Foto: freepik.com |
Anak butuh ruang untuk tumbuh dan berkembang.
1 Banyak Larangan dalam Aktifitas Fisik
Main sepedanya pelan-pelan, Nak.
Jangan lompat-lompat kursi, nanti jatuh!
Manjatnya rendah-rendah saja, kamu belum pandai betul.
Kalau putar-putar begitu, nanti kepalamu pusing, lo."
Itu hanya secuil dari larangan aktifitas fisik yang tanpa sadar aku ucapkan pada anak pertamaku. Aku hanya takut dia terjatuh, terluka atau hal menakutkan lainnya jika aktifitas itu dilakukan saat tubuhnya masih belum kuat dan imbang. Berjalan saja kadang masih jatuh, apalagi mau naik turun kursi, melompati balok kayu, atau gerakan fisik lain yang butuh pijakan sempurna agar tidak terjatuh. Akupun selalu membantu dalam banyak hal yang aku anggap sulit baginya. Aku tidak mau anakku kesusahan, setidaknya selama ada aku disampingnya. Ya, aku se-protektif itu.
Berbeda dengan anak keduaku yang lebih bebas bergerak tanpa banyak larangan. Bukan karena aku tidak peduli, tapi kesibukanku yang meningkat dua kali lipat setelah beranak dua, menjadikanku lebih sering membiarkan anak-anak bermain sesuka mereka, berguling di lantai, melompat di kasur, atau melewati rintangan kecil. Ajaibnya, anak keduaku yang belum genap berusia dua tahun sudah bisa melakukan hampir semua aktifitas fisik kakaknya yang berusia empat tahun. Dia juga lebih berani, apa saja diterjangnya meski berkali-kali terjatuh. Sedangkan kakaknya lebih banyak menimbang, jika dia rasa terlalu riskan untuk dilakukan, maka dia memilih permainan lain. Kekurangberanian ini terasa sekali ketika si kakak bermain dengan teman sebayanya yang sudah mahir bolak balik naik perosotan. Sedangkan dia tampak tertatih-tatih menahan takut agar mampu melakukan hal serupa. Meski sudah tahu, lagi-lagi aku segera berlari menghampiri dan membantunya.
Bukan hanya melarang, orang tua kerap membatu anak sebelum ia meminta.
Semasa bayi juga sama, si kakak hanya aku tidurkan di kasur empuk demi mementingkan kenyamanan dan keamanannya. Orang dewasa saja suka berbaring di alas empuk, apalagi bayi? Ternyata ini juga menghambat beberapa perkembangan motoriknya. Mulai dari tengkurap yang terlambat dan masa merangkak yang terlewati. Anak pertamaku tidak merangkak sama sekali, langsung berjalan diusia satu tahun. Sedangkan adiknya yang dibebaskan bermain di lantai sejak bayi, sudah bisa tengkurap sebelum tiga bulan dan tidak ada satupun tingkat kemampuan motorik terlampaui.
Ini memberikan pelajaran penting bahwa sebagai orang tua tidak semestinya terlalu mengekang aktifitas anak dalam usia emasnya. Bebaskan dan awasi. Selama itu masih tidak mengamcam keselamatan anak, tidak ada salahnya untuk memberi ruang bereksplorasi dengan anggota tubuhnya. Jatuh sedikit, tidak apa. Anak juga bisa belajar kehati-hatian dan kewaspadaan dari sana. Mengenalkan hal berbahaya yang bisa membuatnya sakit atau terluka agar dapat menghindar darinya. Mungkin bagi orang tua baru terasa sangat sulit, namun tekan sedikit rasa khawatir itu agar anak dapat berproses dengan sempurna.
2 Banyak Larangan dalam Berbicara
Jangan teriak-teriak, Nak. Berisik!
Sudah jangan banyak tanya! Kalau Bunda larang, berarti itu bahaya buat kamu.
Hingga sekarang, kalimat semacam ini masih saja keluar tanpa sadar ketika suasana hatiku dalam keadaan yang tidak baik atau kondisi yang terlalu riuh. Niat awalnya sih baik, melarang anak berteriak karena dapat mengganggu orang lain dan mengajarkan kepatuhan pada orang tua. Namun lama kelamaan, itu menjelma menjadi kebiasaan buruk yang tak patut dipelihara. Padahal, anak berteriak bisa saja karena ia sedang mengeksplorasi suara, atau banyak bertanya karena rasa keingintahuannya yang selalu membutuhkan alasan agar mengerti. Sebenarnya aku tahu, berkali-kali membaca artikel yang sama agar semakin tertanam dalam pikiran. Sayangnya, buruknya pengelolaan emosiku berhasil mengalahkan logika. Terus berulang, aku memberi dampak buruk terhadap perkembangan berkomunikasi anak-anakku.
Baca juga: Anak Sering Bertanya? Jangan Pusing, Hadapi dengan Cara Ini
Kadang aku dapati mereka merasa enggan mengungkapkan rasa dan mengutarakan pertanyaan karena takut aku marah. Anak sekecil itu belum bisa membaca keadaan, sehingga ia berpikir akan mendapat perlakuan sama saat terakhir kali ia mendengar nada tegasku yang melarang untuk banyak bertanya. Padahal tidak sama sekali, tidak mungkin aku marah saat anak-anakku mengajak berkomunikasi. Solusi satu-satunya yang aku lakukan adalah dengan mengajak bicara dalam intonasi rendah, menanyakan secara perlahan apa yang hendak ia katakan. Kalau perlu memeluknya dan meminta maaf atas kesalahan kemarin. Aku beri pengertian berulang kali bahwa mereka bisa mengatakan apapun padaku tanpa khawatir disanggah.
Melarangnya hanya lima detik, tapi memulihkannya begitu lama dan sulit.
Cambukan keras untukku agar tidak selalu merasa benar dan untuk bersabar lebih banyak lagi. Mendidik bukan berarti mengenyampingkan hak berbicara anak. Ingatlah bahwa anak masih dalam masa belajar, banyak pengetahuan orang dewasa yang belum diketahuinya. Jangan pernah pula mencampur adukkan urusan kita sendiri dengan urusan anak, karena anak tidak pantas menerima perlakuan buruk dari orang tuanya, apalagi bukan disebabkan oleh kesalahan mereka.
3 Banyak Larangan dalam Hal yang Dinilai Salah dan Mengancam
Jangan main tanah, Nak. Kotor. Nanti kamu cacingan.
Jangan berantakin rumah, Nak. Rumah jadi kayak kapal pecah 'kan.
Jangan dekat-dekat kucing, dicakar lo kamu nanti.
Masih berhubungan dengan persepsi orang tua yang keliru dan dalih untuk melindungi, banyak hal yang seharusnya bisa merangsang kemampuan motorik anak malah dilarang. Mengandalkan alasan yang terkesan menakut-nakuti, berharap anak langsung menuruti tanpa banyak perlawanan. Bermain tanah memang kotor, tapi bisa dibersihkan dengan mandi setelahnya. Begitu pula halnya dengan rumah berantakan yang bisa dibereskan dan kucing yang bisa dibelai lembut agar tetap nyaman saat diajak bermain.
Anak memang aman, tapi banyak hal yang ia lewati. Ini juga terjadi dengan anak pertamaku. Banyaknya larangan yang ia terima, berdampak kepada menurunnya tingkat keberanian dan ia menjadi jijikan. Misalnya takut dengan banyak binatang dan merasa jijik jika ada satu butir nasi saja yang terjatuh ke lantai. Padahal jika bisa diajarkan dengan benar, dia tidak perlu menjaga jarak dengan hewan jinak dan membuang satu butir nasi itu ke tempat sampah.
Kembali kepada diri sendiri, mungkin alasannya bukan sekedar keamanan anak, namun orang tualah yang sebenarnya tidak mau repot. Membiarkan anak bereksplorasi dengan sesuatu yang dinilai berisiko, tentu membutuhkan pengawasan yang lebih ketat. Orang tua harus memusatkan perhatiannya agar cepat tanggap jika yang dilakukan anak berpotensi mencelakai dirinya. Terpusatnya perhatian ini tentu memaksa orang tua untuk bekerja multitasking.
Ah, semakin merasa bersalah saja rasanya.
Baca juga: Jangan Biarkan Anak Bermain Tanpa Pengawasan Di 8 Area Rumah Ini
Itulah beberapa pengalaman yang sengaja aku bagi agar bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya sesama orang tua. Tidak bisa dipungkiri bahwa keamanan anak adalah prioritas utama, dan sudah menjadi naluri orang tua untuk memberikan perlindungan yang terbaik untuk anaknya. Tapi jika perlindungan itu berlebihan, bisa saja mengekang kebebasan anak untuk bertumbuh kembang dengan normal.
Orang tua harus memberikan pola asuh yang benar menurut ilmu pengetahuan yang teruji, bukan atas asumsi diri sendiri. Proses belajar ini tentu tidak mudah, namun tetap harus dilakukan demi optimalnya tumbuh kembang anak.
Semoga bermanfaat.
Setuju dan semoga kelak saat aku jadi orang tua bisa menerapkan supaya mental anak tidak dirusak sejak dini
ReplyDeleteAamiin.
DeleteBukan dirusak, Mas. Semua orang tua pasti melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi terkadang keterbatasan ilmu dan pengalaman orang tua mungkin banyak menyebabkan terjadinya trial-error, jadi mungkin saja tanpa sengaja melakukan kesalahan.