Stop Stigma dan Diskriminasi pada Teman-teman “Spesial” Kita

No comments

"Temanku harus bersabar dan berjuang ekstra untuk membesarkan anaknya yang Down Syndrome. Udah lah, jangan marahi anak terus kalau enggak mau makan. Itu belum seberapa dibandingkan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus."


Pernyataan ini saya dengar ketika curhat masalah kesulitan makan anak yang bikin saya stres beberapa tahun lalu. Lalu adik saya mengisahkan pengalaman teman sesama dokternya yang harus membesarkan anak dengan kebutuhan khusus. Dan itu sungguh membuat saya terenyuh, sekaligus menyadarkan bahwa banyak orang tua di luar sana yang jauh lebih tangguh. Masalah saya yang anaknya susah makan dan sering muntah, bisa dibilang jauh lebih ringan.


Lawan Stigma untuk Dunia Setara
YouTube Live Ruang Publik KBR "Lawan Stigma untuk Dunia Setara"

Memori inilah yang langsung teringat ketika saya mengikuti Live YouTube di channel Berita KBR bertema Lawan Stigma untuk Dunia Setara pada Rabu, 30 Maret 2022 lalu. Hadir dua pembicara yang berbagi kisah bagaimana mereka berjuang melawan diskriminasi yang diterima. 

  1. dr. Oom Komariah. M.Kes, Ketua Pelaksana Hari Down Syndrome (HDSD) / POTADS (Perkumpulan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome)
  2. Uswatun Khasanah, OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) / NLR Indonesia


Acara ini sejalan dengan kampanye pada Hari Kusta dan bertepatan juga dengan Hari Down Syndrome Sedunia yang dirayakan pada 21 Maret lalu.  


Mendengar pengalaman teman-teman yang pernah mengalami atau menghadapi langsung keadaan "spesial", semakin menyadarkan saya bahwa stigma atau diskriminasi itu masih saja menjadi problem yang sering meruntuhkan semangat. Membuat kehidupan mereka semakin berat dan menghilangkan berbagai hak dalam berkehidupan di tengah masyarakat yang seharusnya didapat. Padahal, sebagian besarnya hanya disebabkan oleh mitos keliru yang masih dipercaya, ditambah dengan kurangnya edukasi.


Stigma Masih Dibayangi Mitos

Tidak ada satu pun manusia yang bisa request hendak dilahirkan seperti apa dan bagaimana perjalanan hidupnya. Kalau ditanya, pasti semua ingin baik-baik saja dan normal seperti kebanyakan orang. Namun, takdir terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti cerita Mbak Uswatun yang harus menghadapi kusta di usia yang masih remaja.


Kusta, penyakit yang menyerang jaringan kulit ini, masih sangat lekat dengan mitos keliru. Diganosa penularan pada kusta sering membuat penderita dijauhi. Mirisnya, malah disangkutpautkan dengan penyakit kutukan, yaitu penyakit yang disebabkan oleh dosa di masa lalu dan tidak bisa disembuhkan. Sehingga tak jarang penderita kusta menerima pandangan miring yang menghakimi dari masyarakat. 


Padahal kusta bukanlah penyakit kutukan, namun penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang menimbulkan bercak putih kemerahan di kulit. Kusta ini sangat bisa disembuhkan. Salah satu buktinya adalah kesembuhan yang diraih oleh Mbak Uswatun dan menjalani kehidupan normal kembali, plus bisa berbagi cerita kepada orang lain. Setelah menjalani masa pengobatan lebih kurang selama 6 bulan dan mengikuti apa yang diperintahkan dokter, kusta yang dideritanya berhasil disembuhkan.


Cara membantah stigma dan mitos adalah harus diobati dengan medis. Buktikan bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan.

- Uswatun Hasanah -


Berbeda lagi dengan kisah yang disampaikan oleh dr. Oom sebagai orang tua dari anak down syndrome. Bahkan sejak melahirkan, tenaga kesehatan yang kurang pemahaman pun menyampaikan keadaan spesial anaknya dengan kurang mengenakkan. Apalagi profesi dokter yang diembannya semakin membuat stigma itu datang semakin kuat. Tidak heran bila di awal-awal dulu sangat sulit menerima kenyataan dan membuatnya drop.


Down syndrome sering dibilang sebagai penyakit kejiwaan atau idiot. Ada yang sampai diusir oleh keluarga sendiri dan banyak pula orang tua dengan anak down syndrome yang akhirnya menarik diri dari lingkungan karena malu. 


Ujungnya anak tidak bisa melakukan apa pun. Padahal, bila orang tua segera bangkit dan mendatangi dokter serta ahli terapi, anak-anak penderita down syndrome bisa bertumbuh dan berkembang dengan jauh lebih baik. Ditambah lagi anak down syndrome biasanya memiliki penyakit penyerta lain yang mesti segera ditangani. Otot-otot yang lemah pun harus selalu diberi stimulasi dan terapi.


dr. Oom menyampaikan, "Bila anak down syndrome ditangani dengan cepat, maka perkembangannya tidak akan jauh berbeda dengan anak normal." Misalnya bila anak normal mampu berjalan ada usia 1 tahun, maka anak down syndrome ini akan bisa mencapai perkembangan yang sama pada usia 1,5 tahun. 

"Kalau bukan orang tua, siapa lagi?"


Lawan Diskriminasi dengan Bukti

Cara menghentikan diskriminasi adalah dengan memberi bukti. Buktikan bahwa segala ragam disabilitas tidak layak mendapat perlakuan berbeda. Coba deh buka mata kita lebih lebar, banyak anak-anak down syndrome yang mampu memainkan alat musik, menari, dan saya pun pernah membaca, ada yang berhasil menjadi model ternama. Begitu pula dengan OYPMK, kesembuhan akan mengembalikan kehidupan normal dan memperlihatkan bahwa kusta bukanlah penyakit akibat karma yang tidak akan sembuh hingga ajal tiba.


Diskriminasi ini harus dicegah dari dua arah, yaitu dari lingkungan luar dan juga dari diri penderita itu sendiri. Dukungan dari luar bisa berbentuk kampanye, sosialisasi atau edukasi. Sehingga masyarakat tahu kebenarannya, bukan hanya percaya mitos yang salah. Dan yang paling penting adalah semangat dan motivasi yang harus tumbuh dari dalam diri penderita atau pendamping langsungnya bila masih bayi dan anak-anak.


Penderita atau pendamping harus berdamai dulu dengan diri sendiri.


Tunjukkan pada dunia, kita bisa melawan diskriminasi dimulai dari diri sendiri.

- dr. Oom Komariah. M.Kes -


dr. Oom sangat menyarankan para orang tua dengan anak down syndrome untuk segera bergabung dengan komunitas. Karena dengan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki masalah serupa, maka semangat itu akan muncul. Banyak informasi dan pengalaman yang saling dibagi, sehingga tidak ada lagi rasa sendiri. Jadi pembuktian bahwa anak-anak down syndrome yang memiliki masa depan dan kemampuan yang bisa diasah bisa membantah diskriminasi dengan sendirinya.


Seperti POTADS yang sudah tersebar di 10 kota besar Indonesia ini. Memiliki visi untuk menjadi pemberi informasi terlengkap tentang down syndrome di Indonesia. Programnya sudah mendampingi para orang tua sejak melahirkan dengan bekerja sama dengan beberapa rumah sakit untuk memberikan paket buku yang berisi edukasi terkait penanganan anak down syndrome. Selain itu POTADS juga berkerja sama dengan institusi pendidikan dan kesehatan untuk memberi sosialisasi dan edukasi bahwa anak down syndrome juga bisa melakukan apa yang dilakukan anak normal. Dan yang paling menarik adalah kehadiran Rumah Ceria yang memberikan pelatihan seni, musik dan keterampilan pada anak-anak down syndrome.


"Orang tua boleh saja merasa terpuruk, karena masa-masa itu pasti terjadi. Nikmati dan jalani saja. Nanti setelah itu, segera cari komunitas dan bangkit bersama untuk mengupayakan yang terbaik bagi anak," kata dr. Oom.


Orang tua jangan sampai malas atau segan untuk mengarahkan anak down syndrome sesuai bakat dan minat mereka. Jangan sampai putus asa dan minder. Tidak apa bila banyak bertanya dan selalu cari referensi sebanyak-banyaknya. Harus tetap menjaga semangat dan yakinkan selalu bisa. Seperti tagline POTADS, "Aku Ada, Aku Bisa".


Selain itu, ada juga NLR Indonesia yang terus merekomendasikan untuk bersama-sama memberikan edukasi pada masyarakat untuk melawan stigma terhadap para disabilitas dan OYPMK. Mereka memiliki hak dalam masyarakat yang seharusnya bisa dinikmati tanpa adanya diskriminasi. 


Hampir sama dengan POTADS, NLR Indonesia pun juga aktif mencegah, mendeteksi dan menangani kusta, ada komunitas untuk orang dengan disabilitas dan terus mengedukasi masyarakat tentang kusta dan disabilitas.


***


Baca juga: Stop Diskriminasi! Teman-Teman Disabilitas dan OYPMK Berhak Berkarya dan Berdaya


Hadirnya berbagai komunitas atau lembaga yang begitu peduli dengan teman-teman penyandang disabilitas, semakin membuktikan bahwa di zaman sekarang, bukan lagi saatnya mendiskriminasi atau mengikuti stigma yang sudah terlanjur berkembang. Ini saatnya kita sama-sama bergerak untuk mematahkannya. 


Stop di kita!


Tanpa mendapat diskriminasi pun, orang dengan disabilitas sudah harus berjuang lebih keras agar bisa mengimbangi dan berbaur dengan perkembangan kehidupan. Sesekali, cobalah membayangkan berada di posisi mereka. Harusnya kita sama-sama menyemangati dan saling merangkul untuk masa depan yang lebih baik. Serta sebagai bentuk syukur untuk bisa hadir bagi sesama.


Sebagai penutup, izinkan saya menuliskan sebuah kutipan.

"Disabilitas adalah hal yang alami. Kita harus berhenti percaya bahwa disabilitas mencegah seseorang melakukan sesuatu, karena itu tidak benar. Memiliki disabilitas tidak menghentikan saya dari melakukan apa pun."

 - Benjamin Snow, penyandang disabilitas asal Amerika Serikat


Semoga bermanfaat.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)