Cara Agar Anak Mengerti Aktivitas Ibunya

No comments

Semua tentu setuju bila orang tua harus selalu mendampingi anak. Terutama ibu yang full di rumah, alias ibu rumah tangga, yang secara fisik terus "lengket" dengan anak-anaknya. Mulai dari pagi hingga pagi lagi,  urusan ibu rumah tangga jelas tak lepas dari yang namanya mengasuh anak. Semua diurusi, mulai dari mandi, makan, sekolah hingga bermain pun dikawani. 


Mengenalkan aktivitas ibu pada anak

Berbeda dengan sosok ayah, penanggung jawab utama soal mencari nafkah. Otomatis lekat dengan perkara profesi yang umumnya menuntut aktivitas di luar rumah. Jadi anak pun tak keberatan ketika Sang Ayah berangkat pagi dan pulang sore. Sudah biasa, tak masalah andai ayah tak sempat menemani bermain, tak sempat menyuapi. Ayah kan kerja, begitu sederhananya.


Padahal kenyataanya, ibu juga punya aktivitas lain yang harus dikerjakan. Minimal mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci dan beres-beres rumah. Atau bisa jadi ibu juga punya aktifitas produktif lain, yang mungkin secara fisik tidak ke mana-mana, tetapi tetap butuh ruang untuk berkonsentrasi. 


Dari sinilah lahir istilah multitasking yang digadang-gadang sebagai kekuatan wanita, terkhusus setelah menjadi emak-emak. Apakah kenyataannya demikian? Tidak! Sebenarnya manusia tidak disarankan untuk mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu. Tidak baik bagi diri dan hasilnya nanti. Makanya sering kali ibu mengalami stres atau depresi akibat beban kerja yang terlalu banyak di tengah hujanan tuntutan.


Kebutuhan diri terlupakan. Apalagi hasrat untuk mengaktualisasi diri, tersingkirkan hingga lenyap secara perlahan. Dianggap mustahil, walau sebenarnya tidak ada hal yang mustahil.


Multitasking itu lahir karena keterpaksaan, bukan karena bawaan kemampuan. 


Lalu bagaimana solusinya? Ketika ibu harus mengerjakan pekerjaan lain, bagaimana dengan anak? Terkadang anak tidak mau ditinggal saat ibu harus memasak. Anak juga tidak terima ketika perhatian ibu harus terfokus pada job kecil yang mesti segera diselesaikan. 


Jawaban saya cuma satu, anak penting dikenalkan dengan aktivitas ibunya. Anak harus tahu, ibu juga punya kegiatan lain selain mengasuh atau menemaninya bermain.



Cara Saya Mengenalkan Aktivitas Harian Ibu kepada Anak-anak

Anak perlu tahu aktivitas ibunya
Foto ilustrasi: freepik.com

Salah satu rahasia saya bisa tetap produktif di sela kesibukan mengasuh dua anak dan mengurus rumah tangga, tanpa ART pula, adalah dengan mengenalkan sejak dini aktivitas apa yang saya kerjakan setiap hari. Anak-anak harus bisa memahami bahwa saya tidak bisa terus-menerus menggendong mereka, mewarnai bersama mereka atau menemani kapan pun mereka ingin bermain ke lapangan. 


Anak-anak mesti paham, saya juga punya pekerjaan yang harus dituntaskan. Tanpa kerja sama mereka, saya tidak bisa apa-apa.


Prosesnya tentu saja tidak semudah berbicara pada anak yang sudah berusia belasan. Anak pertama saya baru berusia 5 tahun dan anak kedua saya baru melewati ulang tahun yang ketiga. Tapi alhamdulillah, berkat upaya mengenalkan aktivitas mengurus rumah, ngeblog, menulis dan ngonten, mereka tak keberatan ketika saya bilang "Nak, nanti sore Bunda nulis 2 jam, ya." Anak-anak tak akan mengganggu kalau tidak benar-benar urgent.


Baca juga: 5 Kebiasaan Sederhana Bersama Anak dengan Segudang Manfaat


Mencapai titik ini tentu butuh bertahun-tahun. Walau terkadang masih suka rewel saat saya mengerjakan sesuatu, frekuensinya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengertian mereka. Seringnya, mereka sibuk main berdua dan saling mengingatkan bila salah satu mulai bertingkah, "Jangan ke sana dulu, Bunda lagi nulis. Nanti aja."


1. Tunjukkan Aktivitas Tersebut Di Hadapan Anak

Sesekali nulis di samping anak, packing orderan sambil mengawasi anak, menyelesaikan tugas rumah tangga di jam main anak. Tidak melulu harus menunggu anak tidur, baru bisa mengerjakan segalanya. Jadi anak melihat secara langsung apa yang dikerjakan ibu sehari-hari.


Terkadang sedikit merepotkan, karena anak yang masih berusia terlalu dini belum begitu cepat memahami suatu kondisi. Biasanya saya menyiasatinya dengan membiarkan anak betaktivitas di sekitar saya, tentunya dengan jarak yang cukup aman, sembari memberi cemilan kesukaan atau mainan kesukaannya. Kalau anaknya lebih kecil lagi, saya manfaatkan bouncer atau baby chair.  


Tapi jangan lupa, ajak anak berbicara atau berkomunikasi sesekali selama ibu mengerjakan hal lain (khusus pekerjaan yang dilakukan di rumah). Misal, "Lagi main apa itu, Nak?" atau "Bunda lagi masak ayam goreng, nanti kita makan sama-sama, ya."


2. Komunikasikan Tentang Aktivitas Tersebut

"Nak, Bunda punya cita-cita loh. Kamu mau kan Bunda sukses? Sama seperti kamu yang butuh belajar. Ibu juga butuh waktu untuk mengejar cita-cita Bunda."

"Tahu enggak kenapa Bunda harus beres-beres rumah tiap hari? Biar enggak ada semut yang gigit kamu waktu main."


Dari anak saya masih bayi, saya sudah sering bercerita segala macam kejadian dan perasaan. Jangan pernah sepelekan manfaat besar dari berkomunikasi ini, walau respon anak yang masih bayi hanya lirihan atau malah ditinggal tidur. Anak punya kecerdasan yang tidak dimengerti orang dewasa. Saya pun sering takjub dengan kecerdasan mereka. 


Ceritakan saja kepada anak dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang alasan ibu melakukan aktivitas lain selain mengasuh. Bisa saat mau tidur, saat santai atau ketika ibu akan dan sedang mengerjakan aktivitas tersebut. Misal harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan anak, beli susu atau cita-cita ibu yang ingin menjadi wanita karier. Sedangkan ibu rumah tangga yang kebetulan punya usaha, ceritakan juga tentang alasan membuka usaha, apa yang ingin dicapai dan penghasilannya untuk apa. 


Jangan lupa juga meminta izin, "Nak, nanti jam 11 Bunda mau masak, ya." Bagaimanapun, bagi anak, ibu tetap lah dunianya. Dengan meminta izin, bukan berarti menjadikan anak laksana bos, tapi menghargai perasaannya dan masih dianggap penting.


Terkesan kuno dan basi untuk membahas alasan-alasan tersebut. Namun ini benar-benar bekerja! Setidaknya bagi anak-anak saya.


3. Jangan Lupakan Quality Time

Wajib menyediakan waktu untuk fokus bersama anak agar mereka tak merasa terabaikan. Utamakan kualitas, bukan kuantitas. Sebenarnya inilah inti dari keikhlasan anak untuk menerima. Dengan adanya waktu berkualitas, kekhawatiran untuk terabaikan akan teredam. Meski saat ini ibu tampak sibuk, nanti juga ada waktunya untuk bersama mereka. Hanya dengan mereka.


Tak masalah quality time ini hanya 30 menit, 1 jam atau 2 jam, yang terpenting bukan berapa panjang waktu tersebut, tapi bagaimana waktu tersebut diisi bersama anak. Tentu dengan ber-quality time, orang tua dan anak, bisa saling menerima aktivitas masing-masing. 


Sejatinya, tidak hanya saat anak masih kecil saja, quality time ini butuh berlanjut hingga anak remaja atau dewasa sekali pun. Yang artinya disaat itu bukan hanya ibu saja yang punya kesibukan, namun anak pun sudah punya kesibukan sendiri. Anak saya yang masih 5 tahun dan 3 tahun saja sudah sering main di luar dengan teman-temannya sekarang, apalagi nanti kalau sudah semakin besar? 


Ketiga cara ini telah saya praktikkan sejak anak-anak masih bayi hingga sekarang. Karena dari awal saya punya tujuan setelah resign dari PNS dan memprioritasakan untuk produktif di rumah. Saya tidak peduli bila orang menganggap saya egois atau sok sibuk, selama kenyataannya saya dan anak-anak dapat menjalani ini dengan enjoy. 


Wajar bila sesekali anak protes. Ini pertanda bahwa ibu sudah melewati batas. Sudah waktunya dievaluasi agar sama-sama nyaman. Ibu dapat tetap beraktivitas dengan tenang dan anak-anak pun tak keberatan dengan itu. 


Ingat, evaluasi bila ada kendala atau saat kondisi sudah tak baik-baik saja.

Saya yakin, ibu punya feeling yang kuat soal ini. 



Apakah Orang Tua yang Sibuk Termasuk Menelantarkan Anak?

Orang tua sibuk
Foto ilustrasi: freepik.com

Big NO!

Selama kesibukan itu bisa diimbangi dengan perhatian dan quality time. Menurut saya, orang tua sibuk itu bukan hal aneh. Rasanya pun mustahil bila orang tua tidak punya kegiatan lain selain mengasuh anak. Sekali pun ibu rumah tangga yang sepanjang waktu mendedikasikan diri untuk keluarga. Sekurang-kurangnya dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti mandi, makan atau tidur.


Menelantarkan itu konsepnya sudah lebih dalam. Dari pengertiannya saja, menelantarkan adalah sengaja membuat anak tak terurus, tak terpelihara, tak terpenuhi kebutuhannya. Bukan berarti orang tua sibuk otomatis menelantarkan anak hanya karena fokusnya teralihkan sementara dari anak. Selama kebutuhan anak tercukupi, baik dari kebutuhan fisik maupun mentalnya, tak masalah orang tua punya kesibukan.


Baca juga: Saya Belajar dari Anak Tentang Hal Penting Ini


Anak itu cerdas. 

Bisa diajak kerja sama walau butuh waktu untuk membuat mereka paham dan mengerti.

Semoga bermanfaat.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)