Judul Buku: Sayonara Empat Belas
Penulis: Lian Yusuf, Evin Tobing, Irma Novita, Novarty Eka Putriana, Prita HW, Riyan Ori, Rizal Azmi, Zaid Malbar
Penerbit: Binsar Hiras
Kategori: Antologi Cerpen
ISBN: 978-623-6679-84-5
Ukuran: 14 x 20 cm
Halaman: 260 halaman
Harga: Rp 82.000,-
Tahun Terbit: 2021
Sebelumnya saya bersyukur sekali bahwa keinginan untuk menghasilkan karya bertema pandemi Covid-19 terkabul. Tertuang dalam buku Sayonara Empat Belas, buku antologi ketiga saya yang terbit di penghujung tahun 2021 lalu. Bisa dibilang ini rekam jejak terbaik saya karena selama penulisan naskah, sangat diselimuti perasaan yang campur aduk. Ya, mungkin karena ini kisah nyata. Jadi rasanya seperti curhat dalam sebuah susunan kalimat yang lebih tertata dan sistematis.
Meski berupa cerpen yang pada dasarnya bergenre fiksi, namun kisah yang diangkat dalam setiap judulnya berdasarkan kisah nyata para penyintas Covid-19. Berasal dari pengalaman pribadi penulis sendiri, keluarga, kerabat atau siapa pun di sekitar penulis yang pastinya sarat hikmah dan pelajaran. Menyakitkan pasti, diterpa cobaan terinfeksi virus yang hingga detik ini masih menjadi masalah dunia. Makanya menjadi tantangan tersendiri untuk mengangkat dan mengukirnya dalam sebua karya.
Ada satu kutipan kalimat di halaman Kata Pengantar yang paling membekas dalam ingatan saya, sekaligus menggambarkan keseluruhan buku ini.
"Tidak sedikit yang gugur, namun masih lebih banyak yang menang dan dapat melanjutkan hidup dengan damai."
Benar. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali nyawa yang menjadi korban karena pandemi ini. Tapi harus dilihat juga bahwa lebih banyak para penyintas yang berhasil melalui masa-masa berat. Bahkan bila keluarganya pun ditakdirkan berpulang lebih dulu, tentu ada perjuangan baru yang lahir bagi yang ditinggalkan.
Inilah yang membuat saya terpanggil untuk berperan sebagai salah satu kontributor dalam buku Sayonara Empat Belas. Ingin berbagi kisah yang banyak sekali memberi pelajaran bagi saya. Pandemi yang sudah bertahun-tahun ini pasti akan menjadi sejarah berpuluh-puluh tahun nanti. Sebuah momen yang tidak pernah terhapus karena hampir semua lini kehidupan manusia terkena imbasnya.
Saya ingin, buku ini bisa menjadi salah satu sejarah berharga yang mengukir kisah saya, kisah semua penulis dan tentunya mewakili jutaan manusia yang pernah menjadi penyintas. Pandemi, mengajarkan kita semua banyak hal. Bukan hanya tentang penyakit, namun juga tentang makna hidup.
Baca juga: Buku EMAK MENGASUH: Membuka Mata dan Hati Bahwa Menjadi Ibu Tidaklah Mudah
Manusia Kuat Itu Bernama Ibu
"Terus, kamu lebih memilih anak-anakmu tertular? Kemarin, baru saja aku menyaksikan seorang pasien anak meninggal karena Covid. Walau umumnya OTG, bukan berarti tidak ada anak yang bergejala. Bayangkan kalau itu anakmu dan keras kepalamu biang keladinya."
Diam. Lidahku terlalu kelu untuk merespon cerita Karin.
Kutipan tersebut menjadi titik terberat untuk memutuskan. Saya berada dipersimpangan yang tidak tahu harus mengambil jalan yang mana. Semua pilihan bak buah simalakama. Tetap di rumah, membahayakan keluarga. Bila memeriksa diri dengan hasil tes yang kemungkinan besar positif, isolasi tentu tak bisa dihindari. Lalu apa kabar dengan anak pertama dan bayi saya?
Akhirnya semesta selalu punya cara untuk melindungi siapa saja. Saya diarahkan mengambil jalan yang menyeberangi logika. Bertaruh nyali untuk mengikuti kata hati. Bukan karena egois, namun ada kalanya penyelesaian masalah terbaik datang dari diri sendiri, keyakinaan paling inti.
Dalam judul ini, saya menceritakan detail bagaimanaa saya dan keluarga berjuang sekuat tenaga untuk meminimalisir penularan. Anak-anak menjadi fokus yang harus dilindungi. Betapa beratnya untuk tetap memaksa diri tampak baik-baik saja ketika bayi saya tidak mau lepas dari ibunya. Hingga pelagi itu merekah setelah badai. Berjuta pelajaran tercipta dari kisah yang telah saya rangkai. Dan saya harap juga bisa memberi manfaat sebesar-besarnya bagi pembaca.
Kita Dikritik Tuhan
"Bu Laksmi mengangguk menatap wajah anaknya yang pucat pasi. Anak gadis itu tumbuh begitu baik. Tetapi hatinya malah remuk. Pasti dulu Denting membutuhkan ibunya seperti ia membutuhkan Denting sekarang. Sedangkan ia malah sibuk mengejar dunia. Bekerja memang membuatnya kaya, namun semua hartanya tak mampu seperti Denting."
Fenomena yang sebenarnya klasik. Kesibukan orang tua bekerja, siang dan malam, hingga melupakan kebutuhan hakiki dalam sebuah keluarga. Kasih sayang tidak akan pernah tampak bila tidak dibuktikan dalam kata dan perbuatan. Perhatian, saling peduli dan tidak menyepelekan kebutuhan satu sama lain adalah hal mahal yang sebelumnya tidak pernah ada. Hingga akhirnya takdir Tuhan menyadarkan. Tidak ada tempat yang paling nyaman untuk pulang selain keluarga. Tidak akan ada yang lebih peduli selain keluarga.
Saya juga berharap, melalui kisah ini, pesan untuk kembali ke keluarga, mengungkapkan kasih dan sayang yang sering luput dari ingatan, bisa menjadi prioritas kembali. Bahkan bagi saya yang kini sudah menjadi orang tua dan tentunya seorang anak dari orang tua saya, begitu tersentuh dengan pelajaran mendalam yang diberikan kisah ini.
Bisa jadi masa terberat itu bukan hanya pandemi, mungkin banyak takdir Tuhan lain yang menanti. Hanya kehadiran keluarga lah, orang-orang terdekat kita, yang akan menjadi garda terdepan untuk membantu, melindungi dan rela mengorbankan segalanya. Bahkan lebih terdepan dari tenaga kesehatan yang bertugas selama pandemi ini.
Baca juga: Buku BIKIN KETAWA - Antologi Pertama yang Lahir Berkat Keberanian
***
Menurut saya pribadi, mengangkat kisah nyata dalam cerpen sangat berhasil menyampaikan rasa dan pesan penulis. Adanya alur cerita dan dikemas lebih singkat, membuat pembaca tidak bosan. Banyak kisah yang disampaikan dan tentunya dari berbagai sudut pandang penulis, bahkan juga dari orang-orang di sekitar penulis, sehingga membuat buku ini lebih kaya akan pelajaran hidup.
Bagi yang ingin membaca kisah nyata para penyintas Covid-19, bagaimana mereka berjuang dan bertahan, baik itu berujung kemenangan atau takdir lain yang tidak akan bisa dikendalikan, buku Sayonara Empat Belas ini bisa menjadi bacaan yang ringan namun tetap "ngena".
Kembali lagi kepada pesan pembuka dalam buku ini, setiap kejadian tidak mengenakkan yang terjadi dalam hidup ini, pasti ada hikmah berharga yang bisa dipetik. Ini pulalah salah satu inti makna dari hadirnya Sayonara Empat Belas, yaitu menuturkan pelajaran dari kisah pilu selama bertarung dengan gejala-gejala serangan virus yang pastinya sangat menyiksa.
Satu lagi, karena pandemi belum berakhir, menurut pandangan saya pribadi yang juga menjadi konntributor dalam buku ini, Sayonara Empat Belas berhasil menjadi pengingat untuk tetap waspada akan penyebaran virus Covid-19 yang belum terlihat garis akhirnya. Entah sampai kapan pandemi ini bertahan, tentu tidak ada yang tahu.
Dengan mendapatkan gambaran bagaimana kisah para penyintas Covid dari kisah-kisah nyata yang diangkat dalam buku ini, pasti sedikit banyaknya akan memengaruhi pandangan pembaca, betapa tidak mengenakkannya bergejala dan berjuang melawan virus. Hingga kesadaran akan penerapan protokol kesehatan dan gaya hidup sehat semakin meningkat.
Semoga bermanfaat dan selamat membaca antologi cerpen Sayonara Empat Belas!
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)