dipercaya masyarakat Bali. Bila melakukan sebuah kebaikan dan hujan, berarti alam semesta merestui. Seolah menjawab pertanyaan sekaligus doa yang pernah digaungkannya, Tuhan merestui project SAUS ini.
Momen yang paling berarti Reza adalah ketika ia menjadi tujuan akan rekahan senyum di wajah-wajah masyarakat Desa Ban. Seorang nenek berterima kasih dengan begitu tulus, padahal ia mengaku tak mengenal Reza. Ada pula kakek yang dengan senang hati memberikan berbagai buah hasil kebunnya.
Begitu pula kelian adat yang tak kalah bersemangat mengajak Reza dan kawan-kawannya untuk duduk dan makan bersama. Sembari meyakinkan dengan segenap hati bahwa bak air yang berharga tersebut akan selalu dijaga. Masyarakat tidak akan membiarkannya terbengkalai karena mereka sendiri yang membangun. Bahkan ketika pulang, Reza masih dibungkuskan ubi rambat berwarna putih sebagai buah tangan. Kentara sekali bahwa apa yang diperjuangkan Reza, begitu berarti bagi Desa Ban.
Apa yang dilakukan Reza, tumbuh dari empati. Mengajak masyarakat terlibat, agar jelas apa yang benar-benar dibutuhkan. Tidak tiba-tiba datang memberi bantuan atau menjajikan ini-itu, tapi mendengarkan masyarakat. Dan yang tak kalah penting, project SAUS ini bisa terwujud adalah berkat kebersamaan, bukan jalan sendirian. Serta jangan mengingkari kekuatan sebuah kebaikan, karena dari sanalah Tuhan menitipkan keajaiban.
Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Desa Ban
![]() |
| Ibu dan anak di Desa Ban | Foto: IDN Times |
Lebih luasnya, angka dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Bali turut meningkat. Reza menyimpulkan bahwa ini berarti ada pertumbuhan data yang cukup baik untuk kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Reza percaya bahwa apa yang dilakukannya dalam project SAUS, sedikit-banyaknya membantu Bali masuk dalam 5 besar kota dengan angka PHBS yang baik menurut Riskesdas. Ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2021, bahwa berdasarkan provinsi, proporsi individu yang ber-PHBS dengan kategori baik paling tinggi diperoleh oleh di Bali (59,2%).
"Bisa jadi hal yang kita anggap biasa, kita anggap kecil, memberi pengaruh besar bagi orang lain." Reza menyadari bahwa "hanya air" yang ia perjuangkan untuk masyarakat Desa Ban, menghujani manfaat hingga ke berbagai lini kehidupan mereka. Karena air, lebih tepatnya air bersih, sejatinya kebutuhan dasar manusia untuk hidup dengan layak.
Langkah Kecil untuk Harapan Besar
![]() |
| Reza Riyady menerima apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2022 tingkat provinsi | Foto: IDN Times |
Masih setia atas restu semesta untuk hal-hal baik, pada tahun 2022, tanpa diduga sama sekali, Reza memenangkan SATU Indonesia Awards (SIA) tingkat provinsi. Ini menjadi keajaiban selanjutnya yang ia terima. Tanpa pernah mendaftarkan diri, tak tahu apa-apa, tiba-tiba saja ada yang mengirimkan DM di Instagramnya untuk memberikan pengumuman penting dan meminta nomor kontak Reza yang baru. Karena memang Reza harus mengganti nomor kontak imbas handphone lama yang rusak. Barulah ia dikabarkan sebagai salah satu pemenang SIA di tahun itu.
"Saya kira penipuan. Lalu, saya cek email dan aktifkan nomor lama. Ternyata benar! Andai nomor lama saya aktif, mungkin saya punya kesempatan untuk presentasi," ujarnya sambil tertawa. "Sebelumnya memang ada beberapa pihak yang mewawancarai mengenai program SAUS. Mungkin salah satu dari mereka yang mendaftarkan," sambungnya.
Menjadi pemenang tingkat provinsi pun sudah sangat disyukuri Reza. Ia tidak menyangka bahwa project SAUS yang digagasnya terus "terbang". Walau baru beberapa dusun saja yang dapat mengaksesnya karena itu yang terdekat, project ini dapat menjadi percontohan dalam penyelesaian masalah air bersih di Bali. "Kalau ada yang mengajak berkolaborasi untuk menyediakan air bersih, saya terbuka sekali," ajaknya. Bukankah kolaborasi yang dibutuhkan untuk menciptakan perubahan yang berdampak?
Seperti tahun 2024 kemarin, saat Reza diundang ke Menara Astra Jakarta dan bertemu sesama pemenang SIA yang juga berasal dari Bali, dengan kegiatannya Bali Gigi Sehat. Mereka menceritakan bahwa di Desa Kintamani tempat di mana sekolah binaan mereka berada, juga mengalami kesulitan air bersih meskipun ada danau yang dapat menjadi sumber airnya. Kesulitan air bersih ini membuat masyarakat Desa Kintamani lebih memilih menggunakan air terbatas yang dimiliki untuk minum dan memasak, dari pada menggosok gigi dan mencuci tangan. Ujungnya, masalah kesehatan datang tanpa dapat terelakkan. Nyaris sama dengan masalah yang terjadi di Desa Ban sebelumnya. Realita yang membuktikan bahwa masih banyak desa lain di Bali yang kesulitan air bersih.
Memenangkan SIA dari Astra, turut menguatkan akses relasi Reza untuk bertemu orang-orang hebat. Mulai dari pemenang SIA lainnya, wartawan, serta orang-orang yang punya akses ke pemerintah. Hal ini sangat membantu upaya sosialnya dalam memperjuangkan PHBS dan sumber air bersih di Bali.
Reza mengakui bahwa project SAUS yang digagasnya masih perlu dikembangkan lagi. Sumber air bersih memang berhasil didekatkan kepada masyarakat desa. Namun, sifatnya tidak tetap, sumber air tak selalu mengalirkan air sepanjang tahun tanpa henti. Ketika musim kemarau tiba, sumber air kering. Masyarakat kembali pada kesulitan. Maka dari itu, Reza berharap dapat melakukan pencarian sumber air lain yang bisa diandalkan. Tapi, ini akan membutuhkan dana yang lebih besar bila sumber airnya banyak. Semoga ke depannya ada pihak-pihak yang berkenan mengembangkan bak penampungan air ini dengan lebih banyak sumber air. Dapat mengaliri tanpa henti, meski di musim kemarau sekalipun.
![]() |
| Sumber air mengering ketika musim kemarau | Foto: Instagram @rezariyadyid |
Selain itu, melebarkan harapan ke fokus lainnya, Reza sangat ingin anak-anak muda Desa Ban atau sekitarnya tidak merantau ke Denpasar atau berlayar di kapal-kapal pesiar ketika sudah dewasa dan memiliki bekal cukup dari segi ilmu. Melainkan kembali ke desa mereka dan bersama melakukan pembangunan.
Satu hal menarik yang dibayangkan Reza, kelak Desa Ban mampu mengembangkan bak penampungan air sederhana itu menjadi perusahaan air mineral sendiri. Bukannya tanpa alasan. Di dekat desa, sudah ada perusahaan air mineral. Ya, di dekat desa! Miris sekali bukan? Namun, ini menjadi sinyal bahwa ada potensi air bersih yang dapat dimanfaatkan. Sumber-sumber air yang selama ini tidak tersalurkan ke masyarakat yang seharusnya berhak atas itu.
Ketika suatu saat nanti sumber-sumber air lebih banyak ditemukan dan desa tak lagi kekeringan, opsi lainnya untuk membangun desa adalah dengan menjadikannya tempat melukat. Melukat ini merupakan tradisi atau upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di Bali, untuk menyucikan diri di sumber-sumber air tertentu. "Warga Bali sangat spiritual, sehingga ini dapat menjadi peluang yang baik," kata Reza. Mana tahu bisa mewujudkan Desa Ban sebagai desa wisata beberapa tahun lagi.
Reza sadar bahwa ia tak bisa selamanya mendampingi warga Desa Ban. Semua harapan besar itu bermuara pada satu titik, "Ada atau tidak adanya saya, masyarakat bisa selalu sejahtera."
Terakhir, terkait profesi keperawatan yang diembannya, Reza percaya bila perawat bisa memantapkan profesi keperawatan di pedalaman, menerapkan keempat aspek sebagai perawat yang tidak hanya bekerja di ruangan, bukannya mustahil meraih Indonesia sehat dan sejahtera, bahkan Indonesia Emas 2045. Karena dari program-program dunia keperawatan, bisa membantu masyarakat untuk hidup lebih baik lagi.
Ingatlah bahwa hal baik akan diikuti oleh hal baik pula, bahkan keajaiban. Air bersih untuk Desa Ban menjadi bukti akan kekuatan kebaikan untuk sesama.
***
Referensi
Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Sesi 2 tanggal 21 Oktober 2025 yang menghadirkan Reza Riyady Pragita, Penerima Apresiasi SATU Indonesai Awards Tahun 2022 Bidang Kesehatan
Rilis Data Statistik Resmi Bulan September 2025 (diunduh tanggal 17 November 2025)
Gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Data Riset Kesehatan Dasar. URL: https://ayosehat.kemkes.go.id/gerakan-perilaku-hidup-bersih-dan-sehat-dalam-data-riset-kesehatan-dasar (diakses 18 November 2025)
















No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)