9 Perlakuan Orang Tua yang Dibenci Anak

No comments

Parenting story

Aku sudah berulang kali membaca banyak tulisan terkait perlakuan orang tua yang dibenci anak ini. Bahkan juga pernah menulis mengenai toxic parent yang dapat memberi pengaruh buruk kepada anak. Namun baru sekarang aku berani menyatakan bahwa ternyata memang sebagian besar perlakuan orang tua yang dibenci anak dalam teori itu nyaris 100% sama dengan apa yang aku alami. 


Bukannya hanya menduga-duga dan mengandalkan naluri seorang ibu, tetapi aku menyimpulkan sendiri dari apa yang diungkapkan oleh anak pertamaku. Berhubung usianya sudah hampir 5 tahun, jadi mengatakan apa yang dirasa dan dipikirkannya sudah lancar. Bila ada yang tidak disukai, pasti dengan jujur langsung dikatakan. Berkat dialah aku mengerti bahwa ternyata banyak sekali perlakuanku sebagai orang tua yang masih melukai perasaannya. 


Orang tua kadang lupa bahwa ia juga pernah menjadi seorang anak. Harusnya perlakuan orang tua dulu yang tidak disukai, tidak diulang kembali kepada anaknya.


Aku pernah membayangkan kembali ke masa lalu, memosisikan diriku masih menjadi anak kecil yang tinggal bersama orang tua. Menggali ingatan, apa saja hal-hal yang tidak aku sukai dari perlakuan orang tua. Ya, bila disandingkan dengan apa yang tidak disukai anakku, hampir semuanya sama. Dan sayangnya, entah kenapa, aku masih kerap memberi perlakuan yang jelas-jelas tidak disukai anak. Bahkan beberapa di antaranya baru aku sadari setelah mulut mungilnya protes. 


Langsung saja, inilah beberapa perlakukan yang tidak disukai anakku yang ia ungkapkan dengan sangat jelas. Tentu menjadi cambukan yang membuat hati terenyuh karena ternyata masih banyak kesalahan yang tanpa sadar atau berulang kali aku lakukan. 


Baca juga: Membanding-bandingkan Anak, Perilaku Toxic Parent yang Mengancam Kesehatan Psikologi Anak



1. Sering Marah, Bahkan untuk Hal Kecil

"Bunda kok marah-marah terus, sih? Byan enggak suka bunda marah, Byan takut."

Marah adalah perlakuan umum orang tua yang sering memancing penyesalan. Betul apa betul?


Aku bukan tipe orang tua yang terlalu menghindari memarahi anak. Menurutku ada beberapa kesalahan yang memang harus diberitahu dengan nada tinggi, apalagi bila sang anak sudah diberitahu berulang kali, namun tetap saja tidak menggubris. Tetapi memarahi anak terlalu sering juga tidak baik, teritama untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu direspon berlebihan. Mirisnya, marah ini seperti sudah menjadi respon reflek yang terjadi begitu saja tanpa bisa dikontrol. 


Contohnya ketika anakku rewel meminta bermain gadget terlalu sering, padahal aku hanya membatasi maksimal 2 jam saja sehari. Dia akan mengamuk dan menagis bila aku tidak menuruti apa yang dia mau. Normalnya aku aka  diam saja dan membiarkan ia lelah menagis, sampai akhirnya lupa dan mencari mainan lain. Beberapa kali ini memang berhasil, anak akan sadar bahwa percuma saja ia menangis kencang kalau ternyata aturan tetap harus dijalankan. Tetapi bila kondisi pikiran dan hatiku sedang kacau, marah ala emak-emak dengan kata-kata panjang bak kereta api keluar begitu saja. 



2. Mengekang dan Saklek Aturan

"Byan mau main, enggak mau tidur siang! Byan enggak ngantuk, Bun. Please, biarin Byan main. Tidurnya nanti malam saja. Kok main enggak boleh?"


Inginnya sih anak tetap sehat, hidup teratur dan sebisa mungkin mengikuti aturan yang telah ditetapkan ibu. Namun semakin bertambah usia anak, ia sudah bisa protes bila disuruh melakukan sesuatu yang sebenarnya ia tidak butuh. Misalnya seperti kejadian tidur siang tadi, anakku tidak mengantuk dan ingin melanjutkan bermain, namun aku tetap memaksanya tidur. Meski nanti tetap masuk kamar, ia hanya akan berguling-guling selama satu jam, tanpa tertidur. Berarti benar, ia tidak mengantuk. 


Aku saja yang terlalu saklek aturan. Aku pun kalau tidak mengantuk juga tidak mau tidur. Begitu pula dengan anak, memaksa apa yang kita inginkan tanpa memberi anak kesempatan memilih. Mengekang anak terlalu berlebihan, ini tidak boleh, itu tidak boleh, juga suka membuatnya sebal. Niat kita sebagai orang tua memang baik, pasti ingin yang terbaik, namun kenyataannya tidak semua yang kita anggap benar adalah yang paling tepat. Orang tua harus peka dengan kondisi anak, karena tidak selamanya anak harus berada di bawah kendali orang tua. 



3. Membandingkan dengan Anak Lain

"Lihat tuh, Alby saja yang masih kecil kalau mewarnai sudah mulai rapi. Ayo, Byan juga kayak gitu, dong!"

Byan bukan Alby! jawabnya tegas dan keras.


Bukan cuma sekali dialog seperti ini terjadi antara aku dan anak pertamaku. Bermaksud memberi contoh agar ia bisa meniru dan berubah menjadi lebih baik, ternyata malah membuatnya marah. Orang tua yang membandingkan anaknya dengan anak temannya yang lebih sukses atau anak tetangga yang lebih berprestasi tentu sudah sangat familiar dikehidupan seorang anak.


Aku sendiri sebenarnya juga tidak suka dibandingkan, bahkan oleh siapa pun. Padahal aku tidak berniat membandingkan anakku, namun tetap saja cara yang salah akan diterima dengan salah. Pelajaran sekali untukku ke depannya agar dapat memilah dan memilih lagi kalimat yang keluar dari mulut.



4. Terlalu Menuntut

"Kenapa sih Bunda suka maksa-maksa? Bunda memangnya suka kalau dipaksa orang?"


Terkesan kalimat yang terlalu berani untuk anak 5 tahun. Tapi tetap saja aku yang salah. Aku juga tidak suka dipaksa-paksa. Biasanya anakku berkata seperti ini bila aku memaksanya untuk meraih standar tertentu yang aku buat sendiri. Misalnya harus bisa mewarnai dengan rapi, setelah melihat hasil mewarnai teman sekolahnya yang jauh lebih bagus. Padahal anak memiliki perkembangan masing-masing dan kemampuan menonjol yang berbeda.


Ini adalah masalah klasik, ibarat menyuruh pohon pisang berbuah semangka, kelapa, mangga, rambutan dan durian sekaligus. Harusnya aku lebih sabar mengajari dan jangan terlalu menuntut anak-anak untuk menguasai segala hal. Terlalu menuntut ini jugalah yang menyebabkan orang tua sering membandingkan anaknya dengan anak lain.



5. Terlalu Sibuk

"Bunda main lah sama Byan, jangan nulis terus. Bunda enggak usah nulis saja, biar bisa main sama Byan."


Sekarang anak pertamaku bukan lagi bayi yang masih tidur dua kali di siang hari, malah sudah sanggup bermain tanpa istirahat hingga malam. Ini tentu membuatku kesulitan mencari jadwal untuk diri sendiri, termasuk menulis. Mengerjakannya ketika anak sudah tidur, malah ikut ketiduran. Terpaksa aku menulis di sela waktu menemani anak bermain. Setelah semua pekerjaan rumah beres, baru aku duduk di dekat anak dan sibuk dengan tablet sambil sesekali menyapanya. 


Ternyata cara ini bukan hal yang anakku sukai. Walau aku berada di dekatnya, ia mengerti bahwa aku tidak fokus bermain, malah konsentrasi dengan hal lain. Mumgkin sama dengan orang dewasa yang berkomunikasi dengan teman yang sibuk bermain handphone. Pasti ada perasaan tidak diacuhkan, diabaikan dan dianggap tidak penting.


Mulai saat itu, aku menyadari kesalahan yang selama ini aku anggap biasa. Aku berusaha menahan kantuk di malam hari demi tetap bisa menulis. Atau jika ada deadline mendesak, aku meminta izin dulu dan menceritakan keadaan sebenarnya. Ternyata anakku mengerti dan mengizinkan. Hanya butuh komunikasi dan tetap menyediakan waktu berkualitas bersama anak-anak, semua aman terkendali.



6. Tidak Menepati Janji

"Kan bunda janji mau beliin itu kemarin. Byan enggak minta, Bunda yang ngomong sendiri. Kenapa enggak jadi?" 


Setiap kali menjanjikan sesuatu, anakku akan menagihnya sampai ditepati. Tidak peduli selama apa dan seberapa kuat usahaku menunda agar ia lupa, namun ingatannya tidak kunjung memudar. Jangankan kejadian minggu lalu atau bulan lalu, kejadian bertahun-tahun lalu saja dia masih ingat. Padahal waktu itu ia masih kecil, paling baru berusia 2 tahun. Ajaib sekali.


Tidak menepati janji adalah hal yang tidak disukai anak, dan juga bukan merupakan contoh baik. Bila dibiasakan, kepercayaan anak akan hilang kepada orang tua. Maka dari itu, aku dan suami berusaha menyaring perkataan agar tidak menjanjikan hal-hal yang tidak bisa ditepati. Biasanya menjanjikan sesuatu ini reflek terjadi ketika anak rewel atau ada hal mendesak lain, sehingga biar cepat, janjikan saja hal-hal yang disukai anak. Padahal ini akan diingat selalu, tidak peduli apa alasan orang tua dibalik janji tersebut.



7. Bertengkar dengan Pasangan

Kenapa sih Ayah sama Bunda ribut-ribut? Berisik, Byan enggak suka! Byan saja kalau marah-marah, dimarahin."


Sebelum menikah, aku dan suami sudah sepakat tidak akan pernah bertengkar di depan anak. Karena dampaknya sangat besar, bisa menggores trauma hingga dewasa. Namun kadang kami keceplosan, karena terlalu emosi, suara bernada tinggi terucapkan ketika ada anak di dekat kami. 


Seperti dugaan, dia langsung protes. Dia beralasan bahwa ribut-ribut dan membentak itu tidak boleh, seperti yang selalu aku ajarkan. Bak bumerang, kalimat itu dibalikkan kepadaku. Malu? Tentu! Meski dari usia sangat jauh sekali, anak sekecil itu bisa bersikap lebih dewasa. Sedangkan kami yang sudah dewasa, malah bersikap seperti anak kecil. Karena inilah aku dan suami berjuang mati-matian untuk dapat berkomunikasi dengan baik, minimal tidak diperlihatkan kepada anak-anak bila ada masalah. Ya, namanya saja menikah, pasti selalu ada ombaknya. 



8. Tidak Didukung

Ih, Bunda, Byan kan mau jadi pemadam kebakaran, kok enggak boleh?


Kembali lagi kepada kebiasaan menuntut anak untuk mengikuti kemauan orang tua, sering kali keinginan anak yang tidak sesuai selera orang tua malah dihambat dan dianggap tidak baik. Padahal anak juga memiliki keinginan dan selera masing, masing, yang pastinya tidak selalu sama dengan orang tua. Sayangnya, orang tua menganggap perbedaan ini bukan sesuatu yang mesti dihargai, sehingga sulit sekali mendukung keinginan anak yang tidak disukai.


Bayangkan ini terjadi pada diri orang tua sendiri. Misalnya ingin menjadi seniman ketimbang mencari pekerjaan kantoran seperti yang lain. Padahal seniman juga banyak yang sukses. Tetapi karena tidak sesuai dengan selera orang-orang pada umumnya, malah sering dijatuhkan dan dipandang sebelah mata. Kalau sudah sukses, baru terpana. Nah, sama seperti anak, bila keinginan baiknya dan pemikiran luar biasanya didukung, terutama oleh orang tua sendiri, bukannya tidak mungkin kesuksesan akan menjadi genggamannya suatu saat nanti. Sebaliknya, bila dihambat, tentu ada kekecewaan di hati anak karena pihak yang seharusnya paling depan mendukung, malah mematahkan.



9. Mengabaikan Kebutuhan Anak

"Kenapa sih kita enggak pernah main ke luar lagi, Bun? Teman-teman Byan banyak yang main ke lapangan. Kan senang bisa main bareng-bareng. Byan kan suka main bareng-bareng."


Sejak kelahiran anak kedua, aku sudah mulai jarang menemani anak pertamaku bermain ke luar rumah. Bukan karena tidak mau, tapi karena memang waktunya saja yang tidak ada. Kadang pas sore hari, adiknya malah tidur. Belum lagi urusan masak makan malam belum kelar. Jadi dengan terpaksa ajakannya untuk main di luar rumah aku tolak.


Padahal bermain di area outdoor dan berinteraksi dengan teman sebayanya adalah kebutuhan anak. Dia meminta bukan karena ikuta-ikutan, tapi karena memang butuh. Walau sudah aku coba menjelaskan alasan kenapa tidak main ke luar, tetap saja ada kekecewaan dan kesediahan yang tampak dari mukanya. 


Bermain ini hanyalah salah satu contoh kebutuhan anak yang terpaksa tidak bisa aķu penuhi. Bagi anak yang membutuhkan, tentu ia tidak akan suka bila  kebutuhan bermainnya tidak terpenuhi. Selain tidak suka, perkembangannya juga akan terhambat. Contoh lainnya adalah mengenyampingkan kebutuhan kasih sayang, perhatian atau nutrisi yang juga merupakan kebutuhan dasar manusia. 


Baca juga: Sedikit-sedikit Melarang, Ini Dampak Buruknya Jika Orang Tua Overprotektif pada Anak


Itulah sembilan contoh perlakuan orang tua yang tidak disukai anak. Apakah aku curhat atau membuka aib? Tidak. Aku hanya ingin memberi informasi bahwa perlakuan yang telah aku ceritakan berdasarkan pengalaman selama menjadi orang tua ini bisa dijadikan bahan renungan dan pembelajaran bagi kita semua. Demi memperbaiki diri agar menjadi orang tua yang memberi kehidupan bahagia untuk anak.


Sebenarnya semua hal yang tidak disukai anak tersebut juga tidak akan disukai oleh orang dewasa. Orang tua bisa saja melihat kepada diri sendiri, perlakuan apa yang tidak disukai dari orang lain atau bisa melihat pula daripoengalaman di waktu kecil. Mari sama-sama kita upayakan diri semaksimal mungkin agar tidak menjadi toxic parent dengan menghindari anak dari perlakukan yang tidak ia sukai, terutama yang berasal dari orang tuanya sendiri.


Semoga bermanfaat.



No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)