Sekarang Baru Terasa, Ini Enaknya Punya Anak dengan Jarak Usia yang Dekat

2 comments

Sering saya mendengar wejangan dari dokter anak, bidan, atau sesama orang tua, untuk setidaknya memberi jarak 5 tahun di setiap kelahiran anak. Agak sedih sih sebenarnya, maksud yang sebenarnya baik, dikalahkan oleh timing yang kurang tepat. Soalnya itu disampaikan setelah anak kedua saya tampak nyata di depan mereka. Kadang merasa disalahkan dan dianggap memilih jalan keliru. Padahal, saya pun sebenarnya punya pertimbangan sendiri kenapa ingin hamil lagi saat usia anak pertama baru 2 tahun.


Punya anak dengan jarak usia yang dekat

Sedikit berbagi saja, sebagai ibu, saya tahu betul bahwa mengasuh batita dalam satu waktu, tentu berat. Apalagi tidak ada pengasuh atau keluarga yang membantu. Namun, di balik risiko tersebut, saya punya alasan.


  • Tidak ingin hamil di atas usia 30 tahun. Dari banyak artikel yang saya baca, hamil di atas usia 30 tahun, keaadaannya akan berbeda ketika hamil di usia 20-an. Bukan berarti tidak boleh hamil, ya. Toh, banyak kok ibu-ibu yang hamil dan melahirkan dengan aman tanpa kendala meski usianya sudah 30-an, atau bahkan 40-an. Tapi kembali lagi, ini pilihan saya. Hanya ingin menghindari risiko saja, sekecil apa pun itu. Takutan dan overthinking mah saya orangnya.
  • Biar sekalian capek. Ini bukan hanya kalimat basa-basi. Masih terbiasa dengan segala aktivitas merawat bayi, dengan jam begadangnya, dengan kondisinya, menjadikan saya tidak perlu menyesuaikan diri lagi ketika anak kedua lahir. Kalau jarak kelahirannya jauh, tentu butuh penyesuaian lagi, bukan? Sedangkan saya mengalami depresi pasca kelahiran anak pertama.
  • Ingin segera punya waktu untuk diri sendiri. Saya punya mimpi. Saking banyaknya, saya bisa kesulitan tidur memikirkan rentetan ide di kepala. Saat anak-anak masih kecil, sudah pasti tidak akan bisa merealisasikan banyak di antaranya. Makanya, ketika anak-anak sudah mulai besar lah, saya akan memiliki waktu lebih untuk diri sendiri dan mengejar mimpi. Ini bukan egois, seorang ibu juga boleh bermimpi, kan?


Dengan alasan-alasan ini, saya punya kekuatan untuk menjalani masa-masa berat mengasuh dua anak yang sama-sama masih bergantung penuh pada saya.


Wah, kalau flashback ke 4 atau 3 tahun silam, hampir setiap hari saya kelelahan. Untung saja anak kedua saya termasuk anak yang serba "gampang", jadi sangat meringankan. Dan suami ditakdirkan menjalani tugas belajar, banyak waktu libur dan tidak ada dinas dalam waktu yang cukup lama. Bisa lah membantu di banyak momen. 


Baca juga: Anak Bertengkar dengan Teman, Orang Tua Harus Apa?


Sekarang mereka sudah berusia 6 tahun dan 4 tahun. Pengorbanan yang saya kerahkan, seolah mulai terbayarkan. Walau masih suka manja-manjaan sama bundanya, terutama anak kedua saya yang sebentar lagi baru masuk TK, tapi saya sudah berkali-kali mengucap syukur karena baru merasakan enaknya punya anak dengan jarak usia dekat.


Mereka Main Bareng

Ini adalah yang baru belakangan saya perhatikan. Mereka sudah "nyambung" seseruan bareng. Bahkan saya tidak diperbolehkan ikut bergabung main. Katanya suka larang-larang pas loncat-loncat. Ya iyalah, loncatnya dari atas meja. But, ini sangat membantu saya untuk bisa menyelesaikan bejibun tugas tanpa banyak interupsi. Sesekali saja kalau mereka bertanya, bertengkar, atau ada yang jatuh (dibilangin sih enggak mau). Tapi saya tetap mengawasi mereka, kok. 


Kakak Jadi Contoh

Saya tidak perlu mengajarkan segala hal pada anak kedua. Pokoknya, kakaknya adalah role model yang semuanya ditiru. Misalnya di usia 4 tahun, sudah bisa makan sendiri karena meniru kakanya. Sudah bisa juga menulis, membaca dan berhitung. Semuanya ya karena meniru kebiasaan kakaknya. Komunikasi ala anak seusia mereka pun membuat adiknya lebih cepat merekam. Tugas saya jadi berkurang, hehe.


Rutinitas Nyaris Sama

Anak-anak saya bisa dibilang hampir seumuran. Jadi jam tidurnya, jam makannya, mandinya, dan jam-jam lainnya masih sama. Mengantar kakaknya sekolah pakai motor, juga sudah bisa mengajak adiknya. Kalau masih bayi kan agak sulit juga dibawa motoran. Pokoknya rutinitas yang sama ini membuat saya bisa sekaligus mengerjakannya. 


Perencanaan yang Lebih Praktis

Baru saja menjadi rencana terdekat saya dan suami, yaitu menyiapkan kamar untuk anak-anak dan mengajarkan mereka tidur sendiri. Berhubung adiknya itu selalu mencontoh kakaknya, jadi mau-mau saja saat dibilang akan pisah kamar. Ini sangat memudahkan juga dalam membeli kebutuhan kamarnya. 


Urusan sekolah pun sama, kalau kakanya di SD ini, otomatis adiknya juga disitu biar sekalian antar-jemput. Ini pun baru saya rasakan ketika mendaftarkan anak pertama ke SD. Kayak lebih praktis dan fokus saja. Mungkin berkaitan juga dengan rutinitas dan kebutuhan mereka yang nyaris sama. 


Lebih Hemat

Bajunya, mainannya, alat makannya, serta banyak kebutuhan lain yang bisa digunakan adiknya karena masih bagus. Malah sekarang banyak juga yang bisa dipakai bersamaan. Seperti tas (kadang mau gegayaan pakai tas kalau ke mall), mainan bisa sharing (cukup beli satu saja), nonton film yang sama, dan yang paling meringankan tugas saya adalah menu makanan mereka yang juga sama. Sekarang sudah mulai saya ajarkan makan pedas, biar sekalian masak saja buat saya, suami dan anak-anak. Sekali lagi, praktis dan banyak menghemat pengeluaran.


Saya Punya Waktu Lebih Banyak untuk Diri Sendiri

Nah, ini yang paling memanjakan saya. Karena sudah bisa main sendiri, makan sendiri, atau jam tidur yang sama dan sudah bisa nyenyak sampai pagi, saya jadi punya waktu lebih untuk mengerjakan sesuatu yang bersifat pribadi. Bila dulu sulit sekali untuk ke toilet, sekarang mau mandi dan luluran sudah tak jadi masalah. Mereka pun sudah bisa paham ketika saya bilang akan merampungkan tulisan. Bahkan ngedrakor pun tak perlu lagi menunggu tengah malam. Sebahagia itu bisa menikmati kembali waktu-waktu untuk memanjakan diri.


Baca juga: Cara Agar Anak Mengerti Aktivitas Ibunya


Kalau dibablasin cerita lebih panjang, masih banyak hal menyenangkan ketika anak-anak yang jarak usianya dekat itu sudah mulai bisa beraktivitas lebih mandiri. Tambahan satu lagi, anak-anak pun jadi lebih gampang dititipkan ke ayahnya bila saya ada keperluan. Coba kalau masih ASI, kan bakal susah. Malah sekarang pada suka nanya, "Bunda kapan pergi-pergi lagi?" Maklum, kalau sama ayahnya, bebas ngapa-ngapain, makan apa pun juga boleh. Beda ya, Bun, sama kita yang banyak larangannya.


Sebelum menutup tulisan yang lebih kepada sesi curhat ini, intinya, mau punya anak dengan jarak usia dekat, sesuai rekomendasi ahli, atau jaraknya lebih jauh lagi, pasti ada alasan yang melatarbelakangi. Tidak ada salah atau benar, yang ada adalah tepat atau tidak, dan bagaimana kita sebagai orang tua bisa menjalani masa-masa pengasuhan dengan baik. 


Semoga bermanfaat.

2 comments

  1. Teman-teman beruntung tumbuh dalam keluarga yang baik dengan orang tua yang siap secara fisik, mental, dan ekonomi.

    ReplyDelete
  2. anakku beda 4 tahun, skr masih berasa susah nafas.hihih... Insyaallah sebentar lagi bisa punya banyak waktu utk me time.

    ReplyDelete

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)