Keinginan saya semasa muda sedikit anti mainstream. Mengidamkan
kehidupan masa depan sebagai ibu rumah tangga. Saya ingin membesarkan
anak-anak sendiri dan mengurus rumah tangga. Entah kenapa, membayangkannya
saja menentramkan.
Tentu saja saat itu hanya sebatas bayangan. Mana mungkin toga yang capek-capek
saya dapatkan dan harapan orang tua yang tertanam di baliknya, diabaikan.
Wanita karier tetaplah menjadi tujuan utama.
Namun, siapa sangka takdir mewujudkan impian itu bertahun-tahun setelahnya.
Padahal tidak pernah terbersit akan resign dari pekerjaan yang saya
emban, yaitu PNS di salah satu instansi pemerintah pusat. Siapa yang rela
meninggalkan status tersebut? Jangankan orang di sekeliling saya, saya pun
berat.
Takdir tetap memiliki kekuatan terdahsyat. Nyatanya sekarang, saya benar-benar menjadi ibu rumah tangga.
Sayangnya, respon yang saya terima rupanya lebih dari apa yang diduga. Ibu
rumah tangga masih lekat dengan stigma. Sejuta stigma, di antara hitungan jari
dukungan. Selalu disangkut pautkan dengan toga yang pernah melekat di kepala.
Mau di bawa ke mana ijazahnya?
Baca juga:
Ibu Rumah Tangga Kuliah Lagi, Buat Apa?
Ibu Bertoga, Mengasuh dengan Ilmu
Saya percaya, pendidikan bukan semata-mata memperoleh nilai, ijazah, lalu
syarat mendapat kerja. Tapi ada perubahan pola pikir di sepanjang proses
pendidikan tersebut. Kalau boleh berpendapat, justru inilah yang paling
penting. Sukses atau tidaknya pendidikan yang ditempuh, ditandai dengan
seberapa baik perubahan pola pikir peserta didiknya setelah selesai. Bukankah
begitu?
Pola pikir inilah yang akan dibawa para ibu sarjana dalam mencetak generasi
baru. Pengasuhan yang diterapkan jelas akan berbeda.
Tidak mudah menjadi orang tua. Bukan sekadar melahirkan, lalu membesarkan.
Namun juga tentang bagaimana menjamin kepribadian anak agar menjadi pribadi
yang unggul.
Mengasuh tidak bisa mendengar kata-kata orang dulu, atau berdasar terjangan
sekian banyak saran yang mungkin saja tidak cocok diterapkan untuk semua anak.
Pola pikir ibu yang sudah terbekali, tidak akan asal terima dengan ini-itu
soal pengasuhan. Perlu banyak pertimbangan sebelum menerapkan pola asuh
tertentu. Tidak peduli sebanyak apa orang tua yang menganggap benar satu pola
pengasuhan, bila ternyata setelah dibaca berbagai referensi pakar dan
menyesuaikan kondisi, kalau ternyata tidak sesuai, tidak masalah bila menjadi
berbeda.
Bukan hanya soal anak, menjaga diri ibu sendiri selama menjalani proses
pengasuhan pun tak akan luput dari perhatian. Ibu pasti sadar bahwa keadaannya
adalah penentu keberhasilan mengasuh anak-anak. Jadi, bagaimanapun caranya,
ibu akan berusaha mengontrol diri ketika ada masalah agar anak tak menerima
imbasnya. Sulit? Tentu saja. Sekali lagi saya percaya, ibu yang mengantongi
ijazah, akan mencari solusi terbaik. Menjalaninya dengan baik sampai
keadaan membaik.
Ada sepenggal perkataan seorang content creator muda yang saya sudah
lupa namanya, namun masih terasa dampak luar biasa dari pendapatnya.
"Untuk menjadi guru atau dosen saja, butuh gelar S1, S2, hingga S3. Itu
hanya mendidik anak beberapa jam saja dalam sehari.
Apa kabar dengan ibu rumah tangga, yang sepanjang waktu tak pernah
lelah membersamai, merawat, mengasuh dan juga mendidik anak-anaknya?
Bahkan gelar sampai S10 pun mungkin tak akan cukup! Begitu hebatnya
mereka."
Haruskan kita, para ibu rumah tangga, merasa insecure?
Ah, rasanya saya sudah melewati masa-masa meremehkan diri sendiri itu. Tidak
ada satu alasan pun yang pantas membuat kita insecure, ketika beberapa
pihak memandang betapa luar biasanya peran kita.
Ibu Bertoga, Tak akan Menyiakan Ijazahnya
Saya punya beberapa teman yang juga berhenti bekerja dan memilih menjadi ibu
rumah tangga. Berbeda alasannya, namun tetap pada akhirnya profesi kami semua
sama, yaitu ibu rumah tangga. Ada yang awalnya sama-sama PNS, ada juga yang
karyawan tetap BUMN dan perusahaan swasta ternama.
Setelah resign, nyaris semua dari ibu-ibu sarjana ini tak
menyia-nyiakan ilmu dan ijazah mereka. Setidaknya dari lingkungan yang saya
kenali. Ada yang sukses membuka usaha makanan, membuka usaha online,
menjadi content creator, freelance atau
blogger seperti saya. Meski tak dipungkiri juga, ada yang begitu fokus
dengan anak, sehingga begitu cerdas mereka. Yang jelas, meski di rumah, akan
ada kecenderungan untuk terus berlaku produktif.
Bagi saya, besar atau kecil hasil dari produktivitas ini hanya masalah
waktu.
Jangan dikira ibu rumah tangga memiliki waktu berlimpah, seperti yang selama
ini sering dibayangkan. Justru di sinilah kehebatannya, disamping padatnya
rutinitas rumah tangga dan mengasuh, masih menyempatkan diri untuk berkembang
dan belajar. Apalagi di era digital sekarang, kesempatam emas berlimpah bagi
ibu rumah tangga untuk mengembangkan diri.
Bukankan sering kita dengar cerita kesuksesan ibu rumah tangga, yang bahkan
dengan upayanya bisa membuka lapangan kerja baru dan menghidupi banyak
keluarga? Ambil saja salah satu contohnya Sambal Bu Rudy khas Surabaya. Beliau
juga memulai usahanya dari kehidupan ibu rumah tangga.
Ijazah itu tak pernah benar-benar terlupakan. Bukti serapan ilmu dan perubahan
pola pikir dalam proses mendapatkannya, tersalurkan melalui produktifitas,
meski hanya dari rumah. Jangan salah, sudah belajar kan dari pandemi? Dari
rumah pun bisa melakukan banyak hal. Tidak mesti ke mana-mana untuk menandakan
seseorang itu bekerja.
Ibu Bertoga, Tutup Celah Stigma
Rasanya basi membahas stigma apa saja yang diterima ibu rumah tangga, karena
sudah jelas dan sudah menjadi konsumsi lumrah. Saking lumrahnya, dianggap
biasa ketika mengatakan kalau ibu rumah tangga tak bisa apa-apa. Jujur, dari
sekian banyak kalimat kontra yang pernah saya terima setelah resign,
dianggap tidak bisa apa-apa adalah yang paling meningkatkan adrenalin.
Seketika semangat untuk menutup celah stigma tersebut mencuat. "Suatu saat
nanti, saya akan membalasnya dengan prestasi. Sekecil apa pun prestasinya.
Agar tak ada lagi stigma"
Tidak ada cara yang lebih tepat membantah stigma, selain dengan memperlihatkan
bahwa stigma tersebut keliru, yaitu dengan prestasi. Percuma berdebat, tak
akan mengena. Bila stigma tersebut menganggap ibu rumah tangga tidak bisa
apa-apa, membalasnya jelas dengan memperlihatkan produktifitas dan karya.
Kalau dibilang ibu rumah tangga tidak bisa berpenghasilan, cara mematahkannya
jelas dengan berupaya untuk meraih penghasilan meski dari rumah. Toh, itu
bukan hal yang mustahil 'kan?
Saya yakin, ibu-ibu rumah tangga yang pernah menyicip toga, bahkan mungkin
bukan sekali, ada yang berkali-kali, tidak perlu termakan stigma. Hanya
perlu buktikan bahwa kita berbeda.
Walau di rumah saja membersamai anak-anak, serta mengurus keluarga, bukan
berarti langkah kita berhenti di situ, mati di situ. Kesuksesan banyak
caranya, banyak jalannya dan banyak wujudnya.
***
Baca juga:
Ibu Kehilangan Jati Diri, Bisakah Diatasi?
Saya ibu rumah tangga yang sudah dua kali mengenakan toga, tidak akan pernah
berhenti menyia-nyiakan apa yang saya punya. Saya bangga dengan status saya
yang sekarang dan akan selalu merasa hebat bisa sebebas ini mengembangkan diri
dengan terus berada di samping anak-anak.
Sungguh, saya bangga. Tak peduli lagi apa yang orang kata.
Mungkin mau lanjut bertoga yang ketiga kalinya yuk .... hehe ngajak biar rame. Selamat menjadi ibu bertoga nan keren.
ReplyDeleteRencananya sih gitu hehe. Tapi nunggu anak-anak agak gedean. Semoga terwujud aaaamiiiin 😊
Delete