4 Alasan Kenapa Ibu Butuh Kesiapan Mental Sebelum Resign dan Jadi Ibu Rumah Tangga

No comments

Beberapa tahun lalu, saya pernah menulis tentang hal-hal yang perlu dipertimbangkan ibu sebelum resign dan menjadi ibu rumah tangga. Salah satu di antaranya adalah kesiapan mental. Nah, kesiapan mental ini sebenarnya adalah kunci menghadapi segala perubahan yang akan terjadi. Saya akui, kehidupan yang berubah drastis, rawan sekali mengganggu kesehatan mental ibu. Makanya tidak jarang ibu menyesali keputusan resign karena ternyata realita tak sesuai ekpektasi. 


Ibu Resign
Gambar diolah dari foto freepik.com

"Kenapa harus menyesal? Bukannya lebih santai dan bebannya lebih minim jika dibandingkan dengan bekerja? Toh, kita di rumah saja."

Nyatanya, saya tidak merasakan kesantaian ini. Bahkan kalau boleh membandingkan, dan ini tentunya menurut saya pribadi setelah mengalami, kesibukan mengerjakan tugas rumah tangga dan mengasuh anak jauh menguras tenaga dan pikiran saya. Ditambah lagi tidak ada jam istirahat. Saya seolah diforsir untuk bekerja sepanjang waktu, bahkan tengah malam sekali pun. 


Akhirnya apa? Bayang penyesalan mengintai. Padahal bukan kehidupan baru itu yang terlalu berat, namun ketidaksiapan mentallah yang menjadi penyebabnya. 


Baca juga: Pikirkan Beberapa Hal Ini Sebelum Resign dari Pekerjaan dan Memilih Menjadi Ibu Rumah Tangga


Makanya, ibu perlu betul-betul memperhitungkan apa yang akan dihadapi nanti setelah resign. Kejadian yang akan menyerang mental tidak hanya datang dari diri sendiri, namun juga dari lingkungan. Setidaknya, 4 kejadian yang pasti terjadi ini adalah alasan kenapa ibu wajib menyiapkan mental setegar karang sebelum memutuskan resign.


Menghadapi Kontra

Saya hampir tidak bisa melupakan berbagai kontra yang sempat membuat saya stres lebih dari satu bulan saat memutuskan resign. Mirisnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kontra ini akan banyak didengar dari orang terdekat, seperti keluarga, sanak saudara, tetangga atau teman. Anehnya lagi, mereka yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa, tiba-tiba ikut mengomentari. Pokoknya, siap-siap saja menjadi bahan omongan dan pusat perhatian.


Paling sulit tentu menghadapi kontra yang datang dari orang tua atau suami. Mayoritas komentar pada tulisan saya sebelumnya menyatakan kesulitan resign karena tidak kunjung mengantongi izin suami, orang tua atau keduanya. Berbagai faktor melatarbelakangi, seperti orang tua yang tidak ingin anaknya hidup tanpa pekerjaan atau suami yang khawatir akan finansial keluarga. 


Inilah alasan pertama yang paling membuat mental down di saat awal mengambil keputusan resign. Namun, bila ibu sudah memiliki niat yang kuat, cobalah berkomunikasi dengan orang-orang berharga ini. Bila ada yang menjadi kendala, diskusikan bersama jalan keluarnya. Misalnya dengan mencari pintu pemasukan lain yang bisa dikerjakan ibu dari rumah sembari mengurus keluarga. Mungkin butuh waktu lebih lama, namun bukan berarti tidak bisa diupayakan.


Perubahan Aktifitas

Buang jauh-jauh pemikiran bahwa di rumah mengurus keluarga akan membuat ibu lebih santai dan bebas dari stres. Menjadi ibu rumah tangga bukanlah perkara mudah. Apalagi bagi ibu yang mengurus semuanya sendiri, tanpa bantuan ART atau anggota keluarga lain. Ada-ada saja masalahnya. Bahkan saya sendiri sering menangis sendiri saking beratnya tugas yang saya emban.


Berhubung saya resign tepat setelah kelahiran anak pertama, maka saya akan memberi gambaran bagaimana aktifitas saya setelah itu. Bila di kantor ada jam kerja dan ada atasan yang bisa dimintai saran atau bantuan ketika masalah datang, lain halnya dengan ibu rumah tangga. Semuanya harus dikerjakan sendiri, dicari solusinya sendiri dan yang paling berat adalah tidak adanya jam istirahat. Bahkan untuk mandi, makan atau ke toilet saja sulit sekali. Belum lagi masalah pengasuhan, saat anak sakit atau urusan rumah tangga yang tiada akhir, dijamin bikin lelah lahir-batin. 


Ada juga ibu yang resign setelah anak-anaknya besar atau sebelum punya anak. Kehidupan baru yang lebih santai ternyata juga membuat ibu rawan bosan dan akhirnya stres sendiri. Bayangkan saja, seharian di rumah tidak ngapa-ngapain dan tidak bertemu siapa-siapa, pasti menjenuhkan bukan? 


Jenuh terjadi bukan karena mengerjakan hal monoton setiap hari, tetapi karena tidak ada tujuan yang hendak dicapai.


Sebelum memutuskan resign, perhatikan dengan baik aktifitas apa dan bagaimana nantinya yang akan dihadapi. Terlalu sibuk atau terlalu santai? Keduanya sama-sama mengancam kesehatan mental ibu. Saran saya, tentukan tujuan baru ibu setelah resign. Jangan terjebak dengan aktifitas tanpa tujuan, karena itu hanya memancing kebosanan. Tujuan ini harus bersifat pribadi, alias murni untuk kesenangan atau mengembangkan diri ibu. Selain baik untuk mental ibu, juga akan membalas semua kontra yang ada bila ternyata tujuan ibu tersebut meraih kesuksesan.


Risiko Finansial

Pemenuhan kebutuhan hidup pasti akan selalu berhubungan dengan aspek finansial. Bila sebelumnya ada dua pintu pemasukan, setelah resign, pintu yang satu akan tertutup. Anggap saja begitu kalau ternyata ibu belum memiliki penghasilan sampingan selain gaji yang diterima dari kantor. Berhemat pasti akan menenangkan hati ibu sementara, Namun berhemat ektrim dalam waktu lama juga sedikit-banyaknya akan membuat hati ibu sedih. Wajar sih, dulu saat masih bekerja, lebih banyak yang bisa dibeli dan dilakukan. Kini malah banyak yang dipangkas.


"Tapi gaji suami saya kan besar? Saya masih bisa beli apa yang saya mau, kok!"

Saya awalnya juga berpikiran bahwa berbelanja dengan uang suami akan sama rasanya dengan uang sendiri. Sama-sama bebas dan memuaskan. Ternyata tidak, lo! Entah ini dirasakan juga oleh ibu-ibu lain atau hanya saya saja. Membeli sesuatu dengan uang suami, bahkan suami saya tidak pernah menolak ketika saya meminta sesuatu, tetap saja rasanya tidak se-plong jajan dengan gaji sendiri. Otomatis akan lahir batasan karena merasa tidak enak bila berbelanja terlalu berlebihan. 


Kalau saya boleh memberi sedikit saran, walau tidak sewajib memiliki tujuan setelah resign, sebaiknya ibu juga berupaya mencari celah pemasukan. Tidak perlu besar, cukup untuk beli paket data sendiri saja pasti sudah sangat membanggakan. Di tengah kesibukan menjadi ibu rumah tangga, ternyata masih sempat menghasilkan. Banyak sekali pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah di zaman serba digital ini. Yang penting ada niat, semangat dan konsisten, pasti kesempatan terbuka lebar!


Bayang Penyesalan

Ini saya banget! Beberapa kali pernah diambang penyesalan karena nyaris merasa tidak sanggup menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga sambil momong dua anak. Biasanya ini terjadi ketika masalah datang bertubi-tubi di saat bersamaan. Sehingga yang menjadi kambing hitam adalah keputusan resign. Padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Mau menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, sama-sama berat perjuangannya.


"Andai saya masih bekerja, pasti tidak akan stres seperti ini. Lihat tuh teman-teman kerja dulu, bisa dinas luar kota dan jalan-jalan terus. Sedangkan saya, berjibaku setiap hari dengan masalah GTM anak, cucian kotor, rumah berantakan, belum lagi kata-kata orang yang nyakitin, dikira enggak pernah ngapa-ngapain di rumah!"

Dijamin deh, bukan hanya saya yang pernah berpikiran seperti ini setelah resign. Lalu apa yang bisa dipersiapkan agar jangan sampai penyesalan datang? Tetap kembali kepada memperhitungkan kemungkinan terburuk dan membaca dengan jelas apa yang akan terjadi nanti setelah resign. Bertanya dengan teman yang berpengalaman bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk mendapat gambaran nyata.


Bila bayang penyesalan itu akhirnya tetap muncul, ibu bisa berdiri di depan kaca dan berbicara pada diri sendiri tentang alasan kenapa memilih resign. Apakah demi anak, demi merawat orang tua, demi bisa fikus mengurus keluarga atau apa pun. Bayangkan betapa besar upaya ibu untuk sampai di titik sekarang. Lihat anak-anak, sudah bertumbuh dan berkembang sempurna karena peran ibu. Lihat orang tua yang semakin membaik karena mendapat perawatan dari anaknya. Apresiasi diri sendiri dengan hal baik yang dirasakan setelah resign.


***


Baca juga: Bercita-cita Diusia yang Tak Lagi Muda, Kenapa Tidak?


Itulah beberapa alasan kenapa ibu butuh mempersiapkan mental agar kuat dan lebih enjoy menghadapi kehidupan setelah full menjadi ibu rumah tangga. Ingat, mau bekerja atau tidak, tetap ada masalah dan risikonya. Pikirkan baik-baik, mana yang paling banyak manfaatnya dan minim risikonya. Temukan pula beberapa solusi akan masalah yang akan muncul. Jadi tidak kaget dan bingug ketika menghadapinya. 


Terakhir, jangan malu berkomunikasi dengan orang terdekat, terutama suami yang menjalani kehidupan keluarga bersama. Jangan sungkan pula mencari referensi dari ibu-ibu lain yang sudah lebih dahulu memutuskan resign. Pasti akan mendapat gambaran yang jauh lebih real dari pada hanya mengandalkan artikel internet atau perkiraan sendiri. 


Perkara ibu resign bukan hal yang bisa diputuskan secara instan. Banyak hal terkait di dalamnya. 


Semoga bermanfaat.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)