Ibu Kehilangan Jati Diri, Bisakah Diatasi?

2 comments

Saya bahagia di momen pertama status ibu tersemat. Kehidupan baru bayi mungil itu memberi kehidupan baru pula bagi saya, wanita beruntung yang melahirkannya. 


Namun siapa sangka, tak beberapa lama setelahnya, saya malah kelihangan semua yang telah susah payah dibangun, yaitu jati diri saya!


Ibu kehilangan jati diri

Status ibu menjadi beban baru yang nyaris membuat saya tak mampu lagi hidup dengan sehat, baik fisik maupun psikis. Saya bagai kehilangan impian, semangat, kepercayaan diri, ambisi, pergaulan, serta keinginan mengembangkan diri yang saya tahu bahwa semua itu adalah segala hal yang "saya banget" sebelumnya. 

Saya pernah berasa di titik ini. 


Ah, kamu hanya tidak pandai bersyukur. Jadi ibu ya begitu, mana ada waktu lagi untuk diri sendiri. 

Ah, kamu lebay. Yang jadi ibu bukan cuma kamu. Lihat tuh ibu lain biasa saja.

Ah, kamu terbiasa manja. Sekarang giliran ada anak yang harus diasuh, jadinya stres.


Itu yang saya dengar. Kehilangan jati diri itu pun bertambah dengan kehilangan dukungan. 


Sulitkah? Tentu!

Kehidupan ibu yang saya bayangkan penuh tawa, yang terjadi malah sebaliknya. Mungkin bagi yang tak pernah merasakan, cerita saya ini wajar dianggap berlebihan. Tetapi bagi saya dan ibu-ibu lain yang mengalami, ketidaknyamanannya cukup membuat hidup tak karuan. Bahkan untuk bangun tidur pun enggan.



Saya Bukan Satu-satunya yang Mengalami Krisis Identitas Setelah Jadi Ibu, Apa Penyebabnya?

Krisis identitas ibu

Sadar ada yang berbeda dengan diri saya setelah menjadi ibu, berbagai sumber referensi saya baca. Ternyata banyak sekali website populer yang membahas. Bahkan, mengutip artikel rilisan situs berita Detik,  52% wanita kehilangan jati diri setelah menjadi ibu, menurut survey terbaru dari Nurofen for Children. Lebih dari setengahnya!


Krisis identitas nama lainnya. Ketika seseorang mulai sering mempertanyakan "Siapa saya sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa yang bisa saya lakukan dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain? Apa guna saya hidup?" dan sebagainya. 

Ketika mengalaminya, ada perasaan takut, cemas dan meragukan makna dari kehidupan. Berlanjut menjadi stres atau bahkan depresi karena putuz asa dan menganggap diri tak lagi berharga. 


Ya, itu saya! Saya yang beberapa tahun lalu menganggap diri tak mampu. Padahal sebelum menjadi ibu, saya bukanlah tipe orang yang mudah merasa rendah diri. 


Terbukti bukan menjadi satu-satunya, saya mulai mempelajari kenapa ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. 


Perlu diketahui bahwa beberapa hal yang lekat dengan kehidupan ibu berikut ini adalah penyebab kenapa ibu bisa kehilangan jati diri. Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh pemikiran Sang Ibu sendiri.


1. Perubahan Mendadak

Dalam sekejap, semua berubah. Sebelumnya bebas melakukan apa saja, sekarang sudah ada buntutnya. Sesingkat itu tanggung jawab baru hadir. Waktu dan energi yang dimiliki, habis tanpa sisa untuk mengasuh bayi yang baru lahir. Ibu baru pasti mengerti sekali bagaimana rasanya. Apalagi tidak ada pengasuh, ART atau keluarga yang membantu. 


2. Sulit Mencari Waktu untuk Diri Sendiri

Saking sibuknya mengurus anak dan melakukan aktivitas lain yang tak mungkin ditinggalkan, seperti mengurus rumah atau tugas kantor bila ibu bekerja, waktu untuk diri sendiri pun tak lagi ada. Bahkan untuk mandi saja, ibu tak bisa memastikan bersih atau tidaknya. Viral ibu minum kopi hangat yang sudah dingin saking lamanya dibiarkan, atau ibu yang terpaksa makan mie rebus mengembang dan kuahnya mengering karena kelupaan, itu bukanlah sekadar lawakan, tapi kenyataan.


3. Merasa Diabaikan

Sudah tidak punya waktu untuk diri sendiri, jarang pula diperhatikan. Bagaimana ibu tidak semakin down? Ada dua kemungkinan dalam hal ini.


Pertama, sebenarnya tidak ada yang berubah dari orang-orang di sekitar ibu. Suami masih sama, keluarga sama, teman-teman pun sama. Tapi karena ibu sudah tidak lagi baik-baik saja karena mulai terbebani dengan beratnya tanggung jawab menjadi ibu, kesan seolah-oleah terabaikan itu semakin jadi. Kok tidak ada yang bertanya saya bagaimana, saya sedang apa atau apakah ada masalah hari ini. Sedangkan ibu sungkan bercerita dan selalu tampak tegar. Jadi tidak ada yang tahu perasaan ibu sebenarnya.


Kedua, ibu sudah cerita tapi dianggap cengeng, manja atau mendapat respon tak sesuai harapan lainnya. Stigma di masyarakat masih begitu kental tentang sosok ibu yang kuat dan tahan banting. Sehingga tak jarang ketika ibu berusaha mencari tempat berbagi, malah disalahkan. Ibu yang sehatusnya butuh dukungan, malah berbalik ikut menyalahkan diri sendiri kenapa bisa selemah ini. 


4. Menuntut Kesempurnaan

Tidak selamanya stigma masyarakat yang membuat ibu terpaksa tampil sempurna, namun tak sedikit pula ambisi untuk sempurna itu murni atas keinginan ibu sendiri. Oh, bagaimanapun rumah saya harus selalu rapi, anak saya harus selalu sehat, saya harus bisa langsing lagi dan tetap terlihat menawan biar suami tetap cinta, saya harus mampu bla bla bla. Namun setelah dijalani, mewujudkan semuanya ternyata tak semudah membayangkannya. Sehingga ibu kembali menyalahkan diri sendiri karena tak sanggup memenuhi keinginan. 


Saya pun termasuk ke dalam ibu golongan ini. Setelah resign bekerja, yang saya pikirkan saat itu adalah membuat keluarga saya sesempurna mungkin. Sehingga semua yang baik-baik sudah menjadi target saya setelah menjadi ibu rumah tangga. Tetapi nyatanya apa? Saya kewalahan sendiri dan berujung stres.


5. Tidak Punya Tujuan

Banyak sekali ibu yang berpikiran bahwa satu-satunya tujuan hidupnya setelah melahirkan adalah membesarkan anak dan menjamin masa depan anak. Tidak ada lagi terbersit keinginan memiliki tujuan yang murni untuk diri ibu sendiri. Bahkan ibu rela meninggalkan semua mimpi besar yang sangat ingin diraih sebelumnya. Atau mungkin sudah berhasil diraih dan ibu bangga dengan itu, akhirnya rela dilepas tanpa adanya tujuan baru untuk masa depan ibu. 


Bagaimana, penyebab nomor berapa yang paling relate atau pernah ibu alami? Kalau saya, semuanya. Ya, semua penyebab itu membuat saya nyaris gila. Menarik diri dari lingkungan karena takut dipandang rendah dan tidak percaya dengan kemampuan sendiri. 


Lalu, bisakah ini diatasi? Bisa kalau ibu mau!



5 Tips Ala Saya agar Ibu Bangkit Dari Kehilangan Diri Sendiri

Cara mengatasi krisis identitas

Alhamdulillah sekarang semuanya sudah berlalu. Kini saya sudah percaya lagi dengan kemampuan diri, ada tujuan yang hendak dikejar, berani membuka diri dengan lingkungan baru, serta hal positif lain yang ada pada diri saya saat masih mudah pun telah kembali. Meski butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan, beberapa cara berikut adalah upaya yang saya lakukan untuk mengatasi krisis identitas yang sempat dialami.


Hidup Tak Mesti Selalu Soal Anak

Anak memang nomor satu, semua orang tua pasti setuju. Namun menomorsatukan anak bukan berarti mendedikasikan seluruh daya dan waktu ibu hanya untuk mengurus anak. Misalnya yang paling sederhana adalah urusan kebutuhan dasar. Ibu tentu butuh waktu untuk makan, mandi, tidur atau mengambil jeda sejenak. Jelas, ibu perlu membagi waktu ini agar ada yang tersisa untuk kebutuhan pribadi tersebut. Jangan pernah menyalahkan diri ketika mengambil waktu menyeruput kopi sambil membaca buku ketika anak bermain dengan bonekanya. Selagi bisa menyeimbangkan, kenapa tidak? 


Saya pun juga punya prinsip bahwa anak perlu mengetahui aktivitas ibunya sedini mungkin. Dari anak-anak masih bayi, saya sudah memperlihatkan aktivitas saya di depan mereka. Tidak perlu menunggu anak tidur untuk membereskan rumah. Lakukan di depan mereka, atau kalau bisa libatkan mereka. Jadi  ketika ibu butuh waktu untuk me time atau mengerjakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan mereka, anak sudah paham dan tak akan masalah dengan itu.  


Cara memperkenalakan aktivitas saya kepada anak-anak sudah lebih dahulu saya ulas lengkap di artikel ini 👇🏻

Cara agar Anak Mengerti Aktivitas Ibunya


Temukan Tujuan Baru yang Masuk Akal

Bila salah satu penyebab ibu kehilangan diri adalah tidak adanya tujuan untuk ibu sendiri, maka solusinya jelas mencari tujuan tersebut. Bukan hanya sekadar mencari dan menemukan, namun harus berusaha mengejar. Dengan memiliki tujuan, ibu bisa mengaktualisasi diri dan itu otomatis akan meningkatkan kepercayaan diri. Mungkin bagi ibu bekerja, pekerjaannya sudah bisa menjadi bukti. Namun bagi ibu rumah tangga, ini penting agar tak lagi dipandang sebelah mata, bahkan dari pandangan Si Ibu sendiri.


Sedikit saja hal produktif yang dilakukan ibu di rumah selain mengurus anak dan keluarga, pasti akan dipandang lebih. Misalnya ibu yang suka bikin kue dan iseng menjualnya ke ibu-ibu komplek. Atau ibu yang masih sempat membuat konten di Instagram seputar parenting dan ternyata banyak yang suka. Bisa juga ibu hobi membuat kerajinan, lalu dijual secara online dan ternyata dapat menambah penghasilan. Bukankah ibu-ibu ini terlihat begitu membanggakan? 


Baca juga: 5 Tahun Ngeblog, Dapat Apa?


Stop Berambisi Sempurna!

Tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada pula hasil pekerjaan tangan manusia yang sempurna. Tak masalah bila sesekali rumah dibiarkan berantakan, sesekali ibu menyerah menyuapi anak yang sudah 3 hari mogok makan atau beli makanan jadi di luar bila tak sanggup memasak. Sah-sah saja dan tidak ada yang salah.


Berhenti menyalahkan diri sendiri ketika anak sakit, anak tiba-tiba bikin masalah di sekolah atau suami yang terpaksa menyetrika baju kerjanya sendiri karena ibu terlalu lelah begadang semalaman menyusui bayi. Itu wajar. Walau ada yang berkomentar negatif, biarkan saja. Yang paling tahu kondisi kita, ya kita sendiri. 


Temukan Circle Positif

Lingkungan yang positif itu dicari, bukan datang sendiri. Ibu perlu memasang antena yang kuat untuk menangkap sinyal lingkungan yang mampu memberi energi positif. Mulai dari orang terdekat dulu. Bila tidak menemukan yang sesuai dengan harapan, baru cari ke lingkungan pertemanan dan sosial lainnya.


Cari tempat berkeluh kesah yang dipercaya dan dapat memberi respon dengan bijak. Tidak perlu banyak, satu saja cukup. Bergabung pula dengan komunitas-komunitas tertentu yang sesuai dengan kebutuhan, passion atau tujuan ibu. Semangat luar biasa selalu mengalir ketika berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan sama. Misal gabung komunitas parenting, komunitas memasak, komunitas craft atau seperti saya yang bergabung dengan komunitas bloger dan menulis.


Hindari Akar Permasalahan

Kalau saya, sering kali ada pemicu ketika tiba-tiba mood berubah. Maklum wanita, mood swing sudah menjadi bagian dari hidup ini (elah alasan). Ketika terjadi, saya akan mencari akar permaslaahannya di mana. Sejak kapan mood saya berubah, padahal sebelumnya oke-oke saja.


Contohnya ketika kepercayaan diri saya hilang setelah melihat unggahan teman-teman di media sosial tentang prestasi mereka, pekerjaan mereka atau liburan mereka. Padahal sama-sama berstatus ibu, kenapa cuma saya yang terjebak di rumah seperti ini dan tidak ada hal yang bisa dibanggakan? Unggahan di media sosial saya hanya anak, anak dan anak. Fix, berarti saya harus libur dulu membuka media sosial. Sudah tidak baik dampaknya bagi saya.


Pernah pula ketika lama sekali anak pertama saya sulit makan. Saya tertekan, sampai menjambak-jambak rambut, mencakar tangan sendiri dan berpikiran bahwa saya adalah ibu yang gagal. Ya, saya pernah di masa sulit ini. Akar permasalahannya jelas, anak saya tak mau makan. Selama weekend, saya meminta suami yang menyuapi anak dan untuk sementara saya tak mau tau soal itu. Bersyukurnya, mood kembali normal setelahnya. Malah cuma butuh sehari. 


Percaya saja, ini semua akan terlewati. Tidak ada solusi yang paling tepat selain menjalaninya dan terus berupaya mencari cara agar masa-masa krisis identitas yang menjadikan ibu kehilangan jati dirinya ini dapat terlalui dengan dampak minimal. 


Semangat untuk semua ibu.

Kita semua kuat, spesial dan luar biasa!

Semoga bermanfaat.

2 comments

  1. wah terima kasih artikel nya Bu, sangat relate sekali dengan kondisi saya sekarang, terlebih setelah ikut suami pindah kota yang notabene tidak ada teman maupun keluarga sama sekali dan benar2 asing di tempat baru, malah makin menjadi2 semua kegalauan di atas. Skr saya mulai belajar dan melakukan hobi2 yang dulu biasa dan suka saya lakukan saat blm berkeluarga dengan porsi yang seimbang tentunya, supaya ada aktualisasi diri lain nya dan tidak melulu berkutat dg rumah dan anak yang ujung2nya bisa berakibat stress.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Mbak. *peluuuuukk
      Dengan produktif, paling enggak fokus kita teralihkan dari hal-hal yang nggak penting dan sering bikin insecure. Jadinya lebih happy 🤗

      Delete

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)