Memetik Pesan dari Warisan Budaya, Ini Traveling Cara Aku!

2 comments

Di lantai pertama, dengan bagian-bagian ruangan luas yang secara kasat mata memang tak bersekat, nyatanya tetap tersirat batas. Aturan tidak berfisik, bukan berarti dapat semaunya diabaikan dan disangsikan. Aturan dibuat bukan pula untuk mengotak-ngotakan dan memancing perbedaan. Semuanya demi berjalan selaras dan seimbang.

- "Pesan Tersembunyi Di Istana Bagonjong" dalam buku Melanglang Jagat Buana


Travelling cara aku

Dilihat sepintas, lantai pertama Istana Pagaruyung hanya seperti satu ruangan besar los tanpa sekat, layaknya rumah adat Minang, dengan singgasana dengan anjungan yang ditinggikan sejengkal dari lantai. Tapi ternyata, tetap ada pembagian fungsi di sana, walau wujud batasnya tak ada.


Masih tersisa dalam ingatan, diperkuat dengan dokumentasi yang kembali saya putar. Singgasana Bundo Kanduang sejajar dengan pintu utama. Mirip pelaminan pengantin, dengan tirai-tirainya yang menggantung cantik. Sebelah kanan, terdapat Anjuang Rajo Babanding dengan tiga tingkatan yang disebut langgam. Langgam pertama berfungsi sebagai tempat sidang, langgam kedua sebagai tempat beristirahat raja dan permaisuri, serta langgam ketiga sebagai kamar tidurnya. Kemudian di sebelah kiri, dinamakan Anjuang Perak, yang berfungsi untuk rapat Bundo Kanduang mengenai urusan rumah tangga dan kewanitaan. Benar-benar tak bersekat walau selapis, kecuali tempat beristirahat dan kamar tidur. Padahal, ada fungsi ruang tersendiri untuk masing-masing kepentingan.


Begitu taatnya pendahulu kita pada aturan. 

Aktivitas kerajaan jauh dari campur aduk dan kesemerawutan, di tengah antrian panjang berbagai kepentingan.


Baca juga: Bersama Teman Hidup Traveloka, Saujana Danau Maninjau Memanggil Kembali


Tidak menyangka, kunjungan wisata saya dan keluarga 5 tahun lalu ke Istana Pagaruyung, menjadi traveling yang paling berkesan. Membuahkan pelajaran yang bisa dibilang terlambat dipetik, lalu menuangkannya dalam antologi travel notes yang bisa dibaca lebih banyak lagi pasang mata. Jalan-jalan keluarga yang membuat saya ketagihan mengulik budaya dan berkarya dari sana. Padahal, niat awalnya sekadar memperkenalkan salah satu landmark budaya Minang di Sumatera Barat selain Jam Gadang kepada suami. 


Pengalaman travelling ke Istana Pagaruyung
Pengalaman traveling ke Istana Pagaruyung jadi tulisan

Ada saja pesan tersembunyi yang dapat dipetik dari perjalanan wisata budaya. Dan saya ingin memetik lebih banyak lagi.


Dulu, kesenangan menjadi satu-satunya tujuan saya saat traveling. Kini, berkat langkah kaki di Istana Pagaruyung, dan bisa mengabadikan budaya lewat tulisan dari sana, traveling cara saya bertambah dengan eksplorasi budaya dan kearifan lokal, serta pertanyaan "pesan baik apa yang bisa saya bagikan?"



Pesan untuk Pewaris

Pesan untuk pewaris

Himbauan melestarikan budaya mungkin sudah kita dengar berulang kali. Bahkan saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, pentingnya menjaga jati diri bangsa yang satu ini pun acap diselipkan dalam beberapa mata pelajaran. Sampai saya hafal bahwa budaya adalah warisan para leluhur yang wajib kita wariskan juga ke anak-cucu karena merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman dan kebudayaan.


Jujur, hanya mengetahui sampai di sana, walau sudah hafal luar kepala, belum cukup menyadarkan diri saya yang bebal. Terutama ketika saya masih menetap di kampung halaman, budaya itu malah menjadi keseharian yang tidak ada spesialnya sama sekali. Jadi, menurut saya, budaya kita aman-aman saja kok. Kenapa sih dikatakan sudah luntur oleh modernisasi?


Tapi, setelah saya merantau ke ibukota, budaya itu terasa kian mahal. Entah kenapa, hal biasa itu, kini seperti bongkahan berlian yang selalu berhasil memikat. Setidaknya bagi saya. Keren saja kelihatannya. Seolah menjadi bintang di antara perlombaan budaya luar yang kian menjamur di negara ini. 


Budaya kita memang istimewa. Tidak akan ada yang memilikinya selain kita. Ah, membayangkan beberapa kejadian negara tetangga yang mengklaim warisan budaya kita, membuat saya semakin gerah untuk meneriakkan bahwa itu milik Indonesia.


Nasi tumpeng

Pernah enggak sih teman-teman menangkap sebuah pesan kehidupan, entah secara sadar atau tidak, ketika menikmati budaya atau kearifan lokal? Misal dari nasi tumpeng yang sering hadir di acara-acara perayaan atau syukuran. Tumpeng ini bagian budaya kita, lo. Kenapa sih bentuknya seperti gunung? Ternyata, ada filosofinya, yaitu harapan agar kehidupan kita selalu naik dan mencapai kesejahteraan yang tinggi.


Motif batik parang

Itu baru makanan. Contoh simpel lainnya saat nikahan anak bungsu Pak Jokowi, Kaesang dan Erina beberapa waktu lalu. Motif batik parang dilarang digunakan oleh para tamu karena salah satu motif batik tertua di Indonesia yang identik dengan jejeran huruf S ini hanya diperbolehkan dikenakan oleh para raja atau petinggi kerajaan. Bukan untuk mengedepankan tingkatan kasta, namun pesannya adalah penghormatan kepada para pemimpin. Bila dihubungkan dengan realita sekarang yang menjadikan alasan demokrasi untuk bebas mengkritik pemimpin tanpa etika, belajarlah dari pendahulu kita yang sangat menghormati pemimpinnya.


Ada puluhan ribu lagi warisan budaya yang mengandung sejuta pesan untuk kita, penerus para leluhur. Filosofi hidup, moral dan etika, hingga panggilan untuk menjaga kelestarian alam yang selalu erat dengan pintu-pintu budaya. Seakan alam yang asri adalah mantel pelindung eksistensi mereka.


Saya sering teringat mimpi untuk menjajal budaya lokal Indonesia timur yang masih jauh dari cengkraman kemajuan peradaban yang pesat. Kealamian menjaga jati diri masyarakatnya. Saya bisa membayangkan berkarung petikan pesan akan meledak, saking banyaknya. 

Segera, saya akan ke sana.  



Kepekaan yang Siap Meneropong

Bersama Kirana Kejora
Saya bersama Kirana Kejora
"Saya orang yang tak mau rugi."

Kalimat sakti dari salah seorang guru menulis saya, Buk e Kirana Kejora, adalah kalimat sakti yang menjadikan semangat saya meningkat berkali lipat. Beliau bercerita bahwa setiap perjalanan yang dilalui adalah sumber cerita, lengkap dengan pesan-pesan yang siap disampaikan ke raga yang lain. 


"Tidak ada takdir yang kebetulan. Ketika kita menjejaki sebuah budaya atau berbaur dan menikmati kearifan lokal, bisa jadi alam memilih kita sebagai penyampai pesan, pendokumentasi atau penjaga mereka agar tak semakin tenggelam," lanjut beliau.

Jadi, ketika saat ini saya menganggap budaya itu semakin indah dan berharga, saya punya kesempatan besar untuk menjadi salah satu pewaris yang akan mewariskannya. Saya pasti tidak akan mampu mengajak semua orang untuk menapaki setiap jejak saya di wisata budaya, menyicipi hasil alam masyarakat aslinya, serta menelan dengan antusias hidangan tradisionalnya. Yang saya bisa lakukan adalah menjadi lebih peka untuk meneropong setiap senti wisata budaya agar bisa menerbangkannya lebih tinggi, seluas yang saya bisa.


Ini traveling cara aku.

Melirik objek wisata yang menyimpan warisan budaya. 


Kepekaan.

Biasanya, foto wajah saya masih mendominasi setiap rekaman dan jepretan kamera. Keindahan wisata yang saya kunjungi hanya sebagai latar belakang pengisi pigura. Tapi, sejak aktif menulis budaya dalam cerita bersama komunitas Elang Nuswantara, dominasi itu terpecah pada bagian budaya mana yang akan saya dokumentasikan. Untuk merasa, menangkap dan menjerat setiap sejarah, filosofi atau apapun yang menarik dari sana.


Tentu melatih kepekaan ini tidak sebentar. Bisa jadi, butuh puluhan kali latihan. Mengamati sekeliling, menyapu setiap sudut objek wisatanya, jajan kuliner lokalnya, berbincang dengan masyarakat lokalnya, ditambah dengan mendokumentasikannya dengan detail, saya yakin, akan ada banyak pelajaran yang mengundang kekaguman. Tidak mesti langsung saya dapatkan detik itu juga, pasti ada masanya.


Meneropong.

Tidak cukup hanya melihat, menerompong butuh usaha untuk melihat lebih detail dan dalam. Sama halnya dengan fungsi teropong, untuk sebuah kejelasan, bukan? Beruntungnya, memotret bukan lagi hal sulit di zaman sekarang. Mencari banyak sumber referensi juga tinggal mengetik kata kunci. Sedikit saja kemudahan ini dimanfaatkan, meneropong setiap senti budaya, tak sesulit yang dibayangkan.


Seperti kunjungan saya ke Istana Pagaruyung, Sampai sekarang terbayang motif ukiran di seluruh dinding kayunya. Kanapa saat itu saya tidak fokus memotonya? Layaknya filosofi nasi tumpeng atau batik parang tadi, pasti ada maksud dari pilihan ukiran cantik tersebut. Inilah meneropong yang saya maksud. Next time, bila ada kesempatan berwisata budaya lagi, saya mesti meneropong, bukan sekadar melihat. 


Kalau bisa traveling dan healing sambil menikmati budaya, kenapa tidak? 

Saya bangga ketika bisa mewujudkannya.



Impian Menapaki Wae Rebo, Surga Budaya dari Timur Indonesia


Sejak pertama kali ke timur Indonesia, saya dibuat jatuh cinta. Melunturkan bayangan tentang "ketertinggalan" yang menakutkan, saya menemukan ketentraman di sana. Langit biru yang sepertinya tidak butuh program Langit Biru pemerintah, pantai indah dengan ujungnya yang menyentuh kaki langit. Kebetulan masih melihat itu di kotanya, kalau masuk lebih dalam, entah surga apa lagi yang akan saya jumpai.


Rasanya enggan pulang. Tapi tetap harus pulang.


Salah satu destinasi yang saya impikan bisa berlarian di sana adalah desa Wae Rebo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hamparan rumput hijau dengan tujuh rumah beratap luar biasa besar, dan ajaibnya, masih terpelihara, tak berubah, sampai detik ini. Dinyatakan UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berhasil menyisihkan puluhan negara lainnya.


Terlepas dari upaya apa yang melindungi, mungkin dari warga lokal, bantuan pemerintah daerah, kesadaran wisatawan untuk tidak berbuat yang "aneh-aneh" saat ke sana, atau memang mantel alam yang selalu saja ada cara untuk menjaga apa yang dia punya, saya semakin berharap berdiri membentangkan tangan selebar mungkin di sana, memecah angin dinginnya.


Banyak sekali alasan kenapa saya memilih Wae Rebo. Namun, saya lebih menyederhanakan kecantikan surga Wae Rebo ini dalam beberapa poin. Hati-hati mupeng, ya. 


🌸 Salah Satu Desa Tertinggi

Wae Rebo desa di ketinggian

Traveling untuk healing, Wae Rebo juaranya. Surga, bagi saya ini surga dunia. Disebut sebagai desa di atas awan karena memang termasuk desa tertinggi di Indonesia. Terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut menjadikan Wae Rebo diselimuti kabut setiap hari, lalu perlahan mulai memudar seiring naiknya matahari. Sehingga saat siang, tak terpungkiri lagi keindahan alam yang bisa disaksikan sambil bersantai di rerumputan datar seperti altar. 


Dari tempat tinggal saya di rusunawa lantai 6 saja, pemandangan kota yang bisa dilihat sudah bikin betah kalau lagi cerah. Apalagi di ketinggian Wae Rebo dengan lingkaran eksotis alam yang mungkin saja masih banyak yang belum terjamah. Ketenangan mana lagi yang bisa dipungkiri di Wae Rebo?


Menuju ke Wae Rebo pun perlu tracking membelah rimbunan hutan selama lebih kurang 3 jam. Aktivitas yang sudah tak pernah lagi saya lakukan berpuluh tahun, terakhir saat SMA. Jadi rindu. Rindukan  pesan alam bahwa keasriannya terlalu indah untuk di rusak oleh tangan-tangan nakal yang kadang tak berperasaan. Kangen sekali bisa langsung meminum aliran air sungai yang segar tanpa perlu cemas mencari kompor untuk mendidihkannya. Ya, ini juga salah satu yang membuat saya sangat bersemangat untuk mendaki puncak Wae Rebo.


🌸 Bertemu Masyarakat Asli Pemilik Budaya

Upacara adat Penti
Upacara Adat Penti

Bukan hanya keindahan alamnya saja, di desa Wae Rebo, budaya asli seperti menanti. Budaya yang masih dijunjung tinggi, dipakai, dilakukan dan dijalankan oleh masyarakatnya. Bukan lagi membaca cerita orang, atau mengulik sejarah dari buku dan internet, saya bisa bertemu langsung dengan Sang Pemilik budaya dan menyaksikan di depan mata tatanan hidup mereka.


Pertama kali datang, wisatawan akan mengikuti upacara penyambutan dan meminta izin ke kepala suku. Sebagai bentuk penerimaan untuk bergabung bersama warga Wae Rebo. Kalau beruntung, wisatawan dapat merasakan euforia upacara perayaan spesial yang dinamakan Upacara Adat Penti. Sekitar bulan November, dan tentu saja saya akan menyamakan jadwal keberangkatan dengan upacara ini. Dilakukan sebagai bentuk rasa syukur akan hasil panen yang melimpah, akan menampilkan prosesi upacara disertai penduduk setempat yang memakai pakaian adat, lengkap dengan aksesorisnya. 


Satu lagi. Kabarnya, nenek moyang penghuni Wae Rebo berasal dari Minangkabau. Kampung halaman saya! Semakin penasaran ingin bertanya langsung pada tokoh adat di sana.


🌸 Tujuh Rumah Adat Unik 

Mbaru Niang

Inilah salah satu pemikat Wae Rebo yang paling ingin saya lihat langsung. Tujuh rumah adat dengan atap lontar dan ijuk berbentuk kerucut setinggi 15 meter, yang bagian bawahnya nyaris menyentuh tanah. Hanya sedikit saja bagian dinding melingkar yang bisa terlihat dari kejauhan. Tapi ternyata, rumah ini bertingkat lima! Dengan fungsi yang berbeda untuk masing-masing lantainya. 


Rumah Mbaru Niang namanya. Jumlahnya tujuh untuk melambangkan tujuh pegunungan di sekeliling Wae Rebo yang dianggap sebagai pelindung desa. Sudah ditempati secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Tapi, kok bisa ya jumlahnya selalu tujuh? Padahal normalnya, bukankah populasi terus bertambah? Bikin penasaran untuk menemukan jawabannya di sana. Di sana saja, agar bisa langsung mendengar dari penduduk yang jelas-jelas tinggal di sana. 


Tahu apa yang lebih menarik lagi? Rumah sebesar dan setinggi ini dibangun tanpa paku! Mengandalkan bambu dan kayu worok (kayu besar dan kuat dari pegunungan), lalu saling diikat erat dengan tali rotan. Langsung deretan pertanyaan berkecamuk dalam kepala saya. Berapa lama membangunnya, bagaimana perawatannya, serta segala filosofi yang pasti akan ada di setiap jengkal bangunan  ini.


Berhubung penduduk Wae Rebo welcome sekali, wisatawan diperbolehkan menginap di sini untuk pengalaman yang lebih sempurna. Mencoba beristirahat di atas lantai kayunya, bersembunyi dalam selimut di tengah udara dinginnya, serta disambut kabut pagi dan menantinya turun perlahan, sembari ngobrol dengan teman-teman asli sana, jelas bisa didapat bila memilih bermalam di Wae Rebo. 


🌸 Menyicipi Hasil Pangan Lokal

Kopi khas

Sajian khas Wae Rebo yang pertama ingin saya coba adalah kopi lokalnya. Kata para wisatawan yang sudah mencoba, kopi ini sangat enak dan hanya ada di Wae Rebo. Sebagai orang yang rutin minum kopi, karena butuh kafeinnya untuk mendongkrak kelopak mata, saya jadi sangat tertarik dengan dunia perkopian dan ingin juga menyicipi kenikmatan itu.

Selanjutnya, ada kari ayam unik tanpa kuah santan, melainkan dengan kuah yang dibumbui lebih banyak kemiri. Ini karena kelapa sangat langka di Wae Rebo, makanya dicari alternatif lain. Ada juga sayur labu yang langsung di petik dari kebun, lalu di masak oleh tangan Mama-Mama di sini (panggilan untuk para ibu), nasi jagung serta jeruknya yang manis. Wah, saya yang suka makan ini pasti sangat bersyukur saat menikmati hidangan yang mungkin tidak akan pernah saya jumpai di Jakarta. 


🌸 Bawa Pulang Kain Tenun Wae Rebo

Tenun Wae Rebo

Bukan hanya untuk pelengkap foto-foto cantik di Wae Rebo, tenun khas yang prosesnya bisa dilihat ketika berkunjung ini, sudah menjadi incaran oleh-oleh pertama yang akan saya beli. Pokoknya saya harus menyediakan dana untuk membeli ini. Mungkin nanti akan saya pakai dengan bangga ke kondangan, acara launching buku budaya bersama komunitas Elang Nuswatara, atau acara resmi lainnya. Motif Manggarai berwarna mencolok seperti bunga-bunga cerah, melihat foto-fotonya saja sudah bikin saya jatuh hati. Buah kemahiran dan kreativitas perempuan Wae Rebo.


Perempuan yang menenun di Wae Rebo ini sudah belajar sejak masih remaja, lo. Jadi wajar bila salah satu kebanggaan warga Wae Rebo selain kopi adalah kain tenunnya. 


Ada tekad kuat untuk mengangkat Wae Rebo dalam karya tulis setelah terwujudnya perjalanan ini. Banyak sekali bayangan topik menarik untuk saya tumpahkan dalam kata. Walau saya belum menjadi penulis terkenal dengan buku-buku bestseller, tapi niat baik yang diiringi langkah kecil, tak akan menjadi sebuah kesia-siaan.


Menjelajahi Wae Rebo, menikmati alamnya, mengambil pelajaran dari pesan-pesan yang akan tersampaikan dari keterjagaan budayanya, akan saya sebarkan seluas-luasnya agar desa di atas awan ini terabadikan dan tetap utuh menjadi kebangggan Indonesia. 


Kalau boleh bermimpi lebih besar, buku yang saya tulis tentang Wae Rebo itu akan saya bawa kembali ke sana sebagai hadiah untuk teman-teman Wae Rebo. Menjadi salah satu koleksi perpustakaan mereka. 

Semoga.



Akomodasi Aman Bareng Traveloka

Akomodasi bareng Traveloka

Dari Jakarta, perjalanan ke Wae Rebo tidak singkat. Tapi berkat pengalaman teman-teman yang lebih dulu ke Wae Rebo, walau bikin iri, saya bersyukur bisa banyak belajar dari pengalaman mereka. Jadi tidak meraba-raba harus ke mana dulu dan harus naik apa saja agar bisa sampai ke sana. 

  1. Berangkat dari Jakarta ke Labuan Bajo sehari sebelum menuju ke Wae Rebo. Karena tracking ke desa Wae Rebo tidak bisa bertemu gelap, maka pilihannya hanya dua, yaitu menginap di Labuan Bajo dulu, atau di desa terdekat dari Wae Rebo.
  2. Perlu menempuh perjalanan dengan menyewa kendaraan dari Labuan Bajo ke desa Denge, desa terakhir yang bisa diakses kendaraan bermotor. 
  3. Selanjutnya tracking menuju Wae Rebo selama lebih kurang 3 jam berjalan kaki.


Kira-kira, inilah penjelasan singkat yang akan dilalui menuju ke Wae Rebo. Jelas yang saya butuhkan adalah tiket pesawat Jakarta-Labuan Bajo pulang-pergi, hotel menginap di Labuan Bajo, menyewa kendaraan dan pastinya guide yang akan memandu. Beruntungnya, di Traveloka, paket komplit akomodasi ini ada, jadi lebih praktis. Maklum, sudah langganan Traveloka sejak mulai merantau ke Jakarta, sekitar tahun 2013. Jadi kalau ada rencana bepergian, ingatnya langsung Traveloka.


Paket Tour 2H1M Ke Wae Rebo di Traveloka Xperience

Traveloka Xperience

Awalnya saya tidak kepikiran untuk mengambil paket tour. Inginnya mandiri saja dengan bermodalkan tanya-tanya atau searching, dan sok-sokan mau backpacker-an. Tak sengaja melihat ada paket tour Wae Rebo di Traveloka saat mencari tiket pesawat, sepertinya lebih praktis bila saya pakai jasa ini saja. Toh kalau backpaker bakal sewa kendaraan juga, membayar untuk bermalam di Mbaru Niang juga dan mencari guide sendiri. Kalau ada yang menggabungkannya dalam satu paket, malah memudahkan, 'kan?


Karena rencana terdekat ke Wae Rebo hanya berdua dengan suami, membawa anak-anak masih terlalu riskan, jadi saya memilih privat tour dua orang, yaitu untuk saya dan suami. Di sini sudah termasuk penjemputan dari Labuan Bajo, kendaraan plus pengemudi, guide, menginap di Mbaru Niang satu malam, hingga di antar kembali keesokan harinya ke Labuan Bajo.


Malah ada bonusnya juga, yaitu mengunjungi Spider Web Rice, yaitu persawahan yang desainnya unik, yaitu seperti jaring laba-laba. Bukan sembarang, pembagian tanah adat ini diawali dengan upcara Tente Teno. Ketua adat menancapkan kayu di pusat lahan lalu menarik garis lurus. Kemudian dibagi berdasarkan kedudukan dan jumlah anggota keluarga. Wah, lagi-lagi ada wujud kebudayaan yang bisa disaksikan. 


Detail paket tour
Detail paket tour dari Traveloka

Selain itu, keterangan di paket tour Traveloka ini sangat detail. Jadi saya mendapat gambaran jelas mengenai akomodasi apa saja yang akan saya dapatkan, hingga jadwal hari pertama dan kedua selama di sana. Lengkap dengan durasi waktunya.


Tiket Pesawat dan Hotel Traveloka

Pesan pesawat dan hotel

Berhubung jadwal penjemputan di Labuan Bajo sangat pagi, yaitu pukul 06.30, saya butuh penerbangan paling tidak sehari sebelumnya. Jadi akan ada dua produk Traveloka yang saya butuhkan untuk ini, yaitu tiket pesawat dan hotel. Dari pada beli terpisah, mending pilih paket keduanya sekaligus, yaitu pesawat+penginapan. Lagi-lagi paket yang menguntungkan ini ada di Traveloka.


Saya memesan tiket pesawat pulang-pergi untuk 2 orang (saya dan suami), ditambah dengan satu malam penginapan. Tinggal pilih saja menu Pesawat + Hotel dan isi form keberangkatan pesawat serta kembalinya, dan hotel untuk semalam saja. Eh, ternyata bisa. Kalau nanti sepulang dari Wae Rebo mau menginap lagi, saya pesan terpisah saja. Soalnya rugi kalau melewatkan traveling di Labuan Bajo-nya. Ada Pulau Padar yang menanti untuk berfoto cantik di sana, serta bertamu ke habitat asli komodo di Taman Nasional Komodo atau pulau-pulau lainnya. Mungkin akan saya tambah dua hari lagi, biar maksimal, sekembalinya dari Wae Rebo.


Oiya, pesan tiket pesawat sekaligus hotelnya di Traveloka banyak potongan, lo. Lumayan, bisa dipangkas hingga ratusan ribu. Hotel dan maskapainya pun bisa dipilih sesuai keinginan. Jadi paketnya bukan ditentukan Traveloka, tapi tetap kita yang menentukan. Kalau saya sih tetap memilih yang diskonnya paling oke, hehe. 


Dilengkapi Asuransi Perjalanan dari Traveloka

Asuransi Perjalanan dari Traveloka

Serius, ini penting. Saya sadar bahwa perjalanan ke Wae Rebo cukup menantang untuk ibu-ibu yang jarang olahraga dan gemar makan seperti saya, serta berhubungan dengan alam yang kondisinya bisa saja berubah dalam sekejap. Amit-amit kalau sampai cedera atau mengalami hal yang tidak diinginkan, maka menyertakan asuransi perjalanan adalah pilihan yang bijak.


Harganya tak lebih mahal dari secangkir kopi kelas atas. Terakhir saya lihat di Traveloka, untuk kebutuhan rencana perjalanan domestik saya selama 6 hari, asuransi dapat dimiliki mulai harga 37 ribuan saja. Untuk melihat pilihan rekomendasi asuransi, bisa langsung klik menu Asuransi, lalu Asuransi Perjalanan. Tinggal isi saja form yang tersedia. Karena saya masih jarang jalan-jalan, jadi saya lebih memilih asuransi untuk single trip khusus ke Wae Rebo ini saja. 


Apa saja sih yang akan di-cover

  • Jika penerbangan terlambat, bisa mendapatkan kompensasi. 
  • Jika bagasi terlambat datang atau terkirim ke tempat lain karena kesalahan maskapai, bisa mendapat penggantian biaya untuk membeli pakaian dan perlengkapan penting lainnya yang bersifat darurat. Lumayan kan buat jaga-jaga. Jangan sampai budget beli oleh-oleh jadi terpaksa dialokasikan untuk beli baju karena koper nyasar. 
  • Jika harus membatalkan perjalanan atau pesanan akomodasi karena alasan tertentu, akan mendapatkan penggantian untuk biaya yang tidak bisa di-refund.
  • Jika meninggal dunia atau mengalami cacat akibat kecelakaan yang terjadi selama perjalanan, bisa mendapatkan kompensasi sesuai keseriusan kondisi.
  • Jika mengalami kecelakaan atau sakit selama perjalanan, bisa mendapatkan penggantian biaya pengobatan. Saya yang tak setangguh para pendaki gunung, sangat penting mendapatkan perlindungan ini. 
  • Jika bagasi hilang atau rusak, bisa mendapatkan kompensasi per barang yang hilang. Misal tenun Wae Rebo sampai hilang, setidaknya masih ada yang meringankan kesedihannya. 
  • Manfaat juga termasuk evakuasi medis darurat, repatriasi, dan keterlambatan penerbangan lanjutan.


Lengkap sekali, kan? Bila dibandingkan dengan biaya yang saya tambahkan untuk traveling, sangat kecil untuk manfaat sebesar ini. Walau masih asing di negara kita, asuransi perjalanan sudah ada yang diwajibkan di beberapa negara, lo. Saking pentingnya dan menjadikan perjalanan lebih aman dari kondisi yang mengancam finansial. 


Seperti membayar hutang kebebasan traveling kita yang tersita selama pandemi, yuk lah liburan lagi bareng Traveloka, kita mulai ramaikan kembali dunia pariwisata Indonesia yang kaya akan destinasi budaya ini. Kita happy, warga lokal juga pasti akan senang ketika wisatawan menghidupkan daerah mereka. Rencanakan liburan di Traveloka saja, karena pesan akomodasi akan lebih cepat, praktis dan harganya pasti, alias sudah tidak ada tambahan apa-apa lagi dari harga yang tertera.


Seperti rencana impian traveling saya ke Wae Rebo, seolah mengerti, Traveloka menyediakan paket akomodasi yang sangat saya butuhkan. 



Suatu Saat, Kita akan Jadi Leluhur

Kita akan jadi leluhur

Terbatasnya usia manusia di dunia, ratusan tahun lagi, kita akan menduduki bangku para leluhur saat ini. Betul? Mungkin saya terlalu sering mengkhayal atau terlalu filosofis, ketika apa yang saya lakukan untuk menjaga warisan budaya para pendahulu, ada keberhasilan yang tidak mereka rasakan. Keberhasilan atas perjuangan mereka untuk mencipta dan menjaga banyak pesan baik dari karya, kebiasaan, atau tradisi yang sukses bertahan hingga saat ini.


Saya tidak mau egois. Ketika saya masih bisa menikmati pesan-pesan baik itu, ada generasi baru yang juga berhak mendapatkannya.

Tidak perlu jauh-jauh, saya membayangkan anak-anak saya yang sudah diikutsertkan dalam traveling budaya bundanya sudah melahirkan pertanyaan baru. Misal yang masih hangat kemarin ini, anak ertama saya bertanya tentang rumah adat dari kampung suami, yaitu Joglo. Pernah juga tentang Rumah Gadang dari kampung saya, yang akhirnya berbuntut pada ketangguhan bangunan ini akan gempa. Mana tahu, suatu saat tertarik dengan konstruksi, mereka bisa mengingat rumah tradisional yang pernah saya jelaskan.


Saya pernah menjadi penerima warisan budaya, kemudian akan menjadi pewaris.

Kelak generasi anak-anak saya juga akan menerima warisan budaya, kemudian melanjutkannya ke generasi anak-anak mereka.

Begitu seterusnya. Hingga saya akan menjadi leluhur untuk generasi yang entah ke berapa.


Cara seru mewariskannya, ya dengan traveling ke destinasi wisata budaya. Siapa sih yang enggak suka jalan-jalan? Apalagi kalau tempatnya memanjakan mata.


Untungnya, kini banyak sekali cagar budaya, kuliner tradisional, tradisi atau kearifan lokal lainnya yang dikelola apik sebagai destinasi wisata.


Seakan sadar akan potensinya, pemerintah gencar sekali mengeksplor banyak destinasi wisata yang sebelumnya tersembunyi. Salah satunya Wae Rebo, yang semakin banjir peminat berkat transformasi Labuan Bajo sejak menjadi salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas. 


Bila belum pernah, boleh lah mengagendakan diri atau keluarga untuk traveling ke destinasi wisata budaya. Biasanya, destinasi wisata budaya ini akan bergandengan dengan keasrian alam, makanan tradisional yang enak, hingga kerajinan warga lokal yang belum tentu ada di daerah lain. Saking beragamnya budaya kita, sehingga beda daerah, beda pula suguhannya.


Baca juga: Traveloka PayLater, Tak Perlu Korbankan Prioritas


Memang benar kalau menjadi diri sendiri itu lebih asik. Seperti pilihan traveling saya ke destinasi yang bernilai budaya ini, untuk mengumpulkan inspirasi dengan meneropong dan melatih kepekaan, serta memetik pesan-pesan para leluhur yang bertaburan. Antusiasnya beda!

Jadi, jangan pernah ragu untuk selalu mengikuti suara hati kamu dan jalani hidup dengan caramu, #LifeYourWay.


Makin tidak sabar ke Wae Rebo dan booking akomodasinya di Traveloka. Biar cepat berangkat!

2 comments

  1. Dulu pas ke istana Pagaruyung, aku juga kagum dengan banyaaaaaak filosofi yang ada di tempat itu. Juga makna dari bangunan2 penyimpan padinya dll.

    Hebat Yaa para nenek moyang dulu , membangun sesuatu pun ga asal bangun. Tapi diperhatikan makna dan arti bentuk.

    Wae rebo juga masuk dalam list domestik ku mba. Pengen banget kesana, tapi memang ga mungkin dengan anak2, secara hrs jalan kaki 3 jam. Ga kebayang bagian dalamnya yg ternyata ada 5 tingkat. Penasaran juga dengan cara mereka tinggal dari generasi ke generasi.

    Trvlk selalu jadi andalanku dari dulu. Tiap traveling yg aku cek pertama kali pasti trvlk. Skr ini aku juga sedang mantengin OTA nya demi dapat tiket ke India utk akhir THN ini mba. Planning ku ke India Desember sampe Jan THN depan , pengen rasain tahun baruan di negeri Syah Rukh Khan 🤣

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah sudah pernah ke Istana Pagaruyung juga ya Mbak 😍

      Hooh ke Wae Rebo ada trackingnya cukup jauh. Jadi lebih aman kalau nggak bawa anak-anak sih. Semoga kita bisa segera menjejaki tanah di sana ya Mbaaaaak

      Aaaakkk ketemu papa Syah Rukh Khan. Idola aku banget ituuuuh
      Semoga bisa terwujud akhir tahun ini ke India amiiiin. Pantengin Travelokanya mesti ekstra nih 😉

      Delete

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)