Duh, ngeri sekali ya mendengar kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah saat ini. Sebagai orang tua, saya jadi berpikir ekstra bagaimana caranya agar anak-anak tak terlibat dalam kekerasan apa pun di sekolahnya. Amit-amit jangan sampai jadi korban, apalagi pelaku. Makanya, saya benar-benar menjaga komunikasi dengan mereka agar dia mau bercerita tentang apa yang dialaminya di sekolah.
Jujur, sejak anak-anak bersekolah, bahkan dari sebelumnya, masalah inilah yang paling saya takutkan. Saya pernah menjadi korban perundungan. Ya, walau tidak begitu parah, tapi cukup membuat mental down dan menghilangkan kepercayaan diri. Atau malah menjadi haus pengakuan di waktu lainnya.
Sungguh, saya tidak ingin anak-anak mengalami hal serupa di sepanjang masa pendidikannya. Karena bagi saya, sebagus apa pun gedung sekolahnya, kurikulum yang diterapkanya, atau prestasi yang dicapainya, pendidikan tak akan maksimal mencapai tujuannya bila praktik kekerasan masih mengancam keamanan dan kenyamanan peserta didik.
Baca juga: Ini 3 Perbedaan Bercanda dengan Perundungan
Tapi, perlu digaris bawahi bahwa khawatir dan takut saja tentu tidak cukup sebagai pegangan. Orang tua mesti melek dengan perkembangan dunia pendidikan yang tengah berjalan. Apa saja kebijakan dan rupa implementasinya. Beruntung, saya dipertemukan dengan komunitas Ibu Penggerak bersama Sidina Community, yang menjadi perpanjangan tangan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk meneruskan informasi kebijakan pendidikan terkini.
Di mana salah satu yang begitu saya apresiasi sekaligus syukuri adalah pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah sebagai bukti upaya pemerintah dalam menghapuskan 3 Dosa Besar Pendidikan. Yuk, kita bahas lebih detail.
Apa itu 3 Dosa Besar Pendidikan?
- Intoleransi, keengganan untuk menerima pandangan, keyakinan, atau perilaku yang berbeda dari miliknya.
- Perundungan atau bullying, perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya.
- Pelecehan/kekerasan seksual, perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang.
- anak korban kejahatan seksual;
- anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; dan
- anak korban pornografi dan cyber crime.
TPPK Di Sekolah, Orang Tua Bisa Aktif Terlibat
Kenapa orang tua perlu tahu?
Supaya mendapat akses yang tepat untuk mendapatkan informasi, sosialisasi, serta menjadi anak tangga pertama penindaklanjutan bila terjadi kekerasan. Jadi, jangan sampai ada lagi kejadian di mana orang tua tidak tahu harus melapor ke mana ketika mendapati anak menjadi korban kekerasan di sekolahnya. TPPK inilah yang menjadi gerbang pengaduan, penyelesaian, sekaligus pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
Tugas TPPK bisa dibilang dari hulu ke hilir. Mulai dari merekomendasikan program pencegahan kekerasan, memberi saran dalam penyediaan fasilitas sekolah yang aman dan nyaman, sosialisasi kebijakan, menerima laporan, memroses dan menindaklanjutinya, hingga anjuran sanksi bagi pelaku kekerasan dan pendampingan korban sesuai kebutuhan hingga tuntas.
Lalu, siapa saja yang menjadi anggota TPPK?
Anggota TPPK harus berjumlah ganjil atau paling sedikit tiga orang. Terdiri dari perwakilan pendidik (selain kepala satuan pendidikan) dan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.
Yes, orang tua sangat diperbolehkan untuk menjadi anggota TPPK. Menurut saya pribadi, ini menjadi suatu langkah yang adil karena selain dapat berkontribusi dengan sudut pandang sebagai orang tua dari peserta didik yang bersekolah di sana, pelaksanaan tugas TPPK-nya pun jadi jauh lebih transparan.
Kabar gembiranya, data dari Kemdikbudristek per tanggal 11 September 2024 ini, 93,31% satuan pendidikan di Indonesia, dari semua jenjang, telah membentuk TPPK.
Sedikit sharing cerita, saya pernah mendengar keluhan dari orang tua murid yang keberatan ketika diminta menghadiri rapat pembentukan TPPK di sekolah anaknya. Ketika ditanya alasannya, ternyata karena dia tidak tahu apa itu TPPK. Menganggap sepele, tanpa keinginan mencari tahu terlebih dahulu. Bahkan ketika hendak saya jelaskan, dia langsung menginterupsi dan tetap meremehkan.
Di sisi berkebalikan, teman lain mencurahkan kegelisahannya karena sang buah hati mengalami perundungan di sekolah. Dia justru kebingungan mesti berbuat apa, karena kejadiannya sudah berlarut-larut dan tak kunjung ada penyelesaian. Segala celah informasi digali agar pintu informasi dan jalur pengaduan alternatif dapat ditemukan. Pokoknya, ia hanya ingin anaknya tak dirundung lagi dan pelaku mendapat sanksi agar jera.
Dari kedua kejadian ini, saya belajar. Jangan sampai ketidaktahuan menjadi bumerang. Bukan sekadar kutipan viral bahwa menjadi orang tua adalah proses belajar seumur hidup. Karena pada akhirnya, ilmu sebagai orang tua inilah yang menentukan pola pengasuhan dan acuan setiap tindakan. Ikuti perkembangan, jangan merelevankan segala hal dengan zaman kita dulu. Apalagi soal pendidikan.
Baca juga: Cara Menghadapi Perundungan Di Sekolah
Bila setelah ini menyadari bahwa sekolah anak-anak kita belum memiliki TPPK, yuk, kita dorong pembentukannya. Karena masih ada 6,69% satuan pendidikan lagi yang belum punya TPPK. Jangan ragu pula menanyakan ke sekolah mengenai program-program TPPK dan bila memungkinkan terlibat aktif di dalamnya.
Dengan kehadiran TPPK, orang tua akan punya tali pegangan dalam menghadapi kekerasan di sekolah anak. Mudah-mudahan, apa yang diharapkan dari terbentuknya TPPK, sesuai dengan realisasi di lapangan. Respon cepat TPPK, itulah yang sangat dibutuhkan.
Semoga bermanfaat.
Referensi
Materi Pembelajaran sebagai Fasilitator Ibu Penggerak
https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)