Cita-cita Anak Anti Mainstream? Begini Cara Saya Menyikapinya

2 comments
"Dek, cita-citanya apa?"
"Cita-cita itu apa, Bun?"
"Nanti, kalau sudah besar, pengennya jadi apa?"
"Jadi truk sampah!"

Jiaaah. Sungguh cita-cita yang tidak biasa. Kalau seperti ini, apa yang mesti kita lakukan sebagai orang tua?

Cita-cita anak

Sempat bingung, saat anak kedua saya menyebutkan cita-cita yang tidak masuk akal. Usianya memang baru 3 tahun. Lucu, ketika ditanya cita-cita, tidak pernah sekalipun dia menjawab sesuatu yang terkait profesi. Malah sebelum ini lebih kocak, ingin jadi kaktus! Padahal sudah saya jelaskan berkali-kali kalau cita-cita itu ya sesuatu yang bisa dilakukan. Bukan berganti wujud jadi benda lain atau makhluk hidup lain.

It's oke. Saya menganggap itu adalah imajinasinya yang sedang berkembang.

Lanjut lagi ke kakaknya yang sudah berusia 5 tahun. Saat ditanya cita-cita, dua tahun belakangan tetap konsisten, yaitu menjadi pemadam kebakaran. Sudah benar arahnya, ini sebuah profesi. Saya pun tidak mempermasalahkan sama sekali. Malah saya mendukung. Toh, itu pekerjaan nyang mulia. Kalau pun nanti saat dewasa, benar-benar menjadi pemadam kebakaran, saya pasti tetap mendukung dan turut bangga dengan pencapaiannya.

Tapi masalahnya, terkadang ada bantahan-bantahan yang berisiko di dengar anak saat memiliki cita-cita yang dianggap kurang familiar.

Jadi dokter, pilot atau guru, itu yang mainstream-nya. Pasti respon yang didapatkan anak selalu positif. Tapi ketika anak menyebutkan sesuatu yang dianggap tidak 'wah', mirisnya malah disepelekan.


Jangankan anak bungsu saya yang ingin jadi truk sampah, Si Sulung saja suka direspon begini, "Pemadam kebakaran? Ngapain? Mending jadi dokter saja."

Saya langsung mengambil alih setiap ada ucapan seperti itu. Menanggapinya dengan semangat bahwa saya akan selalu mendukung anak untuk menjadi pemadam kebakaran. Itu pekerjaan hebat. 


Pentingnya Menghargai Pilihan Anak

Menghargai pilihan anak
Apa pun pilihan anak, ada alasan di baliknya
Selama tidak merugikan, hargailah pilihan anak. Ketika cita-cita yang mereka anggap keren, dibantah oleh orang tua atau orang disekelilingnya, secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa pilihan anak buruk. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa salahnya bila memiliki cita-cita yang berbeda dari anak lainnya? 

Apakah pilihan itu merugikan? Tidak!

Sekali pun itu cita-cita anak kedua saya yang ingin jadi truk sampah. Alih-alih membantah, lebih baik menanyakan alasan kenapa dia bisa memilih menjadi truk sampah. Tahu alasan apa yang saya dengar?
Truk sampah itu kan mengambil sampah, jadi bisa bikin semua bersih. 


Andai saya mengabaikan atau langsung menganggap itu pilihan yang salah, pasti yang saya pikirkan hanya sampah kotor atau truk bau. Untung setelah menghargainya dengan bertanya, ternyata keinginan untuk menciptakan lingkungan yang bersih lah alasannya. Bukankah itu bagus?

Sereceh apa pun pilihan anak di mata kita orang dewasa, tidak baik dampaknya bila dibantah begitu saja.

Bisa jadi hal tersebut remeh bagi kita, namun sangat berarti bagi anak. Kalau anak sudah merasa pilihannya tidak dihargai, kepercayaan dirinya pun akan terancam. Lebih takut mengeksplor diri dan mengungkapkan pendapat.

Ujung-ujungnya, anak juga yang menerima dampak buruknya. 

Lagi pula, perjalanan hidup mereka masih panjang. Mungkin ada puluhan kali perubahan cita-cita yang akan diungkapkannya. Yakin masih mau membantah atau tudak menghargai pilihan sederhana anak-anak kita, di masa emas perkembangan rasa keingintahuan dan eksplorasinya?

Saya percaya, 10 tahun lagi, anak saya akan tahu bahwa tidak mungkin menjadi truk sampah. Bila keinginannya untuk membersihkan lingkungan, cita-cita itu akan mengarah kepada profesi yang lebih masuk akal, seperti aktivis lingkungan, Dinas Kebersihan atau KLHK. Hebat, 'kan?


Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua saat Cita-Cita Anak Anti Mainstream?

Cara menyikapi cita-cita anak
Anak yang didukung dengan baik, akan menghasilkan yang terbaik
Saat mendengar anak-anak saya mengajukan cita-cita yang tidak biasa, saya sudah bertekad bahwa saya akan menjadi orang pertama yang mendukung mereka. Apa pun itu. Bahkan saat ingin menjadi kaktus, saya pun tetap mendukung. Berkatnya, saya tetap terpana dengan alasan yang keluar dari mulut mungilnya.

"Kaktus itu kuat, bisa hidup di padang pasir." See, alasan inilah yang menjadi cita-cita anak sesungguhnya. Hanya belum tahu saja profesi apa yang cocok untuk itu.

Nah, dari pada fokus dengan anti mainstream-nya, lebih baik orang tua melakukan beberapa tips berikut agar anak tidak berkecil hati dengan respon yang kemungkinan akan dia dengar dari sekitar. Soalnya, pertanyaan cita-cita ini nyaris sama seringnya didengar oleh anak, dengan pertanyaan kapan nikah bagi yang masih single



1. Jangan Dipatahkan

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, mematahkan pilihan anak, akan menimbulkan dampak buruk baginya. Seaneh apa pun pilihan anak untuk jawaban dari pertanyaan cita-cita yang diajukan orang dewasa, jangan sampai mengatakannya terus terang. Tapi biarkanlah anak bereksplorasi sesuai perkembangannya. 

Bila ada orang lain yang menyepelkan atau mengatakan dengan gamblang bahwa cita-cita anak kita bukanlah sesuatu yang pantas untuk dicita-citakan, orang tua sebaiknya langsung pasang badan. Dukung anak dan segera alihkan ke pembicaraan lain. Bagaimanapun, ini juga berisiko menurunkan kepercayaan diri anak karena pilihannya dianggap salah. Padahal tidak ada yang salah.

2. Tanyakan Alasan Anak

"Kenapa mau jadi pemadam kebakaran, Bang?" tanyaku. "Karena bisa memadamkan api, menangkap ular yang masuk ke rumah orang dan menolong kucing yang tidak bisa turun dari pohon." Sangat mulia niatnya. Karena menurut anak saya, bisa membantu orang dalam kesulitan itu keren.

Bila menghadapkannya dengan pendapat kalau dokter lebih kaya atau insinyur lebih hebat, dibandingkan pemadam kebakaran,  bisa-bisa dia akan menganggap menolong orang itu tidak lagi keren. Bahaya juga, kan?

Pasti ada alasan kenapa anak-anak memilih cita-cita tersebut, bukan? Sesuatu yang mereka anggap keren, baik, kuat, indah dan sebagainya. Coba tanya, pasti alasannya menyentuh. Karena anak-anak kita masih begitu polos.

3. Tetap Mengenalkan pada Banyak Hal

Orang tua jangan pernah lelah mengenalkan berbagai aktivitas yang ada dilingkungan kita pada anak. Seiring berjalannya waktu, anak akan mengenali apa keinginan sesungguhnya terkait cita-cita, sesuai dengan banyaknya aktivitas yang pernah ia coba, dan pasti bisa menghubungkannya dengan berbagai profesi. Anak cepat belajar. Semakin sering dikenalkan dengan luasnya aktivitas dunia, semakin terarah pula cita-cita anak ke depannya.

Intinya, tugas orang tua mengarahkan dan mendukung, bukan membiarkan lalu mematahkan. Apalagi sampai membandingkan. Disebut toxic parents, bila meminjam istilah kekiniannya. 
 

Hampir 6 tahun menjadi ibu, saya makin banyak belajar dari anak-anak. Salah satunya terkait cita-cita ini.  Betapa bersalahnya saya bila sampai mematahkan cita-cita mereka yang dilatarbelakangi oleh niat yang sangat mulia. Bahkan saya tidak pernah memikirkan bahwa truk bisa seluar biasa itu di mata anak-anak. Kuat, tangguh dan bisa melakukan apa saja.

Sekadar berbagi pesan, baik itu cita-cita atau profesi, tidak ada mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Semuanya tergantung apa yang dilakukan dengan profesi tersebut dan kebahagiaan dalam menjalaninya, bukan paksaan atau ikut-ikutan. Apa pun itu, setiap orang punya jalan suksesnya masing-masing, termasik anak kita dengan keinginannya. Itulah yang terbaik!

Yuk, dukung cita-cita anak karena penting sekali menghargai pilihannya. Lihat alasan dibaliknya. Bukan fokus dengan aneh atau tidaknya pilihan mereka. 

Kalau bukan orang tua yang menjadi supporter pertama anak-anak, mau menunggu siapa lagi? 

Semoga bermanfaat.

2 comments

  1. Jangan dipatahkan dan diberitahu sisi positif dan negatifnya dan arahkan dengan baik

    ReplyDelete

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)